Koran Sulindo – Sabtu siang, 11 April lalu. Matahari tepat berada di atas kepala. Joko, 35, mengisap dalam-dalam rokok kretek sambil memandangi jalanan yang sepi di bilangan Jalan Kuningan, Jakarta Selatan. Sambil merokok, ia sesekali mengecek telepon genggamnya. Sudah sejam lebih tak ada panggilan yang masuk ke telepon pintarnya.
Sebelum ini, setidaknya 20 menit sekali akan ada panggilan masuk sebagai tanda orderan untuk membawa penumpang. Sejak penerapan pembatasan jarak sosial penghasilan Joko sebagai pengemudi ojek online turun drastis.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena wabah virus corona menghantam pendapatan Joko. Sejak penerapan PSBB, penghasilan Joko sebagai pengemudi ojek online turun drastis. Karyawan dan mahasiswa di DKI Jakarta mayoritas sudah bekerja dan belajar dari rumah karena kebijakan tersebut. Walau sebelum wabah virus corona “menyerang” Jakarta, penghasilan tukang ojek online seperti Joko sudah anjlok akibat perubahan sistem di platform mereka bekerja.
Kondisi tambah runyam ketika pengemudi ojek online ini umumnya ternyata masih harus mencicil kendaraannya ke perusahaan pembiayaan. Presiden Joko Widodo memang sempat menyebutkan kalau para ojek online bisa mendapatkan keringanan. Namun, pernyataan Jokowi seolah-olah hanya pemanis.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman beberapa hari kemudian menganulirnya dan menyebut relaksasi kredit yang diumumkan Jokowi lebih diutamakan kepada masyarakat yang sudah dinyatakan sebagai pasien positif Covid-19. Dan relaksasi kredit ini akhirnya diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020.
“Sasaran utama penerima POJK adalah individu yang telah positif Covid-19 baik yang telah isolasi di Rumah Sakit dan yang melakukan isolasi mandiri,” kata Fadjroel dalam keterangan resminya pada 30 Maret lalu.
Kebijakan restrukturisasi kredit ini pun ternyata tak semudah yang dibayangkan. Beragam persyaratan dan birokrasi harus dihadapi. Pengemudi ojek online banyak yang mengaku mengalami kendala dalam mengakses keringanan kredit yang dijanjikan pemerintah. Misalnya mekanisme pengajuan keringanan kredit yang tak jelas dan berbeda-beda di tiap bank atau perusahaan pembiayaan.
Padahal, para ojek online juga berharap prosesnya bisa dilakukan dengan mudah. Mereka menyiapkan surat pengajuan dan ditembuskan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui surat elejtronik. Namun, mereka tak kunjung mendapat kepastian, OJK meminta untuk menghubungi leasing. “Kami menjadi bingung,” ujar Roby seorang pengemudi ojek saat ditemui beberapa waktu lalu.
Sampai saat ini, ia dan teman-temannya belum ada yang berhasil mengakses keringanan kredit itu. Meski presiden dan ketua OJK sudah memperingatkn agar perusahaan pembiayaan menghentikan aktivitas penagihan sementara waktu, sejumlah rekannya masih didatangi penagih utang.
Skema yang ditawarkan oleh perusahaan leasing juga ternyata tak seindah yang dibayangkan para pengemudi ojek ini. Awalnya para pengemudi mengira kalau imbauan Jokowi mengarah pada penangguhan angsuran 1 tahun. Namun, ternyata relaksasi yang diberikan adalah perpanjangan tenor dengan bunga yang rendah. Semisal, awalnya sopir membayar Rp 1 juta untuk 20 bulan, maka dengan relaksasi bisa membayar dengan cicilan Rp 500 ribu untuk 30 bulan.
Perlu Diperhatikan
Dengan kata lain, tak ada penundaan, hanya perpanjangan. Para pengemudi pun menganggap perpanjangan tenor ini tanpa ada Covid-19 sudah bisa dilakukan sendiri tanpa harus ada instruksi presiden. Pemerintah memang perlu memperhatikan pelaksanaan dari relaksasi kredit ini. Jangan sampai ternyata tak berjalan sesuai arahan.
Pemerintah harus serius menghadapi krisis yang mendera para sopir transportasi online ini dan sektor UMKM lainnya. Saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998, UMKM menjadi penyangga ekonomi nasional. Menyerap tenaga kerja, dan menggerakan perekonomian. Sementara 2008 di masa krisis keuangan global, UMKM tetap kuat menopang perekonomian.
Namun, sektor ini tetap tak bisa menahan krisis yang disebabkan Covid-19, kata ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. “Sangat berbeda dengan adanya Covid-19. Kalau krisis keuangan itu kan mereka yang tidak terafiliasi dengan sektor keuangan, nggak masalah. Banyak UMKM kita yang memang tidak pernah mendapatkan akses pembiayaan dari sektor finansial, ya aman-aman saja begitu kan,” kata Enny.
Ia melanjutkan, efek krisis ekonomi dan keuangan sebelumnya lebih terlokalisir di sektor-sektor tertentu. Kali ini, UMKM justru menjadi sektor yang paling rentan terhadap krisis ekonomi karena Covid-19.
Jokowi memang sudah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk menangani wabah virus corona (Covid-19). Alokasi dana itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
“Terkait penanganan Covid-19 dan dampak ekonomi keuangan, saya menginstruksikan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp 405,1 triliun,” ujar Jokowi pada 31 Maret lalu.
Untuk UKM, Menteri Teten Masduki memastikan akan ada bantuan untuk pengusaha kecil ini. Kemenkop menyediakan dana Rp 2 triliun untuk menjaga UMKM. Lalu ada program restrukturisasi dan subsidi suku bunga kredit usaha mikro yang sampai saat ini masih dibahas dengan Kementerian Keuangan. Kemudian program restrukturisasi kredit yang khusus bagi koperasi melalui LPDB KUMKM. Kebjiakan ini belum jelas ke mana arahnya. Pemerintah tampaknya masih belum mengutamakan bantuan untuk UKM.
Padahal UKM dan sektor informal ini merupakan sektor yang harus dilindungi oleh negara. Karena mereka rentan dengan keadaan ekonomi saat ini. Berbeda dengan pengusaha kakap yang mempunyai permodalan besar, mereka dengan mudah bisa mendapatkan kredit dan bisa bertahan hingga krisis Covid-19 selesai. Negara harus turun tangan menolong para pengusaha bermodal kecil ini. [Kenourios Navidad]