Koran Sulindo – Tak bisa dinafikan, begitu banyak energi bangsa ini terkuras semasa Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 berlangsung. Bahkan, setelah hasil akhirnya diumumkan secara resmi masih ada kegaduhan demi kegaduhan terjadi. Juga terlihat adanya segregasi sosial di kalangan pendukung peserta pemilihan tersebut.

Tak mengherankan jika ada yang mengatakan, Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah pilkada paling brutal sepanjang sejarah. Tak perlu diuraikan lagi apa saja kebrutalan yang telah terjadi, karena banyak media massa telah memberitakan. Yang pasti, kebrutalan itu juga terjadi di ranah media sosial di Internet. Fitnah dan ujaran kebencian bertebaran seakan tak kenal waktu.

Padahal, harus diakui pula, “luka” akibat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 belum sembuh benar. Di sana-sini masih bisa terbaca cara berpikir dan bersikap yang menandakan ada pemilahan “kita” dan “mereka” yang dikedepankan berbagai kelompok, yang seolah lebih utama dan lebih penting tinimbang kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa.

Inikah hasil dari demokrasi yang diinginkan setelah reformasi bergulir di negara ini? Akankah terus dipertahankan demokrasi yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara seperti itu?

Mungkin banyak yang lupa, demokrasi bukanlah sistem yang sudah selesai, tapi sistem yang masih harus terus-menerus dilengkapi dan disempurnakan.

Demokrasi, terutama di negara ini, masih menyimpan banyak sisi gelap, yang kerap dimanfaatkan berbagai pihak untuk semata-mata kepentingan dirinya dan kelompoknya, bukan kepentingan bangsa dan negara. Politik transaksional dan politik gentong babi (pork barrel) masih banyak dijalankan oleh orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai politisi. Yang belakangan itu, politik gentong babi, adalah penggunaan uang negara oleh politisi untuk digelontorkan kepada konstituennya agar mendapatkan dukungan politik (kembali).

Sisi gelap yang lain dari demokrasi kita hari ini adalah munculnya kelompok-kelompok anarkis dan intoleran. Kelompok-kelompok yang merasa berada di atas hukum.

Namun, memang, munculnya kelompok-kelompok seperti itu tak bisa dilepaskan dari sikap kepemimpinan nasional dan upaya penegakan hukum. Bila jajaran kepemimpinan nasional tak mampu bersikap tegas karena tersandera banyak kepentingan, kelompok-kelompok intoleran dan kelompok-kelompok pengusung politik identitas bak mendapat lahan yang subur di tengah sistem demokrasi yang masih jauh dari sempurna. Kondisinya akan semakin buruk ketika aparat hukum tergoda untuk bermain-main dengan kekuasaan yang mereka pegang.

Perlu segera dicatat, bersikap tegas bukan berarti penyelenggara negara bisa seenak-enaknya melakukan kekerasan. Kekerasan yang dijalankan oleh negara tetaplah harus kekerasan yang dilindungi undang-undang dan harus berpijak pada landasan ideologis, Pancasila, yang memiliki prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Demikian pula sistem demokrasi yang dijalankan di negara ini, sudah sepatutnyalah memegang prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila. Lima sila yang ada dalam Pancasila bukan semata-mata dijadikan spirit yang abstrak, tapi benar-benar dijadikan panduan untuk menjalankan praktik demokrasi. Untuk itu, adalah keniscayaan untuk meninjau kembali “manual book” kita dalam berdemokrasi: Undang-Undang Dasar 1945. Apakah konstitusi kita yang sekarang sudah benar-benar menjalankan prinsip-prinsip Pancasila? Haruskah kita kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang belum diamandemen, yang waktu perumusannya tak terpaut jauh dengan penggalian Pancasila oleh Bung Karno? []