Mengungkap Relevansi dan Sejarah Panjang Astrologi dalam Budaya Manusia

Metode Astrologi yang Memberikan Wawasan dan Makna Dalam Budaya Manusia Selama Ribuan Tahun (Sumber: Freepik)

Sejak zaman kuno, manusia telah memandang langit malam, mencari petunjuk dalam bintang-bintang dan pergerakan planet-planet. Namun, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang telah mengungkap banyak misteri alam semesta, mengapa kita masih begitu terpikat oleh tanda-tanda zodiak dan ramalan bintang?

Pertanyaan ini membawa kita ke dalam perjalanan panjang sejarah astrologi, sebuah praktik kuno yang tetap relevan dalam budaya manusia selama ribuan tahun, seperti yang dilansir oleh My Modern Met.

Pengertian Astrologi

Astrologi adalah metode yang telah ada selama ribuan tahun, digunakan oleh peradaban awal untuk memprediksi peristiwa di Bumi dan manusia berdasarkan posisi bintang, bulan, matahari, dan planet dalam konstelasi astrologi.

Astrologi memberikan wawasan tambahan tentang kepribadian dan peristiwa kehidupan melalui “bagan kelahiran.” Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat, astrologi telah menjadi bagian dari budaya manusia, membantu orang mencari makna dalam kehidupan mereka.

Mesopotamia dan Babilonia

Bangsa Sumeria di Mesopotamia, wilayah bersejarah di Asia Barat, adalah pionir dalam mengembangkan astrologi. Mereka mulai memperhatikan pergerakan planet dan bintang sekitar tahun 3000 SM, mencatat dan mengidentifikasi konstelasi serta pola yang menonjol.

Bangsa Babilonia, juga dikenal sebagai bangsa Kaldea, melanjutkan penelitian ini dan menciptakan roda zodiak pertama. Pada akhir abad ke-5 SM, mereka membagi ekliptika menjadi 12 “tanda” yang sesuai dengan 12 bulan dalam setahun.

Setiap tanda mencakup garis bujur langit 30 derajat, menciptakan sistem koordinat langit pertama yang diketahui. Tanda-tanda ini sering kali diidentifikasikan dengan nama binatang, yang kemudian disebut zodiakos kyklos oleh orang Yunani, artinya “lingkaran binatang.”

Ada 12 rasi bintang dalam keluarga zodiak, yakni Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius, dan Pisces.

Mesir Helenistik

Setelah penaklukan Alexander Agung pada tahun 332 SM, Mesir berada di bawah kekuasaan Helenistik. Pada periode ini, para sarjana mengembangkan Astrologi Horoskopik dengan menggabungkan Astrologi Babilonia dengan tradisi zodiak Dekanik di Mesir.

Sistem ini mencakup roda zodiak Babilonia yang dibagi menjadi 36 bagian, masing-masing berukuran 10 derajat. Dalam astrologi Helenistik kuno, derajat terbitnya ufuk timur pada saat tertentu dikenal sebagai “the ascendant,” yang dalam bahasa Yunani kuno disebut horoskopos, asal kata “horoscope” dalam bahasa Inggris.

Astrologi horoskopik awal digunakan untuk membuat grafik astrologi yang memvisualisasikan posisi bintang, matahari, dan bulan pada saat kelahiran seseorang, digunakan untuk membaca karakter dan takdir seseorang.

Yunani Kuno dan Roma

Pada tahun 280 SM, Berossus, seorang pendeta Bel dari Babilonia, pindah ke pulau Kos di Yunani untuk mengajarkan astrologi dan budaya Babilonia kepada orang Yunani.

Peran Yunani dalam membawa teori astrologi ke Roma sangat penting. Kaisar pertama yang dilaporkan memiliki peramal istana adalah Kaisar Tiberius, yang mempekerjakan Thrasyllus dari Mendes pada abad ke-1 Masehi.

Pada abad ke-2 M, ahli nujum Claudius Ptolemy mulai membuat peta dunia yang tepat, memetakan hubungan antara tempat lahir seseorang dan bintang-bintang. Pada tahun 140 M, Ptolemy menerbitkan Tetrabiblos, salah satu buku astrologi paling terkenal yang pernah ditulis, menjelaskan elemen kunci astrologi yang masih digunakan hingga saat ini, termasuk planet dan lambang zodiak.

Perkembangan Astrologi di Seluruh Dunia

Astrologi menjadi bagian penting dari kebudayaan pada Abad Pertengahan, dipraktikkan oleh para dokter, astronom, dan ahli matematika. Kemajuan dalam matematika membantu para astrolog mengembangkan grafik yang lebih akurat, dan astronomi dipelajari di universitas terkemuka di Eropa, termasuk Cambridge.

Namun, kepercayaan terhadap astrologi mulai menurun ketika gereja memperoleh kekuasaan, dan dianggap sebagai takhayul selama masa Inkuisisi Suci. Pada masa ini, astronom terkenal Galileo Galilei dinyatakan bersalah atas ajaran sesat dan harus meninggalkan keyakinan astrologinya.

Selama Zaman Pencerahan (1650-1780), sains mulai menggantikan astrologi karena masyarakat lebih percaya pada sains. Meskipun astrologi tetap ada dan memiliki basis penggemar yang kuat, penting untuk menganggapnya sebagai aspek budaya dan hiburan daripada ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan.

Astrologi telah melintasi berbagai zaman dan peradaban, membuktikan daya tariknya yang abadi bagi manusia. Meski begitu, pemahaman kita tentang astrologi kini lebih cenderung pada aspek budaya dan hiburan, ketimbang sebagai ilmu pasti yang dapat diandalkan. [UN]