Koran Sulindo – Menerima tampuk kepemimpinan dari Soeharto yang mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998 akibat tuntutan rakyat, mau tak mau Presiden B.J. Habibie harus segera mengkonsolidasikan kekuatan terutama di kalangan Angkatan Bersenjata.

Salah satu keputusan besar yang diambil Habibie di hari-hari pertama jabatannya sebagai Presiden adalah mencopot Letjen Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad pada 23 Mei 1998.

Keputusan itu diambil setelah mendapat laporan Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI.

Kepada Habibie, pada tanggal 22 Mei pagi itu Wiranto menyebut telah terjadi pergerakan pasukan besar-besaran Kostrad dari luar Jakarta, menuju Jakarta tanpa sepengetahuan dirinya selaku Panglima ABRI.

Wiranto juga menyebut terdapat konsentrasi pasukan di sekitar Patra Jasa Kuningan yang merupakan tempat kediaman Habibie yang juga dilakukan tanpa sepengetahuannya sebagai Panglima ABRI.

Kondisi itulah yang tak bisa ditoleransi Habibie dan dikhawatirkan bakal memengaruhi komandan-komandan lain bertindak sendiri-sendiri tanpa merasa perlu koordinasi dengan Panglima ABRI.

Dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Letjen Sintong Panjaitan menyebut ketika Wiranto mohon petunjuk, Habibie justru balik bertanya. “Bukankan hal itu bertentangan dengan petunjuk saya kemarin?”

Hasil analisa Sintong menunjukkan meski tak ada bukti kuat bahwa Prabowo bakal kudeta, tapi dengan kekuatan Kostrad yang mencapai 11.000 personel dan 90 persen di antaranya berada di Jakarta, kemungkinan buruk itu tak bisa diabaikan begitu saja.

Ia juga menyebut sebenarnya kehadiran pasukan Kostrad dari luar Jakarta itu perlu di-check terlebih dahulu . Namun, karena terkendala waktu hal itu tak bisa dilakukan. Lagi pula, “B.J. Habibie percaya kepada Wiranto yang dianggapnya sebagai orang jujur,” tulis Sintong.

Menerima laporan Wiranto, Habibie segera memerintahkan agar jabatan Panglima Kostrad yang dipegang Prabowo harus diserahterimakan pada hari itu juga, sebelum matahari terbenam.

“Sebelum matahari terbenam?” kata Wiranto bertanya. “Ya, sebelum matahari terbenam,” jawab Habibie menegaskan perintahnya.

Selain memerintahkan pencopotan Prabowo, penggantinya juga diperintahkan agar menarik kembali seluruh pasukan di bawah komando Panglima Kostrad, ke basis satuannya masing-masing.

Setelah mengeluarkan perintah pergantian Prabowo itu, Habibie juga memerintahkan agar Sintong mengawasi dan melakukan check timbang terima jabatan tersebut.

“Keputusan itu diberikan langsung oleh Presiden Habibie kepada Jenderal TNI Wiranto, Panglima ABRI,” kata Sintong.

Menjalankan perintah Presiden, Sintong segera berkomunikasi dengan Jendral TNI Feisal Tanjung yang kala itu menjabat sebagai Menko Polkam. “Prabowo akan diganti, Bisa nggak Pak?” tanya Sintong. “Kau saja bisa diganti. Apa susahnya mengganti jabatan tentara?!” jawab Feisal Tanjung tegas.

Jawaban senada juga didapat Sintong saat berkomunikasi dengan KSAD Jenderal Soebagyo HS.

Ketika hal serupa kembali ditanyakan Sintong kepada Wiranto, ia menjawab dengan agak tersinggung. “Pak Wiranto, bisa nggak Prabowo diganti?”

“Kena apa tidak?” jawab Wiranto getas.

Setelah memutuskan pencopotan Prabowo yang digantikan sementara oleh Letjen Johny Lumintang, Habibie mendapat laporan bahwa Prabowo ingin bertemu.  Ia mengaku menyimpan kekhawatiran saat menantu presiden kedua RI Soeharto itu ingin bertemu.

“Bagaimana sikap dan tanggapan Pak Harto mengenai kebijakan saya menghentikan Prabowo dari jabatannya sebagai Pangkostrad? Apakah Beliau tersinggung dan menugaskan menantunya untuk bertemu saya,” tulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Prabowo sendiri baru mengetahui dirinya dicopot dari jabatannya sebagai Pangkostrad pada saat berkunjung ke kantor Fanny Habibie –adik kandung B.J. Habibie- di kantor Otoritas Batam pada Jumat 22 Mei pukul 13.30.

Tak menunggu lama sekitar 1,5 jam kemudian Prabowo datang ke Istana dengan membawa pengawal sebanyak 12 orang dengan mengendarai tiga mobil Landrover.

“Ada Pak Habibie nggak?” tanya Prabowo kepada perwira Paspampres. Tentu saja perwira itu tak berani menawab dan hanya diam. Ketika Prabowo bertanya sekali lagi, seorang perwira lain menjawab. “Ada Pak.”

Prabowo langsung menuju lantai dasar.

Sejatinya, menurut prosedur yang berlaku, semua tamu presiden mestinya wajib menunggu di lantai dasar dan disterilkan serta mendapat persetujuan sebelum diizinkan naik lift ke lantai 4.

Sintong yang mendapat laporan dari ajudannya bahwa Prabowo langsung naik lift menuju lantai 4 segera memerintahkan penjaga agar Prabowo jangan masuk dulu ke kantor presiden sebelum diizinkan.

Ia juga memerintahkan salah seorang pengawal presiden yang bertugas jaga dengan pakaian preman. “Lihat ke sana. Kau kenal Prabowo?” tanya Sintong.

“Siap. Saya kenal, Jenderal,” tegasnya. Pada pengawal itu Sintong bertanya, apakah boleh tamu menghadap presiden dengan membawa senjata? “Kau ambil senjata Prabowo dengan cara sopan dan hormat,” perintah Sintong.

Sebagai tindakan berjaga-jaga, Sintong juga telah menyiagakan pengawal berpakaian preman bersenjata lengkap di lantai 4 seandainya terpaksa menurunkan Prabowo ke lantai dasar karena menolak menyerahkan senjatanya.[TGU]