Mengenal Paseban Tri Panca Tunggal, Warisan Leluhur di Tanah Kuningan

Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur Kuningan Jawa Barat. (foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Kuningan, kota kecil dengan julukan kota kuda di Jawa Barat  bukan hanya menyimpan pesona alam yang sejuk dan menawan, tetapi juga jejak sejarah yang kaya akan nilai budaya dan spiritualitas. Salah satu saksi bisu perjalanan panjang sejarah di Kuningan adalah Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.

Bagi penganut Sunda Wiwitan, bangunan ini bukan sekadar cagar budaya, melainkan tempat yang sarat makna dan menjadi pusat berbagai kegiatan adat. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal menyimpan cerita perjuangan, filosofi mendalam, serta peran penting dalam pelestarian tradisi leluhur. Apa sebenarnya makna dan sejarah di balik bangunan ini? Mari kita telusuri lebih dalam.

Sejarah Bangunan

Bangunan megah bernama Gedung Paseban Tri Panca Tunggal mungkin bukanlah bangunan yang asing bagi warga Cigugur apalagi penganut Sunda Wiwitan. Seperti yang diketahui, Sunda Wiwitan merupakan ajaran agama dengan unsur monoteisme purba yang merasuk dalam budaya dan kepercayaan masyarakat suku Sunda di Indonesia. Ajaran ini menganut konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud, yang dikenal sebagai “Sang Hyang Kersa,” setara dengan “Tuhan Yang Maha Esa” dalam ideologi Pancasila.

Bangunan yang erat kaitannya dengan Sunda Wiwitan ini berdiri kokoh di tepi Jalan Raya Cigugur, tepatnya di Kampung Wage, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Gedung bersejarah ini dipercaya didirikan pada tahun 1860 oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, putra dari Pangeran Alibasa. Pangeran Madrais dikenal sebagai pemimpin aliran keagamaan dan pewaris Kerajaan Gebang di Cirebon yang hancur akibat serangan pasukan VOC. Saat peristiwa tersebut terjadi, Kyai Madrais masih balita, tetapi setelah dewasa ia mendirikan padepokan yang kini tetap berdiri sebagai simbol kelangsungan tradisi dan perjuangan.

Arsitektur dan Makna Filosofis

Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal memiliki desain yang unik, dibangun memanjang dari timur ke barat. Tata letak ini memiliki makna filosofis mendalam, mencerminkan perjalanan hidup manusia dari awal hingga kembali kepada Sang Pencipta. Setiap bagian bangunan mengandung pesan simbolis, menggabungkan nilai-nilai spiritual dan tradisi leluhur.

Ciri khas arsitektur bangunan ini tampak dari atap bertingkat serta adanya tonggak besi di bagian ujungnya. Pendopo utama ditopang oleh 11 pilar dan dihiasi lambang burung garuda dengan sayap terbentang, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purna Wisada”. Lambang garuda ini disangga oleh sepasang naga bermahkota dengan ekor yang saling mengait, melambangkan keseimbangan dan keselarasan hidup.

Di dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan penting, seperti Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung, dan Dapur Ageng. Ruang Sri Manganti, yang terletak di bagian terdalam, berfungsi sebagai tempat pertemuan serta persiapan upacara Seren Taun, tradisi masyarakat Sunda sebagai ungkapan syukur atas hasil panen.

Fungsi dan Sejarah

Sejak awal berdirinya, Paseban Tri Panca Tunggal telah menjadi pusat kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Gedung ini menjadi tempat berkumpulnya para pengikut Kiai Madrais dan lokasi pelaksanaan berbagai upacara adat, termasuk Seren Taun. Sebagai bagian dari warisan budaya, gedung ini telah mengalami beberapa kali renovasi untuk mempertahankan keasliannya. Pada tahun 1976, Yayasan Tri Mulya mengajukan perlindungan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai cagar Budaya. Melalui SK Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No 3632/C.1/DSP/1976 gedung ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional.

Nama “Paseban Tri Panca Tunggal” sendiri memiliki makna mendalam. Kata “Paseban” berarti tempat berkumpul atau bertemu, sementara “Tri” berasal dari bahasa Sanskerta yang melambangkan rasa, budi, dan pikir. “Panca” mengacu pada panca indra, sedangkan “Tunggal” merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara keseluruhan, nama ini menggambarkan tempat pemersatu tiga kehendak utama manusia yaitu cipta, rasa, dan karsa yang diterjemahkan melalui panca indra seperti mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, dan melangkah, sebagai bentuk pendekatan kepada Sang Maha Tunggal.

Selain sebagai situs bersejarah, Paseban Tri Panca Tunggal juga berperan aktif dalam pelestarian budaya dan seni tradisional. Saat ini, bangunan ini menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Kuningan dan terus berfungsi sebagai pusat edukasi serta pengenalan budaya lokal kepada masyarakat luas.

Sebagai simbol keberlanjutan tradisi dan perjuangan masyarakat Kuningan, Paseban Tri Panca Tunggal tetap berdiri kokoh, membawa serta warisan luhur yang tetap hidup dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. [UN]