Agustin Teras Narang

Koran Sulindo – Pembatalan ribuan peraturan daerah oleh Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu masih menyisakan kontroversi. Namun, kontroversi tersebut belum menyentuh substansi dan hanya menyentuh soal-soal intoleransi atau yang disebut perda syariat Islam.

Kemendagi lantas membantah ribuan perda yang dibatalkan itu hanya terkait syariat Islam. Ribuan perda yang dibatalkan itu lebih kepada soal-soal ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Perda-perda tersebut dianggap menghambat kemajuan akan percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk menanggapi kontroversi ini, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Teras Narang angkat bicara. Menurutnya, yang perlu didiskusikan mengenai perda bukanlah soal intoleransinya. Tapi, perda tersebut mesti dicek betul atau dalam bahasa Teras, mesti diaudit apakah sesuai atau bertentangan dengan undang undang.

“Makanya perlu ada semacam legal audit. Ini semacam audit internal terhadap semua aturan di bawah UU. Hanya dengan itu perda tersebut bisa dicek apakah sesuai atau bertentangan dengan UU,” kata Teras yang juga bekas Ketua Komisi II DPR itu saat ditemui wartawan Koran Sulindo di rumahnya, Jakarta, Kamis [23/6].

Teras bercerita, berdasarkan pengalamannya sebagai Gubernur Kalimantan Tengah, setiap pengambil kebijakan di daerah itu acuannya berbeda-beda. Sebab, dasar pembuatan perda, misalnya, berbeda antara satu dengan lainnya. Itu sebabnya, diperlukan semacam legal audit atas semua kebijakan yang dibuat pemimpin di daerah-daerah itu.

Karena itu, kata Teras, agar legal audit ini berjalan, diperlukan sebuah dasar hukum, semisal instruksi presiden. Karena ini semacam audit internal. “Untuk mengaudit soal perda kelautan, misalnya, maka itu dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Begitu juga yang lainnya,” kata Teras.

Berkaitan dengan pembatalan ribuan perda oleh Kemendagi dan dipersoalkan beberapa pihak, Teras mengatakan, itu tidak masalah. Terlebih berdasarkan UU tentang Pemerintah Daerah tahun 2014, Kemendagri berwenang membatalkan perda tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sementara gubernur berwenang di kabupaten/kota.

“Dan itu tidak perlu melalui uji materi atau judicial review. Yang perlu melalui dari uji materi kalau ada pihak di luar pemerintah yang keberatan atas perda,” kata Teras.

Hal itu sesuai Pasal 249 sampai Pasal 252 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kemendagri beberapa waktu lalu telah membatalkan 3.143 perda yang dianggap bertentangan dengan UU. Keputusan Kemendagri ini sesuai dengan UU tentang Pemda Tahun 2014. Sebelum perubahan UU Pemda dibuat pada 2004. Kedua UU ini memiliki perbedaan dalam membatalkan sebuah perda.

Pada UU Pemda Tahun 2004, Kemendagri hanya bisa membatalkan 4 peraturan, yaitu terkait dengan pajak daerah, restitusi daerah, APBD, dan RTRW. Lainnya harus melalui uji materi. Sementara pada UU Pemda Tahun 2014, produk hukum kabupaten/kota bisa dibatalkan gubernur dan produk hukum di provinsi bisa dibatalkan menteri dalam negeri.

Untuk kasus tertentu, jika gubernur tidak membatalkan perda kabupaten/kota yang dianggap bertentangan, maka menteri dalam negeri bisa membatalkannya. Karenanya, pembatalan perda disebut tidak perlu menempuh uji materi ke Mahkamah Agung. [Kristian Ginting]