Setiap tanggal 17 Juni, jalan-jalan di Reykjavík ibu kota Islandia dipenuhi warna. Anak-anak berlari dengan pipi dihiasi lukisan bendera, para orang tua tersenyum di tepi parade, dan dentang lonceng gereja menyatu dengan suara musik yang mengalun dari sudut-sudut kota.
Hari itu bukan sekadar hari libur. Bagi rakyat Islandia, 17 Juni adalah hari istimewa. Sebuah pengingat akan keberanian, harapan, dan perjalanan panjang yang pernah mereka tempuh demi merdeka sepenuhnya sebagai sebuah bangsa.
Momen ini jatuh bertepatan dengan ulang tahun Jón Sigurðsson, seorang tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah Islandia. Ia bukan panglima perang atau penguasa kerajaan, melainkan seorang pemikir dan pemimpin gerakan kemerdekaan pada abad ke-19.
Bagi rakyat Islandia, Jón adalah suara hati nurani. Sosok yang percaya bahwa tanah yang mereka pijak, udara yang mereka hirup, dan budaya yang mereka rawat pantas berdiri sendiri tidak di bawah bayang-bayang Denmark.
Jejak Panjang Sebelum “Merdeka”
Islandia bukan negeri yang lahir dalam sekejap. Menurut laman National Today, jejak sejarahnya membentang sejak zaman Viking. Dua teks kuno Íslendingabók dan Landnámabók mengisahkan bagaimana para pemukim pertama tiba di tanah ini antara tahun 870 hingga 930 M. Salah satunya, Ingólfur Arnarson, datang dari Norwegia dan menamai tempat barunya: Reykjavík. Dari sini, sejarah pulau ini mulai ditulis.
Namun, kebebasan itu tak selalu menyertai mereka. Selama berabad-abad, Islandia berada di bawah kekuasaan Denmark. Bahkan, pada tahun 1602, seluruh perdagangan luar negeri dimonopoli oleh Denmark. Perlahan tapi pasti, rakyat mulai resah. Pada 1803, saat Islandia hanya diberi dua kursi di majelis konsultatif Denmark, suara-suara yang menuntut keadilan mulai tumbuh. Mereka ingin menghidupkan kembali Althing, sebuah lembaga legislatif tertua di dunia yang pernah menjadi jantung demokrasi Islandia.
Perubahan besar mulai tampak pada 1 Desember 1918. Saat itu, Islandia dinyatakan sebagai negara merdeka, meski masih berada di bawah mahkota Denmark. Lalu ketika Jerman menduduki Denmark pada 1940, Islandia punya peluang emas. Mereka mengadakan referendum, dan hasilnya nyaris bulat: 98 persen warga menyetujui pemutusan hubungan dengan Denmark dan mendukung lahirnya Republik Islandia.
Perayaan yang Tak Pernah Biasa
Sejak saat itu, Hari Kemerdekaan Islandia bukan hanya peringatan, tapi pesta kebersamaan. Setiap kota dan desa menggelar parade, sering kali dipimpin oleh penunggang kuda Islandia yang gagah, mengibarkan bendera nasional.
Di belakang mereka, marching band membawakan lagu-lagu semangat, diikuti pasukan pramuka dengan seragam rapi. Warga tumpah ruah ke jalan. Tua-muda, kaya-miskin, semua larut dalam suasana yang hangat dan penuh makna.
Setelah pidato kenegaraan disampaikan, suasana berubah menjadi lebih santai. Musik mulai mengisi udara. Dari panggung-panggung kecil di taman kota, para musisi lokal menyalakan suasana dengan lagu-lagu rakyat.
Bau manis camilan tradisional bercampur dengan tawa anak-anak yang bermain. Di Islandia, merdeka bukan soal seremoni megah, tapi soal rasa, rasa syukur, rasa cinta tanah air, dan rasa persatuan.
Sudah sejak 1945 para pengusaha memberikan libur kepada pekerja di hari ini, dan secara resmi sejak 1971, 17 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional. Tapi bahkan tanpa keputusan resmi, rakyat Islandia tetap akan merayakannya. Karena ini bukan soal aturan ini soal hati mereka terhadap kemerdekaan Islandia.
Negeri Tanpa Nyamuk
Islandia bukan sekadar cerita sejarah. Alamnya pun seolah berkontribusi menjadikan negeri ini unik. Bayangkan, sebuah negara tanpa nyamuk! Ya, Islandia adalah satu-satunya tempat di dunia di mana serangga berdengung itu tidak bisa hidup. Alasannya? Sederhana, cuacanya terlalu tidak bersahabat bagi siklus hidup nyamuk. Sebelum mereka sempat tumbuh dewasa, air yang mereka butuhkan untuk bertelur sudah membeku kembali.
Dan saat bulan Juni tiba, seperti saat perayaan kemerdekaan, matahari hampir tak pernah tenggelam. Di kota Akureyri atau Pulau Grimsey, cahaya tetap menyala bahkan tengah malam. Ini adalah midnight sun, keajaiban alam yang membuat malam tampak seperti sore panjang yang tak berkesudahan. Di bulan-bulan lain, langit Islandia juga menghadirkan cahaya utara aurora borealis, semburat hijau dan ungu yang menari di langit seperti sulaman cahaya. Sebuah fenomena yang menarik.
Islandia mungkin kecil secara geografis. Tapi semangat warganya lebih besar dari badai Atlantik yang sering menerpa. Mereka telah membuktikan bahwa dengan tekad dan persatuan, sebuah bangsa bisa berdiri di atas kakinya sendiribahkan di pulau terpencil yang diselimuti es.
Setiap 17 Juni, Islandia tak hanya memperingati kemerdekaan, tapi juga merayakan jati diri. Sebuah identitas yang dibangun dengan kesabaran, semangat kolektif, dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran. [UN]


