Menggerogoti Bung Karno, Menguasai Indonesia

President John F. Kennedy salah satu dari sedikit orang Amerika yang menjadi sahabat Bung Karno. (foto/jfklibrary.org)

Koran Sulindo – Keberhasilan tentara menumpas pemberontakan PRRI-PERMESTA memang menghapus satu kontradiksi di dalam TNI AD. Namun di sisi lain capaian itu justru memicu kontradiksi baru yang bersifat intern dan ekstern.

Di internal AD moncernya bintang Ahmad Yani justru memicu disequilibrium baru di jajaran Staf Umum Angkatan Darat (SUAD).

Kontradiksi pertama yang muncul setelah penumpasan itu adalah memburuknya hubungan Yani dengan Nasution.

Bertindak sebagai komandan penumpasan di Padang dan Minahasa, Yani tentu berhak atas penghargaannya. Hij was degene di de lauweren oogst,bukan Nasution.

Di sisi lain, ketidaksenangan Nasution pada Yani tak melulu soal bintang. Jauh sebelumnya, Nasution sudah tak menyukai karena kedekatannya dengan Atase Militer AS Letkol Benson.

Nasution menganggap hubungan itu terlalu intim dan pribadi karena secara prinsip sebagai pimpinan AD ia telah melarang semua perwira memiliki hubungan pribadi dengan korps diplomatik negara asing.

Kontradiksi lainnya di TNI AD adalah hubungan antara Yani dan Soeharto dari Kodam Diponegoro yang baru saja masuk Staf Umum Angkatan Darat atas jaminan Gatot Subroto.

Sebenarnya, setelah Soeharto terbukti menjalankan penyelundupan besar-besaran melalui Pelabuhan Semarang ia sudah meminta berhenti jadi tentara. Nasution yang punya inisiatif membongkar penyelundupan itu sangat marah dan berencana memecat Soeharto.

Namun atas desakan Gatot Subroto, Soeharto akhirnya lolos dan hanya dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.

Dalam memoar Haryo Kecik III Dari Moskwa ke Peking menurut keterangan perwira-perwira Diponegoro, Soeharto diam-diam iri kepada Yani karena meski lebih senior namun kedudukan Yani justru lebih tinggi. Jabatannya sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat setelah ditunjuk Bung Karno itu benar-benar mengecewakan Soeharto

Kekecewaan ini bahkan membuat Soeharto berniat mundur dari tentara untuk kedua kalinya. Daud Sinyal dalam bukunya Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto meredakan kekecewaan Soeharto,  Gatot menghiburnya dengan mengatakan,  “waktumu akan sampai, malah akan mencapai kedudukan yang lebih tinggi.”

Kontradiksi ketiga dan yang paling penting dan lebih berbahaya yakni kontradiksi antara rakyat dan blok imperialis. Pemberontakan PRRI-PERMESTA tak bisa dilihat sebagaimana pemberontakan-pemberontakan lain seperti DI-TII atau RMS tapi sebagai combat-reconaisance yang dijalankan AS secara profesional.

Revaluasi Amerika

Menurut Haryo Kecik, PRRI-PERMESTA bukan sekadar pemberontakan atas inisiatif beberapa perwira AD yang ‘nakal’. Tapi merupakan kelanjutan sebuah operasi intelijen imperialis yang terencana, jangka panjang dan kontinyu. Ia menyebut bahkan operasi itu sudah dimulai sejak tahun 1945.

Indonesia menjadi target kaum imperialis karena dalam UUD 1945 jelas-jelas mengandung pernyataan yang dengan mencantumkan bahwa musuh bangsa adalah imperialisme, kapitalisme dan feodalisme.

Dasar-dasar ini menjadi pernyataan perang negara yang baru lahir pada kekuatan-kekuatan lama seperti Amerika. Pernyataan itu menjadi berbahaya karena suasana perang belum benar-benar sepenuhnya reda.

Di daratan Cina masih berkobar perang pembebasan antara tentara Mao Zedong dan Chiang Kai Shek, sementara di Eropa untuk mengimbangi pengaruh Rusia negara-negara di sana mengadopsi Marshall-plan yang disponsori Amerika.

Di sisi lain suasana domestik AS berkembang red scare yang kemudian dimanfaatkan dengan jitu oleh Partai Republik.

Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSC) bahkan telah menerbitkan serangkaian dokumen politik yang menuntut, “tindakan cepat bekerja sama dengan negara sahabat lainnya untuk mencegah pengendalian tetap kaum Komunis terhadap Indonesia.”

