Mengenal Sosok di Balik Awal Mula Ejaan Bahasa Indonesia

C.A van Ophuijsen (Wikipedia)

Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan identitas sebuah bangsa. Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, bahasa Melayu berkembang menjadi Bahasa Indonesia modern yang kita gunakan saat ini.

Di balik transformasi itu, ada tokoh yang jarang disebut namun memiliki pengaruh besar: Charles Adriaan van Ophuijsen. Namanya mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh pergerakan nasional, tetapi kontribusinya dalam merumuskan sistem ejaan bahasa Melayu menjadi pijakan awal Bahasa Indonesia layak diapresiasi.

Bagaimana seorang ilmuwan Belanda yang lahir di tengah Hindia Belanda bisa menjadi pionir dalam linguistik Nusantara? Mari kita telusuri jejak Van Ophuijsen dan bagaimana perannya membentuk dasar bahasa yang kini menjadi kebanggaan bangsa.

Awal Karier dan Ketertarikan pada Bahasa

Charles Adriaan van Ophuijsen adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah linguistik Indonesia. Melansir laman esi.kemdikbud.go.id, Van Ophuijsen lahir di Solok pada tahun 1856, Van Ophuijsen memiliki peran besar dalam perancangan sistem ejaan bahasa Melayu yang menjadi dasar perkembangan Bahasa Indonesia modern. Kontribusinya tidak hanya diakui dalam ranah linguistik tetapi juga dalam pendidikan kolonial di Hindia Belanda.

Pada tahun 1876, Van Ophuijsen memulai kariernya sebagai pengawas perdagangan di Mandailing Angkola. Selama masa ini, ia menunjukkan ketertarikan yang besar pada sastra dan tata bahasa Batak.

Ketertarikannya ini kemungkinan dipengaruhi oleh N. van der Tuuk, seorang ahli bahasa yang telah mempelajari struktur bahasa Batak dan menerbitkan buku tata bahasa pertama di Hindia Belanda.

Kemampuan Van Ophuijsen dalam membaca dan menulis membuatnya diundang untuk mengajar di Kweekschool Padang Sidempuan, salah satu sekolah guru terbaik di Hindia Belanda. Pada tahun 1883, ia diangkat menjadi direktur sekolah tersebut, yang sejajar dengan Sekolah Guru di Probolinggo dalam hal reputasi.

Dedikasi pada Linguistik

Van Ophuijsen melanjutkan pendidikannya dengan mendalami filologi dan bahasa Asia di Belanda. Pada tahun 1908, ia diberi tugas oleh pemerintah kolonial Belanda untuk merancang ortografi Melayu dan Kepulauan Riau.

Bersama dua tokoh lokal, Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim, Van Ophuijsen mulai menyusun sistem ejaan baru sejak tahun 1890-an.

Hasil kerja sama ini dituangkan dalam buku Kitab Logat Malajoe: Woordenlijst voor Spelling der Malaische Taal yang terbit pada tahun 1901. Buku ini berisi panduan untuk romanisasi bahasa Melayu dan menjadi acuan penting bagi penyusunan bahan bacaan rakyat. Sistem ejaan ini juga digunakan dalam pendidikan kolonial untuk mempermudah pengajaran bahasa Melayu kepada pegawai Belanda.

Van Ophuijsen mengidentifikasi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang digunakan luas di Nusantara, dari Sumatra hingga Semenanjung Melayu. Menurutnya, bahasa ini ideal sebagai bahasa pengantar karena penyebarannya yang luas.

Dalam kajiannya, ia menggunakan manuskrip lokal seperti Hikajat Awang Soeloeng Merah Moeda sebagai referensi untuk mendeskripsikan tata bahasa Melayu secara filologis.

Kritik terhadap Pedoman Ejaan

Meskipun sistem ejaan Van Ophuijsen diterima luas, ada kritik yang menyatakan bahwa pedoman tersebut mencerminkan simbol kekuasaan kolonial. Hoffman (1973) menyoroti bahwa pedoman ini tidak cukup menjelaskan unsur kebahasaan seperti fonologi dan tata bahasa.

Selain itu, orientasi penyusunannya dianggap berakar pada kebijakan Politik Etis, yang bertujuan membiasakan penduduk asli dengan modernitas ala Barat.

Pendekatan ini juga dilihat sebagai upaya penyeragaman budaya Melayu yang didukung oleh pemerintah kolonial. Sistem ejaan ini lebih ditujukan untuk pendidikan kelas menengah pribumi, dengan harapan menciptakan keseragaman dalam pengucapan dan penulisan bahasa Melayu menggunakan huruf Latin.

Sistem ejaan Van Ophuijsen digunakan selama 46 tahun sejak diperkenalkan pada 1901. Salah satu ciri khas sistem ini adalah penggunaan “oe” untuk bunyi /u/, “tj” untuk /c/, dan “j” untuk /y/. Pada tahun 1947, sistem ini digantikan oleh Ejaan Suwandi oleh Pemerintah Republik Indonesia, meskipun banyak aturannya masih berakar pada ejaan Van Ophuijsen.

Kontribusi Charles Adriaan van Ophuijsen dalam linguistik tetap diingat sebagai tonggak penting dalam perjalanan bahasa Indonesia. Karyanya menunjukkan bagaimana bahasa dapat menjadi alat transformasi sosial dan budaya, sekaligus mencerminkan dinamika kolonial pada masanya. [UN]