Isu mengenai perubahan bentuk mata uang kembali menjadi topik hangat di tengah masyarakat Indonesia. Setelah sekian lama hanya menjadi wacana, pemerintah kini mulai menyiapkan langkah konkret menuju penyederhanaan rupiah atau yang dikenal dengan istilah redenominasi.
Kebijakan ini menimbulkan beragam reaksi, ada yang menganggapnya sebagai langkah maju menuju efisiensi ekonomi, namun tak sedikit pula yang masih bingung membedakan antara redenominasi dengan sanering atau pemotongan nilai uang.
Untuk memahami maknanya secara utuh, mari kita telusuri kembali sejarah, tujuan, serta arah kebijakan redenominasi di Indonesia melalui artikel berikut.
Belakangan ini publik kembali dihebohkan oleh wacana redenominasi rupiah di Indonesia. Istilah redenominasi sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, berarti penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.
Sementara itu, situs resmi Bank Indonesia (BI) menjelaskan redenominasi sebagai penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang disertai penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang.
Secara sederhana, redenominasi dapat dipahami sebagai langkah “memotong” beberapa angka nol pada nominal mata uang, tanpa mengurangi nilai sebenarnya. Misalnya, uang Rp50.000 akan ditulis menjadi Rp50.
Nilainya tetap sama, artinya Rp50 hasil redenominasi tetap memiliki daya beli yang setara dengan Rp50.000 sebelumnya. Perubahan ini hanya menyentuh aspek penulisan angka, bukan nilai tukar atau daya beli masyarakat.
Jejak Sejarah Redenominasi di Indonesia
Indonesia bukan kali pertama bergulat dengan kebijakan redenominasi. Mengutip Tempo, pada 13 Desember 1965, pemerintah di era Presiden Sukarno pernah menerapkan kebijakan serupa.
Kala itu, Bank Indonesia secara tiba-tiba mengeluarkan kebijakan pengurangan tiga angka nol di setiap pecahan uang. Berdasarkan catatan ekonomi.bunghatta.ac.id, kebijakan ini didasari oleh Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965 tentang penyatuan sistem moneter di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan kebijakan tersebut, uang baru bernilai Rp1 memiliki daya beli yang sama dengan Rp1.000 uang lama. Artinya, uang Rp100.000 menjadi Rp100, dan uang Rp1.000 menjadi Rp1. Tujuan utama kebijakan ini adalah menciptakan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, kebijakan tersebut tidak berlangsung lama. Tak lama setelah diterapkan, rupiah kembali ke nominal aslinya karena situasi ekonomi yang belum stabil dan inflasi yang tinggi kala itu.
Setelah lebih dari empat dekade, isu redenominasi kembali mencuat pada 2013. Pemerintah saat itu telah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi dan mengajukannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rencana tersebut sempat ditargetkan untuk disahkan pada 2014, namun gagal terealisasi.
Wacana serupa muncul kembali pada 2023, namun dibantah oleh Bank Indonesia. Baru pada 2025, pemerintah secara resmi menunjukkan langkah konkret. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyiapkan kerangka aturan redenominasi rupiah melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).
Rencana ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025–2029, yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025 dan diundangkan pada 3 November 2025. Pemerintah menargetkan penyelesaian RUU Redenominasi ini pada 2026 atau 2027.
Tujuan dan Dampak Redenominasi
Redenominasi tidak dimaksudkan untuk menurunkan nilai mata uang ataupun mengurangi daya beli masyarakat. Langkah ini murni dilakukan untuk menyederhanakan sistem keuangan dan memperkuat citra rupiah di mata internasional.
Bagi kalangan ekonomi global, penyederhanaan digit mata uang dianggap membuat nilai tukar lebih ringkas dan mudah dipahami. Negara-negara yang telah melaksanakan redenominasi, seperti Turki dan Korea Selatan, terbukti berhasil memperbaiki persepsi internasional terhadap stabilitas ekonominya.
Selain faktor citra, redenominasi juga memudahkan pencatatan keuangan, baik dalam sistem perbankan, akuntansi, maupun transaksi sehari-hari. Penulisan nilai barang dan jasa menjadi lebih sederhana, efisien, dan praktis.
Rencana redenominasi yang tengah disusun pemerintah menunjukkan upaya serius dalam menata sistem keuangan nasional. Dengan kesiapan regulasi yang matang, edukasi publik yang jelas, dan stabilitas ekonomi yang terjaga, redenominasi berpotensi menjadi langkah strategis dalam memperkuat rupiah dan memperbaiki citra ekonomi Indonesia di kancah global. [UN]




