Simulasi Pemilu 2024 - KPU RI
Simulasi Pemilu 2024 - KPU RI

SEJAK Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengungkapkan kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup, topik tersebut terus menjadi perbincangan publik. Bahkan lembaga-lembaga yang mewakili publik mulai dari partai politik (parpol) hingga Muhammadiyah membicarakan hal tersebut.

Sikap PDI Perjuangan dan Muhammadiyah terkait dengan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu legislatif sama. Keduanya sepakat bahwa sistem proporsional terbuka saat ini lebih bermasalah ketimbang menggunakan proporsional tertutup. Muhammadiyah, misalnya, dalam muktamarnya bebrapa waktu lalu mengusulkan 2 yaitu menggunakan sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas.

Sedangkan, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya tidak mempersoalkan mayoritas fraksi di DPR mendukung sistem proporsional terbuka. PDI Perjuangan disebut tetap mendorong sistem pemilu agar dilakukan dengan proporsional tertutup.

Lantas apa alasannya? Hasto mengatakan, alasan utama PDI Perjuangan ingin menerapkan sistem tersebut, karena ingin  mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai sebagai langkah pendidikan politik. Apalagi parpol seperti PDI Perjuangan tidak didesain untuk hanya memenangi pemilu tapi juga partai yang menjalankan fungsi kaderisasi, pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik.

“Di situlah proporsional tertutup kami dorong,” kata Hasto.

Dengan menerapkan proporsional tertutup, kata Hasto, maka penyelenggaraannya dapat lebih sederhana, dan mengurangi kemungkinan terjadinya manipulasi sistem pemilu. “Karena dasarnya adalah kompetensi. Jadi proporsional tertutup base-nya adalah pemahaman mengenai fungsi-fungsi Dewan, sedangkan terbuka adalah popularitas,” tutur Hasto.

Pro dan kontra atas wacana sistem pemilu ini bukanlah sesuatu yang baru, walau secara politik partai-partai yang mendukung dan anti terhadap kedua sistem tersebut saling berganti. Pada 2014, misalnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai Pemilu 2014 diwarnai kekisruhan akibat penerapan sistem proporsional terbuka. Bahkan penyelenggaraan Pemilu 2014 dinilai lebih buruk ketimbang Pemilu 2009.

Menurut Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie kala itu, akibat sistem proporsional terbuka, praktik kotor politik merajalela di tengah-tengah masyarakat, penyelenggara pemilu dan caon legislatif (caleg). Pasalnya, sistem proporsional terbuka dinilai mendorong praktik politik uang dan kecurangan dalam bentuk lain.

Tidak Relevan

Pemikiran DKPP itu lantas gayung bersambung dari beberapa parpol seperti PDI Perjuangan, PKS, dan PKB. Politikus PKS Almuzammil Yusuf ketika itu menilai penerapan sistem proporsional terbuka perlu dikaji ulang. Apalagi sistem proporsional tertutup dinilai lebih menjamin penguatan parpol khususnya untuk Pendidikan politik kepada masyarakat.

Mirip seperti alasan PDI Perjuangan saat ini, alasan Almuzammil dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, parpol akan menyeleksi kandidat caleg berbasis kapasitas kaderisasi. Inilah yang menjadi keunggulan dari sistem proporsional tertutup.

Akan tetapi, dengan sistem proporsional tertutup akan ada kekhawatiran menyuburkan politik uang dan oligarki dalam parpol. Dengan demikian, tujuan demokratisnya justru semakin menjauh. Sedangkan keunggulan proporsional terbuka, memberi kesempatan yang sama kepada setiap caleg untuk bertarung dan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih wakilnya dengan suara terbanyak justru jaminan demokratisnya jauh lebih besar.

Setelah menilai kedua sistem tersebut, maka potensi politik uangnya sama-sama ada. Dengan demikian, pertanyaan manakah yang terbaik di antara keduanya menjadi tidak relevan. Karena itu, paling penting dari hal tersebut adalah mengembalikan tugas parpol menumbuhkan kesadaran masyarakat akan politik.

Elite politik yang diharapkan mendidik masyarakat justru terjebak dalam politik uang agar bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Dengan demikian, pilihan atas sistem proporsional terbuka atau tertutup menjadi tidak tepat dibahas. Juga tidak relevan untuk diperdebatkan selama kesadaran elite dan masyarakatnya masih sama. [MAR]