Koran Sulindo – Bencana alam seperti erupsi gunung berapi seringkali menyisakan kesedihan dan masalah. Masyarakat – korban erupsi gunung berapi – ibarat pepatah “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Agaknya pepatah itu tepat ditujukan kepada masyarakat yang menjadi korban erupsi Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara (Sumut).
Aktivitas erupsi Gunung Sinabung – meski dalam skala kecil – masih terus terjadi hingga hari ini. Pada awal April lalu, misalnya, gunung tersebut kembali meletus dengan tinggi kolom abu lebih dari 5.000 meter. Berdasarkan laporan Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) dan Pos Pengamatan Gunung Api Sinabung, luncuran awan panas sejauh 3.500 meter ke arah tenggara dan selatan. Pendeknya, tingkat aktivitas Gunung Sinabung masih di level IV atau Awas.
Setelah bertahun-tahun dan melewati masa tanggap darurat, kabar tidak sedap penanganan pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung kini mencuat. Pepatah “sudah jatuh, tertimpa tangga”, itulah yang dialami korban erupsi Gunung Sinabung. Melalui berbagai pemberitaan media lokal, anggaran dana siap pakai (DSP) serta rehabilitasi rekonstruksi (RR) periode 2014 hingga 2017 diduga menjadi bancakan sekelompok orang. Bahkan karena dugaan penyimpangan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun pada akhirnya turun ke Tanah Karo dalam rangka mengumpulkan bahan dan keterangan. Benarkah?
Soal DSP itu, Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho bercerita, anggaran tersebut merupakan usulan yang diajukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ke BNPB. Setelah disetujui pemerintah pusat, maka anggaran DSP itu akan ditransfer ke pemerintah daerah. Dengan demikian pengelolaan, penggunaan dan pertanggungjawabannya menjadi urusan pemerintah daerah.
“Setelah tiga bulan sejak pengiriman anggaran DSP itu, maka pemerintah Kabupaten Karo wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkannya. Tapi, seringkali pertanggungjawaban itu terlambat. Belum ada pertanggungjawaban, lalu pemerintah Kabupaten Karo sudah mengusulkan lagi,” tutur Sutopo ketika dihubungi pada akhir Mei lalu.
Dikatakan Sutopo, jumlah anggaran DSP yang telah digelontorkan untuk menangani korban erupsi Gunung Sinabung itu sudah mencapai lebih dari Rp 1 triliun rupiah hingga 2018. Penanganan yang berbelit-belit dan ketiadaan data yang valid oleh pemerintah Kabupaten Karo membuat penanganan relokasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung menjadi lamban. Bupati Kabupaten Karo, kata Sutopo, acap menjanjikan membuat laporan penanganan relokasi pengungsi berdasarkan alamat dan nama yang valid. Kenyataannya itu tidak pernah ada.
“Dulu bupati menjanjikan data valid dengan surat keputusan. Namun, datanya selalu berubah-ubah. Ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan. Secara umum, ini adalah tanggung jawab kepala daerah,” Sutopo menambahkan.
Berdasarkan laman resmi BNPB, penanganan pengungsi Sinabung dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, sebanyak 370 kepala keluarga (KK) dari tiga desa di radius tiga kilometer yaitu Desa Bekerah, Simacem dan Sukameriah telah direlokasi ke Siosar. Di lokasi itu, masyarakat telah menempati hunian tetap lengkap dengan fasilitas umum dan fasilitas sosialnya. Warga juga diizinkan pinjam pakai lahan usaha tanai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 0,5 hektar per kepala keluarga selama 20 tahun. Selanjutnya, masyarakat juga dibantu melalui kegiatan sosial ekonomi menggunakan dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kedua, pemenuhan kebutuhan relokasi mandiri untuk 1.655 KK dan 181 KK data tambahan yang berasal dari empat desa yaitu Desa Gurukinayan 778 KK, Kutatonggal 108 KK, Berastepu 611 KK dan Gamber 158 KK. Di tahap kedua ini, masyarakat memeroleh bantuan dana rumah dan bantuan lahan usaha tani. Metode yang digunakan untuk membangun rumah adalah relokasi mandiri yang tersebar di 22 hamparan. Sampai Maret 2018, sebanyak 1.170 rumah terbangun dan 485 rumah lainnya masih dalam proses pembangunan.
