Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan adat dan tradisi. Di tengah modernisasi yang terus bergerak maju, masih banyak daerah yang memegang teguh kepercayaan turun-temurun sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Salah satunya adalah mitos kepuhunan yang hidup di tengah masyarakat Kalimantan.
Bagi masyarakat di sana, kepuhunan bukan sekadar cerita lama. Ia menjadi bagian dari keseharian, terutama saat berbicara tentang jamuan makanan dan minuman. Dalam kepercayaan ini, menolak makanan atau minuman yang ditawarkan bukan hanya dianggap tidak sopan, tapi juga dipercaya bisa membawa sial atau musibah.
Namun, kepuhunan tidak hanya soal menolak tawaran. Ada juga keyakinan bahwa jika seseorang menginginkan suatu makanan atau minuman tapi keinginannya tidak terpenuhi, itu pun bisa berujung pada datangnya kesialan. Karena itulah, dalam budaya mereka, penerimaan terhadap jamuan bukan sekadar bentuk sopan santun, tapi juga dianggap sebagai cara menjaga keseimbangan dan menghindari hal-hal buruk.
Di balik kepercayaan kepuhunan, ada nilai besar yang diajarkan: pentingnya menghargai orang lain. Di banyak budaya, makanan selalu menjadi simbol kasih sayang dan persaudaraan. Maka, ketika seseorang menawarkan makanan, sebenarnya ia sedang membuka hati dan membangun jembatan hubungan. Menolaknya tanpa alasan yang jelas bisa dianggap menolak niat baik tersebut.
Beberapa jenis makanan seperti kopi, ketan, atau wadi (makanan khas Kalimantan dari ikan fermentasi) bahkan dipercaya punya “kekuatan” lebih besar dalam kaitannya dengan kepuhunan. Menolak makanan-makanan ini, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, diyakini bisa memperbesar risiko tertimpa sial.
Ada Cara Sopan untuk Menghindari Kepuhunan
Tentu saja, ada kalanya seseorang benar-benar tidak mampu lagi makan, entah karena sudah kenyang atau alasan lain. Dalam situasi seperti ini, masyarakat Kalimantan punya solusi sederhana yang tetap menghormati adat. Cukup dengan mengambil sedikit makanan, atau bahkan hanya menyentuh hidangan tersebut sambil mengucapkan kata “sapulun” atau “puse-puse”.
Ungkapan ini berarti bahwa tawaran sudah diterima, walau dalam jumlah yang sangat sedikit. Dengan begitu, niat baik si pemberi tetap dihargai, dan kepercayaan soal kepuhunan pun tetap terjaga.
Meski mungkin bagi sebagian orang kepuhunan terdengar seperti kepercayaan kuno, sebenarnya ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Kepuhunan mengajarkan kita untuk selalu menghargai pemberian orang lain, menjaga hubungan sosial dengan baik, dan mengutamakan sopan santun dalam setiap interaksi.
Di tengah dunia modern ini, tradisi seperti kepuhunan justru mengingatkan kita akan nilai-nilai sederhana yang sering terlupakan, seperti menghargai pemberian orang lain, rasa hormat, dan perhatian terhadap sesama. Bukan hanya untuk menjaga tradisi tetap hidup, tapi juga untuk menjaga keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. [UN]


