Pada 23 Juni 1985, dunia dikejutkan oleh serangkaian serangan teror yang terkoordinasi dengan presisi mengerikan. Dua ledakan mengguncang dua lokasi berbeda namun memiliki benang merah yang sama, keduanya menargetkan maskapai Air India.
Satu terjadi di Bandara Internasional Narita, Jepang, dan satu lagi di langit Samudra Atlantik, menghancurkan Air India Flight 182. Dua tragedi dalam satu hari ini bukan hanya menewaskan ratusan orang, tetapi juga mengubah wajah keamanan penerbangan internasional selamanya. Di rangkum dari berbagai sumber, berikut rincian kronologinya.
Ledakan di Bandara Narita
Pagi itu, sekitar pukul 06:19 waktu setempat, Bandara Internasional Narita, salah satu hub udara utama Jepang, menjadi saksi dari sebuah ledakan dahsyat di ruang penanganan bagasi. Sebuah koper berisi bom yang sedang transit meledak sebelum sempat dimuat ke dalam Air India Penerbangan 301.
Ledakan tersebut menewaskan dua petugas bagasi dan melukai empat orang lainnya. Bom tersebut dibuat dari kombinasi dinamit dan amonium nitrat—bahan peledak yang kuat dan mematikan.
Serangan ini bukan insiden acak. Penyelidikan mengungkap bahwa bom tersebut adalah bagian dari komplotan yang lebih besar, digerakkan oleh kelompok ekstremis Sikh dari Kanada yang mendukung gerakan separatis Khalistan. Mereka diketahui berkoordinasi dengan Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army), dan serangan di Narita disebut sebagai balasan atas dukungan Jepang terhadap Amerika Serikat dalam Perang Dingin.
Beberapa jam setelah insiden di Narita, tragedi yang jauh lebih besar terjadi di atas Samudra Atlantik. Air India Flight 182, pesawat Boeing 747-237B yang tengah mengudara dalam rute Montreal–London–Delhi–Mumbai, meledak di ketinggian 31.000 kaki. Sebuah bom, yang ditempatkan dalam koper dari Vancouver, meledak di udara dan menghancurkan seluruh badan pesawat.
Sebanyak 329 nyawa melayang, terdiri dari 268 warga Kanada, 27 warga Inggris, dan 22 warga India. Tidak satu pun penumpang atau awak yang selamat. Serangan ini menjadi tragedi penerbangan terburuk dalam sejarah Kanada dan merupakan serangan teroris paling mematikan di dunia sebelum serangan 11 September 2001.
Siapa di Balik Serangan?
Investigasi menuntun pada nama Talwinder Singh Parmar, pemimpin kelompok radikal Babbar Khalsa, dan Inderjit Singh Reyat, seorang teknisi yang kemudian mengaku bersalah atas pembuatan bom dan pembunuhan tidak berencana. Reyat juga dihukum atas perannya dalam ledakan di Narita.
Penyelidikan juga mengungkap bahwa serangan ini bisa dicegah, andai saja lembaga-lembaga keamanan Kanada mampu berkoordinasi lebih baik. Kegagalan dalam pertukaran informasi intelijen menjadi titik lemah fatal yang dimanfaatkan oleh para pelaku.
Motif utama serangan berasal dari ketegangan politik dan agama yang memuncak di India pada awal 1980-an. Setelah invasi militer India ke Kuil Emas di Amritsar—tempat suci umat Sikh—dan pembunuhan Perdana Menteri Indira Gandhi oleh pengawalnya yang beragama Sikh, gerakan kemerdekaan Khalistan mendapatkan momentum di kalangan diaspora Sikh, khususnya di Kanada.
Serangan-serangan ini merupakan bentuk ekstrem dari kemarahan dan perlawanan terhadap pemerintah India, dan dilaksanakan dalam bentuk yang paling mematikan dan simbolik: merenggut nyawa ratusan warga sipil tak berdosa.
Ledakan ganda pada 23 Juni 1985 meninggalkan luka mendalam, tak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi dunia internasional. Peristiwa ini menjadi katalisator bagi pembaruan sistem keamanan penerbangan global. Pemeriksaan bagasi menjadi lebih ketat, kebijakan pertukaran informasi intelijen diperkuat, dan perhatian dunia terhadap ancaman terorisme transnasional semakin tinggi.
Hari itu menjadi pengingat bahwa terorisme dapat melintasi batas negara, dan bahwa kerja sama internasional adalah kunci utama untuk mencegah tragedi serupa di masa depan. Kini, setiap koper yang masuk ke ruang bagasi pesawat diperiksa dengan teknologi canggih demi keselamatan bersama. [UN]



