Ilustrasi Merpati Nusantara Airlines MZ5601. (Wikipedia)

Pada 18 Oktober 1992, sejarah penerbangan di Indonesia mengalami sebuah peristiwa memilukan. Pesawat Merpati Nusantara Airlines MZ5601 berakhir tragis di lereng Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tragedi itu menewaskan seluruh 31 orang di dalam pesawat, terdiri dari 27 penumpang dan 4 awak.

Pesawat yang digunakan dalam penerbangan tersebut adalah CASA CN-235-10, buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), cikal bakal PT Dirgantara Indonesia, yang kala itu baru berusia dua tahun sejak diproduksi pada 1990.

CN-235 merupakan salah satu karya kebanggaan anak bangsa, hasil kerja sama antara Indonesia dan Spanyol, yang diharapkan mampu menunjukkan kemandirian Indonesia di bidang industri dirgantara.

Penerbangan MZ5601 dijadwalkan melayani rute Semarang–Bandung. Menurut beberapa sumber, pesawat dengan registrasi PK-MNN berangkat dari Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang, pada pukul 13.05 WIB dalam kondisi cuaca cerah.

Tidak ada tanda-tanda gangguan teknis maupun cuaca ekstrem di awal penerbangan. Pesawat seharusnya tiba di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, sekitar pukul 14.00 WIB.

Namun, sesampainya di wilayah udara Jawa Barat, cuaca berubah drastis. Menurut laporan dari laman Flight Safety Foundation (asn.flightsafety.org) awan kumulonimbus jenis awan petir yang sangat berbahaya bagi penerbangan menggumpal di sekitar Bandung. Saat pesawat menurunkan ketinggian dari FL125 (12.500 kaki) ke FL080 (8.000 kaki), pilot berupaya menghindari awan tebal itu dengan membelokkan arah ke kiri, menuju selatan, ke wilayah Garut.

Keputusan itu ternyata membawa malapetaka. Dalam upaya menghindari badai, pesawat justru kehilangan pandangan visual dan mendekati area pegunungan Papandayan, gunung berapi aktif yang kerap diselimuti kabut tebal. Tanpa sempat menyadari jarak ketinggian, pesawat menabrak lereng gunung pada ketinggian sekitar 6.120 kaki.

Badan pesawat hancur berkeping-keping, hangus terbakar. Sebanyak 31 penumpang termasuk awak pesawat tewas. Badan pesawat terlihat menancap di gunung. Kedua sayap pesawat nampak terlipat, sementara hanya bagian ekor yang terlihat masih utuh.

Di sekitar lokasi jatuhnya pesawat, pepohonan menghitam bekas terkena hembusan api dari pesawat. Sampai petugas tiba di lokasi pada Senin siang, asap bekas terbakarnya pesawat masih mengepul di udara.

Tempat jatuhnya pesawat, cukup sulit dijangkau karena terletak di antara dua lereng bukit yang sangat terjal. Petugas yang hendak mengevakuasi korban, harus berjalan kaki selama tiga jam dengan mendaki gunung yang cukup terjal.

Keadaan tubuh sejumlah korban nampak sudah hangus terbakar, sedangkan korban lainnya terlihat tidak utuh. Namun berkat kerja keras Tim SAR, seluruh jenazah korban bisa dievakuasi.

Tragedi itu menjadi kecelakaan penerbangan sipil terburuk yang melibatkan pesawat CASA/IPTN CN-235, sekaligus kecelakaan ke-22 paling fatal di dunia sepanjang tahun 1992. Lebih jauh lagi, insiden tersebut menjadi kecelakaan terburuk kedua dalam sejarah pesawat jenis CN-235.

Tragedi Merpati MZ5601 tidak hanya meninggalkan duka bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi dunia penerbangan nasional. Ia mengingatkan bahwa faktor cuaca, medan geografis, serta keputusan navigasi di udara adalah hal yang tak bisa diabaikan sekecil apa pun.

Kini, lebih dari tiga dekade kemudian, kisah jatuhnya pesawat di Gunung Papandayan tetap hidup dalam ingatan sebagai bagian dari perjalanan panjang industri penerbangan Indonesia, dan menjadi sebuah bab kelam dalam sejarah penerbangan Indonesia. [UN]