Koran Sulindo – Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2018, kata demokrasi kembali marak diperbincangkan. Sebagian orang beranggapan demokrasi lewat pilkada adalah salah satu bentuk “perayaan” yang menggambarkan kedaulatan rakyat. Itu sebabnya pilkada terkadang disebut juga sebagai “pesta demokrasi”.
Demokrasi lantas menjadi sangat populer di kalangan masyarakat. Sering diucapkan, ditulis dan kita baca maupun kita dengar di mana-mana. Itu memang baik maknanya. Bahkan demokrasi kemudian diidentikkan dengan keadilan sosial. Akan tetapi, tidak pernah ada lanjutan untuk mempertanyakan makna sesungguhnya.
Ketiadaan pertanyaan lanjutan ini menjadi masalah. Pasalnya, ketika Amerika Serikat (AS) menyerbu Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah atas nama menegakkan demokrasi, tak banyak yang menentangnya. Secara akal sehat, tentu saja tindakan AS sebagai agresor itu jauh dari pengertian demokrasi. Sedangkan para elite politik di Indonesia acap mengucapkan “demokrasi iya, tapi jangan kebablasan.”
Pendeknya demokrasi dipersempit hanya dengan pengertian demikian. Ketika musim pilkada, demokrasi diartikan hanya sebagai kegiatan pengumpulan suara terbanyak. Lalu semakin dipersempit dengan istilah mayoritas dan minoritas. Sedangkan, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah istilah tentang bentuk suatu masyarakat yang mempunya ciri tertentu. Atau dengan kata lain, demokrasi itu berwatak kelas.
Soal ini, Lenin dalam karyanya berjudul The Proletarian Revolution and the Renegade Kautsky dengan tegas menyatakan “adalah wajar bagi seorang liberal berbicara demokrasi secara umum, namun seorang marxis tidak akan pernah lupa menanyakan: untuk kelas yang mana?”
Untuk menelusuri situasi demokrasi kita saat ini, ada baiknya kita mempelajari dan membaca kembali kuliah umum Indonesianis Jeffrey Winters berjudul Oligarchy and the Jokowi Administration di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 2015. Direktur Pengembangan Kesetaraan dan Studi Globalisasi Northwestern University, Amerika Serikat (AS) itu menuturkan dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki (elite) dengan kepentingan kekuasaan.
Selepas Orde Baru (Orba), kata Jeffrey, belum ada pola perubahan sistem pemerintahan secara mendasar manakala kekuasaan berbasis kepentingan masih membudaya dan terpelihara di kalangan elite politik. Perubahan dari Orba ke zaman reformasi hanya di permukaan. Tetapi, pemerintahan masih dikendalikan oleh kepentingan para oligarki.
Secara umum, definisi oligarki bisa diartikan sebagai sistem kekuasaan yang dijalankan atau dikendalikan oleh golongan atau pihak berkuasa dengan tujuan kepentingan golongan tersebut. Berdasarkan penelitiannya selama hampir 30 tahun, ia mengelompokkan dua model oligarki yang acap dibangun pemerintah yakni bersifat ekstraktif dan produktif. Sementara pemerintah Indonesia cenderung besifat oligarki ekstraktif atau bertujuan untuk mencabut kepentingan publik.
“Mau diakui atau tidak, secara konkret dan nyata sedang dihadapi masyarakat Indonesia sekarang. Pemerintahan Indonesia masih bersifat ekstraktif bukan produktif,” tutur Jeffrey.
Oligarki
Untuk membuktikan pernyataannya itu, Jeffrey merujuknya ke konteks pengelolaan sumber daya alam. Kendati negeri ini memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih tertinggal jauh dalam bidang apapun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, termasuk di bidang pertanian. Pengelolaan sumber daya alam termasuk minyak dan gas hanya dikelola golongan tertentu atau dimanfaatkan kalangan oligarki untuk mencapai kekayaan elite.