Ketiga, pembangunan infrastruktur sarana prasarana pendukung di lahan relokasi mandiri. Pembangunan ini telah selesai di tahap kedua dan pembersihan lahan relokasi tahap tiga di Siosar untuk sekitar 1.098 KK yang masih dalam proses verifikasi penetapan by name by address. Warga yang akan direlokasi berasal dari Desa Sigarang-garang, Desa Sukanalu, Desa Mardinding dan Dusun Lau Kawar.
KPK ke Karo
Mengenai kedatangan KPK itu, Sarman Tarigan yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Percepatan Siosar di BPBD Karo mengakui hal tersebut. Ia bahkan telah dimintai keterangan oleh personel KPK yang sedang mengumpulkan bahan dan keterangan mengenai anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi atau RR untuk percepatan relokasi pengungsi Sinabung yang mencapai Rp 190,4 miliar. Setelah diaudit, menurut Sarman, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan anggaran RR yang menjadi hibah pemerintah pusat ke Kabupaten Karo itu disclaimer alias tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Dana RR itu kan untuk relokasi mandiri tahap II. Dana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena 80 persen penggunaannya fiktif,” kata Sarman ketika dihubungi secara terpisah.
Nama Sarman juga acap dikait-kaitkan dengan penggunaan anggaran DSP yang mencapai sekitar Rp 76 miliar untuk percepatan relokasi 370 KK di Siosar. LSM Mata Karo, misalnya, menuding, kendati penggunaan anggarannya telah rampung pada akhir 2016, namun belum juga diserahterimakan dari BNPB ke BPBD Karo untuk dimanfaatkan bagi pengungsi secara resmi. “Kami mendesak agar KPK secara serius menyelidiki dan menuntaskan dugaan penyimpangan itu,” kata Ketua LSM Mata Karo Lloyd Reynold Ginting.
Soal tudingan ini, Sarman menanggapinya dengan santai. Ia menilai itu hanya tudingan sekelompok orang untuk memojokkan dirinya. Pasalnya, ketika menangani percepatan relokasi pengungsi ke Siosar, ia “menantang” semua pihak-pihak yang ingin mendesakkan kepentingannya dalam proyek tersebut.
“Soal serah terima memang belum, itu sudah menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Karo bukan lagi BNPB. Saya siap pertanggungjawabkan relokasi ke Siosar itu karena memang sudah rampung dan saya sudah jelaskan semuanya kepada KPK,” kata Sarman.
Penanganan relokasi pengungsi erupsi Sinabung yang lamban itu juga menjadi perhatian pemerintah pusat. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, pihaknya menyoroti dua hal utama mengapa penanganan relokasi pengungsi Sinabung terkesan lambat. Pertama, pemerintah Kabupaten Karo tidak memiliki data kependudukan yang valid mengenai korban erupsi Gunung Sinabung. Dampaknya, data pengungsi kerap berubah dan tidak pernah selesai. “Kami karena itu mendesak pemerintah Karo agar segera menyelesaikan masalah itu,” kata Abet.
Selanjutnya, masalah konsolidasi dan komunikasi. Menurut Abet, konsolidasi untuk melibatkan semua pihak penting dilakukan pemerintah Kabupaten Karo. Pasalnya, tidak semua hal bisa ditangani pemerintah daerah. Itu sebabnya perlu menggandeng masyarakat sipil dan swasta. Soal komunikasi, ini juga menjadi penting, kata Abet. Berdasarkan pengalamannya ketika mengikuti sebuah musyawarah di pendopo rumah dinas Bupati Karo, masih saja ada masyarakat pengungsi menanyakan tentang kepastian relokasi.
“Ini kan semestinya pertanyaan yang nggak perlu kalau komunikasinya jalan. Pada prinsipnya pemerintah pusat soal hal-hal pokok tidak ada masalah, kita harus apresiasi itu. Targetnya Desember 2018 masalah relokasi sudah harus tuntas sehingga kita sudah bisa membicarakan bagaimana mengatasi warga yang terdampak erupsi Sinabung,” kata Abet. [Kristian Ginting]