Koran Sulindo – Pramoedya Ananta Toer kaget bukan kepalang setelah membaca sebuah surat yang diterimanya dari Keith Foulcher pada 26 Februari 1985. Kekagetannya kian bertambah karena selain surat Foulcher – Indonesianis asal Australia – juga terselip surat Achdiat K. Mihardja kepada sarjana-sarjana Australia.
Pram – satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah menjadi kandidat peraih Nobel Sastra – kaget karena surat Achdiat itu menyangkut dirinya. Dalam sebuah tulisan berjudul Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher, Pram menyinggung mereka yang disebut sebagai kaum Manikebuis tetap dalam semangat yang sama pada taraf sekarang: membela diri tanpa ada serangan sambil merintih kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun.
Karena sikap kaum manikebuis itu, Pram mesti mengelus dada. Ia pun menyimpulkannya sebagai kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Sikap kaum demikian, selain di kalangan sastrawan berpaham humanisme universal, juga bisa kita dapati pada kaum politikus yang acap bercuap-cuap demokrasi. Politikus demikian bisa disebut sebagai kaum pseudo demokrasi; penipu alias menawarkan kesemuan.
Pseudo demokratis merupakan gambaran sistem politik yang mengklaim sebagai demokratis, namun menutup pilihan nyata warga negara. Bahkan bagi para pemilih yang menyukai perubahan, pilihan mereka untuk mengubah sistem politik ditutup oleh mereka yang disebut sebagai kaum pseudo demokratis itu. Mengutip kata-kata Pram itu, mereka bisa disebut sebagai kaum munafik!
Supeno, mantan wartawan Antara dan tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menyebut orang-orang demikian sebagai sosialis-kanan. Dalam bukunya berjudul INDONESIA: Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Untuk Kebebasan (Jilid I) Supeno merujuk ke Sutan Sjahrir dan kader-kadernya. Penilaian Supeno itu, selain karena sikap Sjahrir yang mendua terhadap penjajah Belanda, juga karena mereka tidak mempersoalkan modal asing masuk ke Indonesia selepas kemerdekaan.
Seperti Supeno, guru besar sosiolog asal Belanda W. F. Wertheim juga punya pendapat serupa. Dalam bukunya yang telah diterjemahkan berjudul Gelombang Pasang Emansipasi, Wertheim mengatakan, banyak pihak di Asia termasuk golongan bangsawan apabila berbicara tentang rakyat sebenarnya membatasi istilah itu pada orang-orang yang di mata mereka, sungguh-sungguh masuk hitungan. Dengan kata lain, janji-janji perbaikan nasib rakyat secara keseluruhan hanya pernyataan hampa.
Istilah-istilah seperti pembangunan masyarakat dan perubahan agraria, kata Wertheim, dapat mengandung segudang kemunafikan. Tidak selalu jelas siapakah yang mau mereka tipu: kaum petani miskin yang ingin mereka bujuk agar lebih bersikap menurut, para donor asing, atau diri mereka sendiri. Namun, kecil kemungkinannya bahwa lelucon itu akan berhasil untuk jangka waktu lama: hanya sejumlah orang saja yang dapat selalu dibohongi, semua orang dapat dibohongi selama satu jangka waktu tertentu, tetapi tidak semua orang selalu bisa dibohongi.
Merujuk kepada pernyataan Wertheim itu, bukankah sekeliling Presiden Joko Widodo juga terdapat orang-orang demikian? Paling mutakhir ketika Presiden Jokowi menyinggung mengenai seremonial dalam gerakan menanam pohon di Indonesia yang lebih banyak berbicara angka besar namun tidak ada manfaat dan efeknya dalam jangka panjang. Dalam peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia 2017 di kawasan Gunung Kidul, Jokowi memastikan akan menghitung jumlah pohon yang ditanam dan hasilnya kelak.
“Kesannya selama ini hanya seremonial, tiap tahun menanam pohon sekitar satu miliar pohon atau satu juta pohon, tapi puluhan tahun kemudian, pohonnya tetap nggak ada,” kata Jokowi pada awal Desember 2017 di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Berdasarkan itu, Jokowi meminta jajarannya agar menggunakan anggaran untk menanam pohon benar-benar dihitung efektivitasnya. Anggaran keluar mesti dihitung dengan potensi menjadi sebuah pohon. Karena umumnya bibit yang ditanam mati sebelum berkembang menjadi pohon. Itu karena ketiadaan pemeliharaan.
Persoalan lain, taktik kaum sosialis kanan untuk mendapatkan kekuasaan antara lain dengan menggunakan agama sebagai isu untuk mengalihkan perhatian. Menurut Wertheim, selama berabad-abad agama menjadi sebuah lembaga yang istimewa cocoknya untuk membuat puas dan tenang massa penduduk, khususnya di pedesaan. Akan tetapi, agama juga bisa menjadi kekuatan menggugah pada perjuangan kolektif terhadap suatu hal, semisal komunisme.
Kekuatan itu pula baru-baru ini digunakan untuk mendapatkan porsi dan popularitas dari masyarakat. Semisal gerakan 212. Tujuannya adalah untuk mengusung pemimpin yang seolah-olah pro pada kaum Muslim. Kenyataannya tidaklah demikian. Contoh kekuatan yang menggunakan kekuatan agama untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan yang anti-penjajahan dan imperialisme adalah mahasiswa Muslim yang memainkan peran besar dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 1965/1966.
Kendati agama bisa menjadi kekuatan besar, Wertheim mengingatkan, agama juga tidak bisa menjadi benteng yang tahan lama terhadap revolusi sosial. Sejarah telah membuktikannya. Pada Revolusi Oktober 1917, misalnya, Katolik Ortodoks di Rusia sama sekali tidak mampu membendung arus pasang revolusi. Agama, kata Wertheim, tidak dapat dipandang sebagai ideologi yang atau mendorong revolusi atau menahannya.
Merujuk kepada hal itu, maka untuk menghalau serangan kaum pseudo demokratis dan kaum sosialis kanan, Jokowi mau tidak mau harus menyandarkan diri kepada gagasan revolusioner Bung Karno yang anti-nekolim itu. Juga menyandarkan diri kepada partai yang memiliki ideologi kerakyatan. Hanya dengan begitu, ia bisa menghadang dan menguak wajah-wajah kaum pseudo demokratis dan kaum sosialis kanan. [Kristian Ginting]