Jeffrey yang pernah menulis tentang oligarki pada 2011, memastikan keberadaan oligarki adalah mempertahankan kekayaan. Pemeliharaan kekuasaan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melibatkan oligarki yang acap menggunakaan cara paksaan untuk mengklaim hak milik dan kekuasaan kolektif terhadap cabang-cabang produksi negara.
Pandangan Jeffrey serupa dengan yang diungkapkan John Perkins dalai bukunya yang berjudul Confessions of an Economic Hitman yang diterbitkan pada 2004. Perkins menyebutkan sistem pemerintahan yang dikuasai para konglomerat sebagai korporatokrasi. Ia mendefinisikan korporatokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan beberapa korporat.
Mereka – para korporat itu – umumnya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam suatu negara. Para korporat ini juga umumnya membiayai para politikus, pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Kebijakan yang muncul dari sistem seperti ini hanya akan menguntungkan para konglomerat dan menindas golongan masyarakat yang lemah.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD juga berpendapat serupa ketika berbicara kepada wartawan di Universitas Airlangga pada 2014. Demokrasi kita disebut tersandera dan bergeser jadi oligarkis. Ketika anggota DPR itu seharusnya membahas kepentingan rakyat justru melakukan praktik lobi dengan anggota lainnya. Setiap kelompok di DPR, kata Mahfud, memiliki rekanan.
Karena itu, bila ada suatu kelompok tidak setuju terhadap sebuah kebijakan baru yang dibahas kelompok lain, maka semua anggota kelompok itu tidak akan menyetujui kebijakan tersebut. Alhasil, ada tindakan saling mengancam di dalam tubuh DPR. Berdasarkan fakta itu, Mahfud menyebut, sistem pemerintahan Indonesia sebagai politik oligarki karena dikuasai elite politik tertentu.
Untuk mengetahui demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, ada baiknya mencermati penuturan sejarawan profesor emiritus Ellen Meiksins Wood dari Universitas York, Toronto dalam wawancaranya dengan newsocialist.org. Pendapatnya tersebut berkaitan dengan bukunya berjudul Democracy Againts Capitalism yang diterbitkan pada 1995. Bukunya itu menarik perhatian publik lantaran mempertentangkan demokrasi dengan kapitalisme. Bagi sebagian orang sistem kapitalisme merupakan satu-satunya sistem pembawa demokrasi sejati.
Wood lalu menyanggah anggapan yang keliru itu. Pertama-tama, kata dia, haruslah diartikan apa itu yang disebut sebagai demokrasi sejati. Dalam bahasa Yunani kuno demos adalah rakyat, penduduk – dan tidak hanya dalam pengertian politik yang mengawang-awang, tetapi juga sebagai kategori sosial: orang-orang biasa atau bahkan orang-orang miskin. Sementara kratos berarti kekuatan, kekuasaan, pemerintahan.
Berdasarkan pengertian ini, demokrasi, kata Wood, tidak lebih tidak kurang berarti rakyat yang berkuasa, bahkan juga berarti kekuasaan dari orang biasa atau rakyat jelata. Lebih jauh lagi, sejarawan lain bahkan menyebutkan makna asli demokrasi bisa disamakan dengan apa yang disebut sebagai diktatur proletariat. Dari situ, Wood menyimpulkan, demokrasi berwatak kelas yakni membalikkan kekuasaan oleh massa terhadap kelas pemilik atau elite. Berdasarkan itu pula, kapitalisme hampir-hampir tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan demokrasi.
Wood akan tetapi sadar masih banyak yang perlu dibicarakan lebih dalam mengenai demokrasi. Semisal, mereka yang memaknai demokrasi sebagai pemilihan umum pun dan menjadi wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan semua tindakan mereka kepada rakyat. Dari sini timbullah pertanyaan: kapitalisme itu memperbesar atau memperkecil kekuasaan rakyat untuk memerintah diri sendiri dan mengatur kehidupan mereka?
