Mengintip Sekolah Alam di Indonesia

Ilustrasi sekolah alam

INDONESIA sebagai negara tropis dengan iklim dua musim sangat memungkinkan menerapkan metode pendidikan di luar ruangan. Yang mana hal tersebut sebenarnya merupakan kelemahan bagi negara empat musim, dimana cuaca seringkali menjadi penghalang kegiatan di luar ruangan.

Maka sekolah alam sangat mungkin dijadikan salah satu pilihan bentuk pendidikan formal di negeri seperti Indonesia. Ada pertanda bahwa sekolah alam didirikan sebagai reaksi terhadap sistem sekolah yang semakin lama semakin terasing dari lingkungan.

Gagasan dasarnya adalah “back to nature”, dalam arti mengembalikan fitrah anak didik sesuai kapasitas kemampuan (tanpa pemaksaan untuk mengunyah mata pelajaran yang diwajibkan), dan kembali akrab dengan alam dan lingkungan.

Dengan adanya konsep “alam” ini, diharapkan siswa bisa lebih menghayati apa yang dipelajarinya, juga menjadikan proses pembelajaran lebih bervariasi dan tidak membosankan. Alam, kehidupan, dan lingkungan dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, sehingga siswa siap menghadapi problem dalam kehidupan kelak.

Sekolah Alam di Indonesia digagas pertama kali oleh Lendo Novo berdasarkan keprihatinannya akan biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Ide membangun sekolah alam bagi Lendo adalah agar bisa membuat sekolah dengan kualitas tinggi tetapi dengan harga terjangkau.

Sekolah-sekolah mahal itu umumnya karena fasilitas dan infrastruktur yang sangat banyak ragam dan macamnya. Sedangkan yang membuat sekolah itu berkualitas baik sebenarnya bukan infrastruktur. Kontribusi infrastruktur terhadap kualitas pendidikan tidak lebih dari 10%. Sedangkan 90% kontribusi kualitas pendidikan berasal dari kualitas guru, metode belajar yang tepat, dan buku sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Ketiga variabel yang menjadi kualitas pendidikan ini sebetulnya sangat murah, asalkan ada guru yang mempunyai idealisme tinggi. Dari situ Lendo mencoba mengembangkan konsep-konsep sekolah alam.

Sekolah Alam pertama kali didirikan di Ciganjur pada tahun 1998,  Jakarta Selatan dengan nama Sekolah Alam Ciganjur. Sekolah ini dimulai hanya dengan 8 orang murid. Sejak berdiri pada tahun 1998, konsep sekolah alam telah diadopsi di berbagai daerah. Mulai dari Aceh hingga Papua. Pada Jambore Sekolah Alam Nusantara di Lembang, Juli 2011, dibentuklah Jaringan Sekolah Alam Nusantara (JSAN) sebagai wadah sekolah alam se-nusantara.

Meski kurikulumnya tetap mengacu kepada Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dit Dikdasmen), sekolah alam mengembangkan sendiri konsep sekolah berbasiskan alamnya. Sekolah model ini tidak hanya dilengkapi laboratorium serta perangkat komputer lengkap, namun juga sekolahnya dibuat sebagai bagian dari alam terbuka. Ruang belajarnya berupa saung, pepohonan rindang dibiarkan tumbuh di tiap sudut sekolah, serta kelengkapan sarana eksplorasi, seperti, rumah pohon, papan climbing, lapangan bola dan arena flying fox. Di sekolah ini, anak-anak didekatkan dengan alam melalui suasana dan sarana yang memang sengaja dirancang untuk menumbuhkan kecerdasan natural anak. Seperti, bermain di alam, bercocok tanam, beternak, bermain sepakbola, dan menggambar.

Menurut seorang psikolog perkembangan anak, Efrina Djuwita, sekolah alam membuat anak tidak terpaku hanya pada teori saja, sebab mereka juga dapat mengalami langsung pengetahuan yang mereka dapat pelajari dari alam. Sedangkan sekolah biasa, lebih banyak  menggunakan sistem belajar mengajar konvensional, di mana para guru menerangkan dan siswa mendapatkan pengetahuan hanya dengan mengandalkan buku panduan, dan jarang diberikan kesempatan untuk mengalami langsung atau melihat langsung bentuk pengetahuan yang dipelajarinya.

Selain itu, sistem ranking juga tidak diberlakukan di sini, karena bukan menjadi satu tolak ukur prestasi siswa. Justru sekolah ini memacu semua siswanya untuk mengembangkan potensi dan bakatnya masing-masing. Soal biaya bervariasi, ada juga beberapa sekolah alam yang gratis.

Sistem pendidikan di sekolah alam juga mengajarkan disiplin dan tanggung jawab melalui cara yang berbeda dari sekolah konvensional. Kemandirian anak sejak kecil pun dibiasakan lewat sesi makan siang. Anak-anak dibiasakan untuk mengantri barisan saat akan mencuci tangan. Mereka bertanggung jawab untuk menghabiskan makanan yang porsinya ditentukan sendiri oleh anak. Setelah selesai, mereka harus mengembalikan alat makan atau piring kotor tanpa bantuan guru.

Keberanian dan rasa percaya diri anak juga dilatih melalui pengembangan life skill mereka. Anak-anak tidak dibiasakan bergantung pada orang lain sehingga memancing kreativitas dan menumbuhkan kemandirian mereka dalam mengerjakan apa pun. Penggunaan alam sebagai media belajar pun telah mengajarkan anak untuk lebih peduli pada lingkungan mereka.

Bangunan tempat anak belajar di sekolah alam di Indonesia bisa dibuat dari bahan yang ramah lingkungan seperti bambu dan kayu lokal. Para siswa duduk di lantai (lesehan) atau duduk di kursi yang terbuat dari bambu atau kayu. Jalan setapak di sekitar tempat belajar pun menggunakan batu-batu kali dari alam.

Para siswa sekolah alam juga tidak mengenakan seragam sekolah sebagaimana layaknya siswa di sekolah umum. Siswa hanya dituntut untuk berpakaian bersih dan sesuai untuk kegiatan belajar di sekolah.

Mereka juga diajarkan untuk dekat dengan alam, bercocok tanam, membudidayakan dan mendaur ulang hasil alam, mulai dari menanam tanaman sendiri, menuai hasilnya, memakan makanan organik dari kebun sendiri dan diajarkan cara mengolah atau memproduksi makanan itu sendiri menjadi sebuah bisnis.

Mempelajari alam semesta dengan mengalami langsung pengetahuan yang sedang dipelajari merangsang kreativitas siswa. Kebebasan untuk menggunakan logika dalam berpikir inilah yang memacu motivasi siswa untuk bersemangat mencari ilmu. [S21]