Sebuah laporan NSC 171/1 tahun 1955 tentang Indonesia mempertimbangkan pelatihan militer sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh Amerika. Tak hanya militer, bantuan utama CIA itu juga ditujukan kepada partai-partai politik sayap kanan seperti Masyumi dan PSI.

Jutaan dolar uang CIA yang digelontorkan pada kedua partai itulah menjadi faktor yang paling mempengaruhi peristiwa pada tahun-tahun berikutnya.

Sementara itu dari dokumen NSC 5518 terungkap bahwa Amerika menggelar operasi rahasia untuk menjatuhkan Sukarno jika ia semakin memberi angin kepada partai sayap kiri.

Lalu apa tujuan sesungguhnya AS ketika memutuskan mendukung bahkan menyiapkan persenjataan bagi PRRI-PERMESTA?

Menurut Haryo Kecik, tujuan AS tak lain adalah untuk membuat revaluasi mengenai keadaan Indonesia di bidang politik, militer, terutama kualitas tokoh-tokohnya di kedua bidang itu. Mereka sungguh-sungguh mencari tahu di mana letaknya kekuatan dan kelemahan Indonesia.

“Lalu setelah hancurnya PRRI-PERMESTA kesimpulan apa yang ditarik Amerika, kita harus berhati-hati menarik konklusi karena sangat berbahaya di hari depan jika salah menyimpulkan,” kata Haryo Kecik kepada Bung Karno ketika pada suatu pagi akhir Januari 1965 ia dipanggil ke Istana Negara.

Mendengar uraian itu menurut Haryo Kecik, Bung Karno mengangguk dan bertanya. “Bagus, bagus. Tapi, menurut kamu apa jawabannya?”

Menjawab pertanyaan itu Haryo Kecik mengaku hanya mengandalkan nalurinya. Saat Bung Karno mendesak, ia akhirnya menjawab dengan tegas.

“Saya sangat prihatin. Imperialis hanya melihat Bapak sebagai musuh nomor satu, yang mereka ingin lenyapkan den gan cara apapun dan kapanpun, bukan orang lain di Indonesia,” kata Haryo Kecik.

Didikan Amerika

Menurut analisa Haryo Kecik, kondisi SUAD yang lemah dan aparat birokrasi pemerintahan pusat yang korup pasti diketahui dengan persis oleh intelijen imperialis.

Di sisi lain, ketika sejumlah pemberontakan berhasil dikalahkan semata-mata oleh semangat nasionalisme. Mereka pasti menyimpulkan pemberontakan bersenjata yang disulut dari daerah tak bakalan berhasil sepanjang Bung Karno masih hidup.

“Jadi sasaran utama mereka seharusnya Bapak jika mereka ingin menghancurkan dan mengubah Indonesia menjadi satelitnya. Saya yakin dengan apa yang saya katakan ini,” kata Haryo Kecik.

Kekhawatiran Haryo Kecik tentang keselamatan Bung Karno pada pertemuan itu akhirnya memang tak terucapkan. Ia baru memikirkannya lagi ketika dalam penugasan belajarnya di Moskow bertemu dengan Cindy Adams, penulis biografi Bung Karno.

Dalam basa-basi itu Cindy jelas terkejut bahwa Haryo berangkat ke Moskow bukan atas perintah Bung Karno namun atas inisiatif Yani.

Ini menggugah pemikiran di benak Haryo Kecik untuk mengetahui bagaimana penilaian intelijen imperialis itu kepada Yani sebagai obyek yang dapat digunakan dalam strategi politik Amerika.

Menurut Haryo Kecik, semakin besar harapan mereka yang ditumpahkan kepada Yani akan makin besar kekecewaan mereka jika ternyata evaluasi terhadap kepribadian Yani menunjukkan kekurangan yang fatal untuk mereka. Lalu apa harapan Amerika terhadap Yani?

Menurut Haryo Kecik analisa terhadap Yani harus dimulai dari premis bisakah Yani mengimbangi Nasution setelah ia masuk SUAD.

Amerika meletakkan harapan besar pada Nasution saat terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Bintangnya bersinar ketika bersama Divisi Siliwangi sukses menumpas FDR dalam Peristiwa Madiun.

Namun harapan Amerika kepada Nasution segera hilang ketika ia bersedia diangkat kembali menjadi KSAD. Ia secara moral dianggap sudah menyerah total kepada Bung Karno. Pada titik inilah kemudian meletus  pemberontakan PRRI-PERMESTA yang melambungkan nama Yani.