Soal demokrasi ini, mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi berpendapat demokrasi adalah kekuasaan rakyat oleh rakyat. Untuk mencapai pengertian demikian, menurut Gaddafi, melalui Kongres Rakyat dan Komite Rakyat. Kedaulatan rakyat disebut Gaddafi hanya bisa dicapai melalui kedua lembaga tersebut.
“Tidak akan ada demokrasi tanpa Kongres Rakyat dan Komite Rakyat di mana pun,” tulis Gaddafi dalam bukunya yang telah diterjemahkan berjudul Menapak Jalan Revolusi.
Demokrasi Rakyat
Ia menuturkan, pertama-tama, rakyat dibagi-bagi menjadi Kongres Rakyat Utama. Setiap Kongres Rakyat Utama memilih sekretariatnya. Lalu, sekretariat-sekretariat tersebut bersama-sama membentuk Kongres Rakyat yang berbeda dengan Kongres Rakyat Utama. Dari situ, massa kemudian memilih administrasi Komite Rakyat untuk menggantikan administrasi pemerintahan. Jadi, seluruh urusan publik dijalankan Komite Rakyat yang akan bertanggung jawab kepada Kongres Rakyat Utama.
Kongres Rakyat Utama memutuskan kebijaksanaan yang harus dijalankan Komite Rakyat. Juga mengawasi pelaksanaannya. Jadi, administrasi dan supervisi, tulis Gaddafi, menjadi tugas rakyat yang lalu akan menghasilkan definisi demokrasi yaitu kekuasaan rakyat oleh rakyat. Dengan demikian, definisi lama yang berbunyi demokrasi adalah kekuasaan pemerintahan oleh rakyat akan tergantikan.
Lenin dalam karyanya berjudul Democracy and Dictatorship juga menyinggung demokrasi yang dimaknai sebagai pemilihan umum (pemilu). Kaum pengkhianat, demikian Lenin, menganggap pemilu sebagai “demokrasi murni”. Istilah tersebut dimaksudkan hanya untuk menipu rakyat dan menyembunyikan karakter demokrasi borjuis di masa kini.
Dengan demikian, kata Lenin, kaum pemilik atau borjuis akan terus menguasai segala perangkat kekuasaan negara. Segelintir orang dibiarkan terus menghisap dengan menggunakan mesin negara kaum borjuis itu. Pemilu yang diadakan dalam keadaan demikian akan mendapat pujian dari kaum borjuis. Mereka beralasan pemilu itu berjalan dengan demokratis, “bebas”, “adil” dan “universal”.
Dari fakta-fakta itu, menurut Lenin, kalimat atau kata-kata demokrasi memang dirancang untuk menyembunyikan kebenaran. Menyembunyikan fakta bahwa ekonomi dan kekuatan politik tetap berada dalam genggaman segelintir orang yang disebut oligarki itu. Justru demokrasi demikian hanya mengeksploitasi rakyat dan sangat menguntungkan kaum oligarki itu.
Karakter demokrasi demikian, kata Lenin, oleh kaum oligarki dijajakan sebagai demokrasi modern dan “demokrasi murni”. Padahal dalam praktiknya demokrasi demikian sama sekali tidak berkaitan dengan rakyat terutama kaum proletar. Demikian Lenin.
Pendapat dari berbagai pihak itu nampaknya sangat relevan dengan situasi demokrasi kita hari ini terutama menjelang pilkada serentak pada Juni nanti. Selain hanya dikuasai segelintir orang, pelaksanaan demokrasi itu juga menelan biaya yang besar. Data yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, sepanjang 2014 hingga 2019 penyelenggaran “pesta demokrasi” (pemilu dan pilkada) menghabiskan uang negara Rp 68,15 triliun. Kendati mengeluarkan uang dalam jumlah fantastis, tak lalu hasilnya bermanfaat bagi rakyat. Kalau demikian, apakah ada gunanya berbicara tentang demokrasi sebagai konsep umum? [Kristian Ginting]