Koran Sulindo – Keterlibatan Yahudi Amerika dalam industri film telah memberi warna dalam dunia perfilman Hollywood. Yahudi menjadikan film sebagai media untuk memverifikasi identitas mereka sebagai bangsa, agama, atau sebagai masyarakat Amerika.

Hal ini diutarakan dosen prodi Sastra Inggris Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Witriani, S.S., M.Hum., saat ujian terbuka program doktor Ilmu Inter Religious Studies di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (16/1). “Lewat film, mereka tidak hanya berbicara tentang persoalan etnis dan kecemasan yang dialami, tetapi juga eksistensi bahkan mimpi-mimpi sebagai bangsa Yahudi sekaligus Amerika,” ujarnya.

Pada awalnya, menurut Witriani, mereka sangat berhati-hati terjun di industri perfilman mengingat kondisi politik, sosial dan budaya pada saat itu, seperti perang dunia dan berkembangnya anti-semitisme. Namun kondisi tersebut berubah setelah tahun 1960-an. “Tragedi holocaust di Eropa dan gerakan hak sipil di Amerika adalah bagian dari gagasan yang memicu Yahudi untuk menampilkan diri dalam cara yang berbeda di berbagai film,” kata Witriani.

Melakukan penelitian dalam tiga film yakni Ben Hur, The Chosen, dan Schindler’s List, Witriani mengungkap bagimana bangsa Yahudi merepresentasikan diri melalui film-film yang diproduksi hingga dinegosiasi. Selain itu juga terkait perubahan yang dilakukan sebagai bagian dari bangsa Yahudi Amerika.

Diungkapkan Witriani, dari hasil penelitian menunjukkan representasi bangsa Yahudi dalam film muncul dalam konstruksi citra sebagai respon dari stereotip yang selama ini berkembang di masyarakat. Sereotip tersebut terutama terkait dengan hubungan Yahudi-Kristen. Selain itu juga tentang negosiasi identitas sebagai bangsa Yahudi dan Amerika hingga dukungan dan loyalitas mereka pada Israel.

Menurut Witriani film dijadikan sebagai media bagi Yahudi Amerika untuk memverifikasi identitas mereka sebagai bangsa, agama, atau sebagai masyarakat Amerika. Lewat film, mereka tidak hanya berbicara tentang persoalan etnis dan kecemasan yang dialami, tetapi juga eksistensi bahkan mimpi-mimpi sebagai bangsa Yahudi sekaligus Amerika yang terlihat dalam film-film religi yang diproduksi. Salah satunya, melalui film Ben Hur.  Di sini mereka mencoba mengatakan bahwa orang-orang kristen dan Yahudi adalah satu kelompok dan seiman sehingga tidak perlu ada kebencian diantara keduanya.

Melalui film, orang Yahudi juga berusaha menyuarakan luka dan filantropi. Mereka berusaha menceritakan kisah masa lalu mereka kepada generasi berikutnya. Seperti pada film Schindler’s List dan The Chosen yang mencoba menyajikan masa lalu Yahudi. Representasi holocaust dalam berbagai bentuk genre juga dianggap sebagai cara untuk menjaga kesadaran dan memori kolektif.

“Politik representasi ini memungkinkan mereka menyampaikan berbagai pesan pada penonton tentang identitas mereka sebagai sebuah tradisi budaya dan agama, luka-luka sejarah, hingga posisi dan kedudukan perempuan,” tuturnya.

Ditambahkan Witriani, negosiasi identitas merupakan salah satu persoalan yang turut diangkat orang Yahudi dalam berbagai film. Dalam film mereka berusaha menyampaikan bahwa siapapun bisa menjadi Yahudi. Yahudi bukan tentang ras, tetapi agama atau ideologi yang bisa dipelajari dengan siapapun. “Setiap Yahudi bisa tetap menjadi Yahudi seumur hidupnya, atau berpindah ke agama lain,” jelas Witriani. [YUK]