Sebagai operasi combat reconnaissance terselubung Amerika, pemberontakan itu digunakan untuk memberikan kesempatan pada Yani agar bisa menonjolkan jasanya pada Bung Karno.

Menurut, Haryo semua skenario itu dibuat Amerika supaya Yani dapat menonjolkan namanya di mata Bung Karno dan memperoleh kepercayaannya. Amerika mudah merekayasa ‘pemberontakan’ PRRI-PERMESTA yang menurut Haryo Kecik tak lebih hanya soal-soal gurem dibanding operasi intelijen mereka dalam Perang Dunia 2.

“Pemberontakan itu  boleh dikatakan seratus persen karangan mereka. Saya tidak membesar-besarkan masalah ini,” kata Haryo Kecik dalam bukunya.

Sama seperti ketika Nasution dianggap tunduk kepada Bung Karno, penilaian CIA juga berubah ketika Yani mengambil jalan kompromi. Mereka mengubah personnel policy yang dimiliki sekaligus menimbang ulang penilaian mereka akan manfaat Yani dalam strateginya.

Menurut Haryo Kecik hal itu sangat mengkuatirkannya. Menjaga kerahasiaan proyeknys, CIA tak bakalan ragu-ragu mengorbankan orang-orang yang dianggap membahayakan rencananya. Mereka gampang saja menghabisi para penghalang-penghalang itu dengan cara mereka sendiri.

Soeharto

Menyusul kegagalan PRRI-PERMESTA Amerika mulai meningkatkan program bantuan militer kepada Indonesia hingga US$ 20juta per tahun. Sebuah nota Kepala Staf Gabungan AS menyebut bantuan itu diberikan kepada AD sebagai satu-satunya kekuatan non-komunis dengan kemampuan menghambat PKI.

Ketika PKI tumbuh sebagai gerakan massa terbesar di Indonesia pada dekade 50-an, para peneliti dan akademik AS di think-tank yang disponsori AU AS dan CIA mulai memaksakan kontak-kontak mereka dengan AD Indonesia secara terang-terangan.

Salah satu dari mereka adalah Guy J. Pauker yang bertindak sebagai konsultan Rand Corporation. Ia secara tetap memelihara hubungan dengan ‘suatu kelompok sangat kecil’ intelektual PSI yang mendesak teman mereka di AD mengambil alih kepemimpinan nasional.

Pauker menyebutnya hal itu dengan ‘melaksanakan suatu misi’ dan untuk itu ‘menyerang dan menyapu bersih rumahnya’.

Kawan terdekat di AD ini adalah Suwarto yang pernah bersekolah di AS dan berperan penting mengubah fungsi tentara dari fungsi revolusionernya.

Pada dekade itu itu ia ‘membangun’ ulang Sekolah Staf dan Komando AD menjadi tempat berlatih untuk mengambil alih kekuasaan politik sekaligus menjadi pusat perhatian Pentagon, CIA, Rand Corp dan secara tidak langsung Yayasan Ford.

Di bawah bimbingan Nasution dan Suwarto, Seskoad juga mengembangkan doktrin strategis baru yakni Perang Teritorial untuk memberikan prioritas kontra-pemberontakan kepada AD setelah 1962.

Meski dikenal jarang masuk Soeharto oleh perwira-perwira Diponegoro yang sekolah dan bekerja di sana diusulkan menjadi siswa terbaik. Sutoyo yang juga memiliki pengaruh di lembaga tersebut menolak mentah-mentah ide itu. Suwarto menyetujui penolakan itu.

Mengorbitnya bintang Yani berulang kepada Soeharto ketika Operasi Trikora memasuki fase konfrontasi total. Ia ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala awal tahun 1962.

Soeharto juga ditunjuk sebagai Panglima Komando Tentara I Cadangan Umum Angkatan Darat (KORRA 1 CADUAD) yang kelak berganti nama menjadi Kostrad. Panglima kesatuan inilah yang lazim bertindak mewakili KSAD/Mendangad jika ia berhalangan.

Kelaziman itulah yang membuat Soeharto tampil menggantikan Yani pada saat-saat genting di akhir tahun 1965. Tahun di mana Bung Karno mulai memasuki periode awal dari akhir kepemimpinannya.

Perlahan tapi pasti Soeharto atas nama penumpasan komunis berhasil mengkonsolidasikan tentara ditangannya sekaligus menggulingkan Bung Karno dari kursi kepresidenan. (TGU)