Setiap periode dalam sejarah suatu bangsa memiliki momen-momen krusial yang mengubah arah perjalanannya. Di Indonesia, salah satu momen tersebut adalah TRITURA—sebuah gelombang perlawanan rakyat yang dipimpin oleh mahasiswa di tengah ketidakstabilan politik dan ekonomi pasca-G30S 1965. Gerakan ini tidak hanya mencerminkan semangat perjuangan generasi muda, tetapi juga menjadi bukti nyata bagaimana suara rakyat mampu mengguncang pemerintahan yang berkuasa.
Melalui artikel ini, kita akan membahas bagaimana TRITURA muncul sebagai respons terhadap pergolakan zaman, mengapa tuntutan tersebut begitu signifikan, dan bagaimana peristiwa ini menjadi pijakan penting dalam peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Mari menyusuri jejak sejarah yang penuh perjuangan ini dan melihat apa yang membuat TRITURA menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia.
Sejarah TRITURA
Pada tanggal 10 Januari 1966, mahasiswa Indonesia memulai serangkaian aksi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung selama lima hari berturut-turut. Gerakan ini dikenal dengan nama TRITURA, singkatan dari Tiga Tuntutan Rakyat, yang muncul sebagai respons atas ketidakstabilan politik dan ekonomi pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Peristiwa G30S yang terjadi pada malam 30 September 1965 mengguncang Indonesia dengan aksi penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang utama di balik tragedi tersebut. Namun, empat bulan setelah kejadian itu, mahasiswa merasa bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan tegas terhadap PKI. Keterlibatan tokoh-tokoh yang terafiliasi dengan PKI dalam pemerintahan semakin memperburuk situasi.
Dengan kondisi tersebut, mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mengajukan tiga tuntutan yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah. Tuntutan tersebut meliputi pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga kebutuhan pokok.
KAMI, yang terbentuk pada 25 Oktober 1965, menjadi motor utama aksi TRITURA. Organisasi ini dilatarbelakangi oleh sentimen anti-komunis yang telah meluas sebelum demonstrasi besar-besaran tersebut. Aksi TRITURA tidak hanya diikuti oleh KAMI, tetapi juga melibatkan berbagai organisasi lain seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Puluhan ribu massa aksi mendapatkan dukungan luas, baik dari masyarakat umum maupun tentara, yang memperkuat gelombang demonstrasi.
Menanggapi tekanan dari aksi TRITURA, Presiden Sukarno memutuskan untuk merombak Kabinet Dwikora. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1966, Kabinet Dwikora II yang berisi 132 pejabat diumumkan pada 21 Februari 1966. Kabinet ini kemudian dikenal dengan julukan “Kabinet Seratus Menteri.”
Namun, pengumuman ini justru memicu demonstrasi yang lebih besar pada 24 Februari 1966. Massa gabungan dari KAMI dan organisasi lainnya berusaha menghambat pelantikan Kabinet Dwikora II. Demonstrasi ini berujung bentrok, dengan massa semakin mendekati Istana Negara. Situasi memanas hingga terjadi tembakan yang menewaskan dua korban yaitu Arif Rahman Hakim, mahasiswa kedokteran UI, dan Zubaedah, seorang siswi SMA.
Setiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Hari ini mengingatkan kita pada sejarah perjuangan mahasiswa yang melakukan aksi besar pada tahun 1966 untuk menyuarakan tiga tuntutan penting: menurunkan harga barang, merombak Kabinet Dwikora, dan membubarkan Partai Komunis Indonesia. Aksi Tritura menjadi simbol perjuangan rakyat melawan ketidakadilan dan ketidakseimbangan sosial pada masa itu. Demonstrasi yang dimotori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ini berlangsung dari tanggal 10 hingga 13 Januari 1966, melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pelajar, buruh, dan akademisi.
Rangkaian demonstrasi TRITURA menjadi salah satu pemicu utama gejolak sosial-politik di Indonesia pada masa itu. Puncaknya terjadi pada 11 Maret 1966, saat Presiden Sukarno meninggalkan sidang kabinet di Istana Bogor. Kejadian ini menandai peralihan kekuasaan dari Orde Lama yang dipimpin Sukarno ke Orde Baru di bawah kendali Soeharto.
TRITURA tidak hanya menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan, tetapi juga menandai babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Dengan keberanian mahasiswa dan dukungan berbagai elemen masyarakat, gerakan ini membuktikan bahwa suara rakyat mampu mengubah arah perjalanan bangsa. [UN]