Mengenang Misi Terakhir Pesawat Ulang Alik Atlantis

Kru STS-135 yang terdiri dari astronot NASA Rex J. Walheim, Douglas G. Hurley, Christopher J. Ferguson, dan Sandra H. Magnus. (NASA)

8 Juli 2011 menjadi tonggak sejarah tak terlupakan dalam perjalanan eksplorasi luar angkasa umat manusia. Pada hari itu, dari Launch Pad 39A di Kennedy Space Center, Florida, pesawat ulang-alik Atlantis mengangkat tubuhnya menuju langit untuk terakhir kalinya, menandai awal misi STS-135 sekaligus mengakhiri perjalanan 30 tahun program pesawat ulang-alik milik NASA.

Misi yang membawa empat astronot, Christopher J. Ferguson, Douglas G. Hurley, Sandra H. Magnus, dan Rex J. Walheim  bukanlah sekadar perjalanan antariksa biasa. Ia adalah simbol perpisahan, penutup bagi salah satu era paling penting dalam sejarah penerbangan luar angkasa manusia.

Sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden George W. Bush pada Januari 2004, visi pensiunnya pesawat ulang-alik setelah selesainya Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) telah menjadi semacam garis akhir yang perlahan didekati. Dan pada musim panas 2011, garis itu dilintasi.

Namun di balik gemuruh mesin dan cahaya api yang mengantar Atlantis ke angkasa, tersimpan sebuah misi yang lebih dalam daripada sekadar rutinitas penerbangan ke orbit. STS-135 tidak hanya membawa muatan dan kru; ia membawa harapan terakhir, penutup dari sebuah era, serta simbol tekad umat manusia dalam menjembatani masa lalu dan masa depan eksplorasi luar angkasa.

Apa yang dilakukan oleh empat astronot di misi ini menjadi catatan penting yang melebihi dimensi teknis, sebuah narasi tentang transisi, kolaborasi, dan warisan yang tak tergantikan. Melansir laman resmi NASA, berikut adalah rangkuman sejarah misi STS-135.

Misi Terakhir

Tujuan utama STS-135 adalah mendukung ISS dengan membawa lebih dari 11.600 pon muatan  mulai dari makanan, suku cadang, hingga eksperimen sains. Modul logistik Raffaello dipindahkan dengan lengan robotik Canadarm2 ke port Harmony, dan dari sanalah para kru memindahkan suplai vital yang memungkinkan stasiun untuk beroperasi lebih dari satu tahun ke depan.

Astronot Ekspedisi 28  Ronald J. Garan dan Michael E. Fossum dari NASA, bersama para kosmonot dari Roscosmos dan perwakilan dari Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang  menyambut kedatangan Atlantis dengan penuh semangat. Perpaduan kerja tim internasional ini memperlihatkan semangat kolektif umat manusia dalam menembus batas planetnya.

Tak hanya itu, STS-135 juga membawa misi teknologi penting: mengangkut Robotic Refueling Mission dari Goddard Space Flight Center, untuk menguji teknik pengisian bahan bakar di luar angkasa. Bahkan, saat perjalanan luar angkasa selama lebih dari enam jam dilakukan oleh Fossum dan Garan, eksperimen sains dan logistik terus bergerak tanpa henti di balik jendela ISS.

Pada 15 Juli, dunia menyaksikan saat Presiden Barack Obama menyampaikan pesan hangat kepada sepuluh awak gabungan misi Atlantis dan ISS.

“Kami semua menyaksikan saat Anda bekerja sama sebagai satu tim. Contoh Anda sangat berarti bukan hanya bagi sesama warga Amerika, tetapi juga sesama warga di Bumi,” ujarnya. Kata-kata itu menjadi simbol penghormatan sekaligus pelepasan seperti ucapan selamat tinggal yang manis dan berat untuk diucapkan.

Tak lama sebelum berpisah, sebuah momen simbolik terjadi. Komandan Ferguson menyerahkan bendera Amerika yang pernah dibawa dalam misi pesawat ulang-alik pertama, STS-1 pada 1981, kepada kru ISS.

Bendera itu kemudian ditempatkan di palka modul Harmony, tempat yang sama di mana para astronot Atlantis keluar masuk stasiun. Ia menjadi tanda estafet, satu warisan untuk generasi berikutnya yang akan datang dari tanah Amerika.

Dan benar saja, sembilan tahun kemudian, pada 31 Mei 2020, kapsul Crew Dragon Endeavour dari SpaceX, dikemudikan oleh Douglas Hurley dan Robert L. Behnken, meluncur dari Kennedy Space Center dan melayang melalui palka yang sama, melewati bendera yang pernah ditinggalkan Atlantis. Sejarah kembali menyambung dalam garis yang elegan dan penuh makna.

Kata Perpisahan dari Orbit

Pada 19 Juli, Atlantis melepaskan diri dari ISS. Dengan Hurley sebagai pilot, pesawat melakukan inspeksi mengelilingi stasiun. Pemandangan stasiun luar angkasa yang kini berdiri kokoh setelah puluhan misi menjadi saksi bisu kata perpisahan yang diucapkan Ferguson dari kabin Atlantis.

“Ketika satu generasi mencapai hal yang hebat, mereka berhak untuk mundur sejenak dan mengagumi serta merasa bangga atas hasil kerja mereka,” katanya.

Ia menutupnya dengan pesan yang menyentuh, “Kita tidak akan pernah melupakan peran pesawat ulang-alik dalam penciptaan ISS. Seperti orang tua yang bangga, kami mengantisipasi hal-hal hebat dari para pria dan wanita yang akan tinggal di sana. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa hal hebat telah tercapai. Selamat tinggal ISS. Buat kami bangga.”

Dua hari kemudian, pada 21 Juli 2011, Atlantis mendarat mulus di Kennedy Space Center, menutup misi STS-135 dengan durasi 12 hari 18 jam 28 menit. Pendaratan malam itu bukan sekadar akhir perjalanan antariksa, tapi akhir dari sebuah zaman — zaman di mana manusia menerbangkan pesawat kembali dan kembali lagi ke luar angkasa dalam kapsul bersayap raksasa bernama Space Shuttle.

Kini, setiap tanggal 8 Juli, dunia, terutama komunitas antariksa dan pencinta eksplorasi dapat mengenang dengan bangga keberanian dan semangat tim misi STS-135.

Ia adalah lambang dedikasi, kolaborasi internasional, dan harapan masa depan. Misi ini bukan hanya tentang teknologi dan logistik; ini adalah kisah manusia yang berani menjelajahi, membangun, dan menyerahkan warisannya kepada generasi mendatang.

Dalam sejarah panjang peradaban, hanya segelintir hari yang bisa dikatakan mengubah arah pandang umat manusia terhadap langit. Tanggal 8 Juli 2011 adalah salah satunya, hari ketika kita tidak hanya meluncurkan pesawat, tapi juga menutup bab luar biasa dalam buku besar pencapaian manusia. [UN]