Menghidupkan Kembali Semangat Nefos

Koran Sulindo – Baru-baru ini saya menghadiri sebuah acara pameran arsip dan foto

Emir Moeis, Pendiri/Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia

tentang Gerakan Non-Blok (GNB). Pameran itu cukup menarik, karena menampilkan foto-foto dan arsip yang berkaitan dengan GNB.

Sebagaimana diketahui, GNB bermula bermula dari sebuah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung tahun 1955. Dalam KAA, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur.

Di tahun 1950-an hingga 1960-an suasana Perang Dingin, perseteruan antara kubu Barat dan Timur, semakin memanas. Maka, sejumlah pemimpin terkemuka negara dunia ketiga merasa perlu mendelkrasikan satu kubu baru yang tidak memihak kepada kedua kubu kekuatan dunia tersebut. Maka lima pemimpin dunia ketiga— Soekarno (Presiden Republik Indonesia), Josip Broz Tito (Presiden Yugoslavia), Gamal Abdul Naser (Presiden Mesir), Pandit JawaharlalNehru (Perdana Menteri India), dan Kwame Nkrumah (Perdana Menteri Ghana)—bersepakat membentuk GNB.

Konferensi pertama GNB digelar di Beograd, September 1961, dihadiri oleh 25 negara: 11 negara dari Asia, 11 negara dari Afrika, serta Yugoslavia, Kuba, dan Siprus. GNB mendedikasikan dirinya untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan ne0-kolonialisme.

GNB berjalan cukup sukses, dan bergema ke seantero dunia. Tapi, belakangan Bung Karno merasa GNB tidak cukup kuat untuk melawan imperalisme dan kolonialisme. Karena itu, Bung Karno kemudian melontarkan konsepsi The New Emerging Forces (NEFOS), di tahun 1961.

Dalam pemahaman Bung Karno, dunia harus dipetakan dalam dua kubu utama: NEFOS dan OLDEFOS (The Old Esthablished Forces). NEFOS mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l,homme par I’homme. Sedangkan OLDEFOS mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.

Tidak sekadar menggagas, Bung Karno pun menggalang negara-negara baru untuk bersatu dalam NEFOS. Dengan NEFOS, Bung Karno ingin menciptakan suatu dunia baru, membentuk suatu persahabatan dunia baru, tanpa penjajahan dan penindasan.

Seperti pernah saya tulis dalam rubrik ini beberapa waktu lalu, Bung Karno bercita-cita, kalau NEFOS terbentuk, negara-negara baru yang bernaung di bawahnya akan bisa saling membantu untuk segala kegiatan politik, keamanan terutama, dan ekonomi. Juga menjadi kekuatan yang sangat besar sehingga sulit bagi OLDEFOS untuk mengganggu negara-negara NEFOS. Dunia pun akan masuk ke suatu sistem koeksistensi damai, seperti pidato Bung Karno di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1964, yang bertajuk “To Build the World A New.

Untuk menggapai cita-citanya itu, Bung Karno mencanangkan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) dan Conference of New Emerging Force (CONEFO). GANEFO berhasil digelar November 1963 di Jakarta, diikuti diikuti oleh 2.200 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Sekitar 450 wartawan dari berbagai negara datang meliput ajang olahraga tandingan Olimpiade tersebut. GANEFO diboikot oleh negara-negara barat, tetapi tetap berlangsung sukses. Berbeda dengan Olimpiade yang didasarkan pada kompetisi murni untuk mencari juara, GANEFO justru dibasiskan pada olahraga untuk memperkuat persaudaraan dan solidaritas.

Sebelum Ganefo dibuka, Bung Karno mengundang kontingen Indonesia ke Istana Negara. Di situ ia menegaskan, tugas atlet Indonesia bukan hanya menunjukkan kemampuan mereka di bidang olahraga, tetapi juga membina persahabatan dengan atlet/peserta dari negara lain. Prestasi Indonesia pun cukup membanggakan di ajang GANEFO ini, yakni menempati urutan ketiga, setelah RRT dan USSR, dengan perolehan 21 emas,  25 perak, dan 35 perunggu. Yang menarik, dalam ajang GANEFO itu 16 rekor dunia berhasil dipecahkan di berbagai cabang olahraga. Ini artinya, Olimpiade saat itu masih sangat dinominasi oleh negara-negara Barat yang tidak membolehkan negara-negara yang beraliran sosialis turut berpartispasi di Olimpiade, seperti Tiongkok, Korea Utara, Kuba, Vietnam, dan lain-lain. Padahal, di negara-negara itu justru tersimpan potensi dunia.

GANEFO masih berlangsung sekali lagi di Kamboja tahun 1966 dalam bentuk GANEFO Asia,  yang diselenggarakan oleh sahabat Bung Karno, Pangeran Norodom Sihanouk, meski berlangsung kurang meriah dari GANEFO pertama di Jakarta.

Adapun CONEFO direncanakan akan digelar pada tahun 1965. Markas CONEFO pun dibentuk di Jakarta, di Senayan—yang kemudian digunakan sebagai Gedung MPR/DPR sekarang. Tapi, rupanya kali ini ini kaum nekolim berhasil. Meletuslah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dan Bung Karno pun jatuh dari kursi kekuasaannya. CONEFO, demikian pula NEFOS, semakin dilupakaan.

Sejak akhir tahun 1970-an, GNB mulai kehilangan perannya di pentas internasional. Hal tu berlanjut saat berakhirnya Perang Dingin. Sejak tiga dekade terakhir, GNB makin kehilangan relevansinya di tengah percaturan politik dunia. Kegiatan GNB hanyalah sebatas acara-acara seremonial belaka.

Kalau kita melihat di era 1980-1990-an muncul gagasan negara Utara-Selatan, sebetulnya itu tidak jauh dari gagasan NEFOS tadi, walaupun tidak sebangun. Karena itu, menarik untuk menghidupkan lagi semangat gerakan NEFOS—dengan GANEFO dan CONEFO—yang pernah digagas Bung Karno. Menurut saya, konsepsi NEFOS lebih relevan dan kontekstual dengan situasi percaturan internasional sekarang ini. Inilah momentum yang tepat untuk mennggelorakan kembali semanngat gerakan NEFOS, tentu disesuaikan dengan situasi yang berkembang di masa kini.

Pertanyaannya: adalah kemauan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang berasal dari rahim kaum nasionalis-marhaen, untuk menggali kembali dan menghidupkan semangat NEFOS tersebut? Walllahualam bissawab. []