Hiburan modern yang didominasi oleh film, media sosial, dan platform digital memang menarik di zaman sekarang bagi semua orang. Namun, ada seni tradisional yang tetap bertahan sebagai cerminan kehidupan masyarakat, yaitu Ludruk.
Seni teater rakyat ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan yang sarat makna. Di balik guyonan segar dan adegan-adegan penuh gelak tawa, Ludruk menyisipkan kritik sosial yang tajam, menyuarakan keluh kesah rakyat kecil, serta menyampaikan nilai-nilai kebijaksanaan dengan cara yang mudah diterima oleh semua kalangan.
Bagi masyarakat Jawa Timur, Ludruk bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang mengakar kuat. Di berbagai desa dan kota di Jawa Timur, terutama Surabaya dan Jombang, Ludruk pernah menjadi hiburan utama yang dinanti-nantikan setiap kali digelar.
Suara kendang yang mengiringi langkah para pemain, dialog-dialog spontan yang mengundang gelak tawa, serta pesan moral yang tersirat dalam setiap adegan membuat Ludruk lebih dari sekadar teater rakyat, tetapi ia adalah saksi perjalanan sejarah dan perubahan sosial di masyarakat.
Namun, seiring berkembangnya zaman, Ludruk menghadapi tantangan besar. Regenerasi pemain yang minim, berkurangnya minat generasi muda, serta dominasi hiburan digital membuat kesenian ini perlahan meredup. Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, apakah Ludruk masih memiliki tempat di hati masyarakat? Bagaimana sejarah dan perkembangan kesenian ini hingga bisa bertahan selama berabad-abad?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita telusuri lebih dalam tentang Ludruk, seni teater khas Jawa Timur yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat makna.
Asal-Usul dan Perkembangan Ludruk
Ludruk adalah salah satu bentuk seni teater tradisional yang berasal dari Jawa Timur, khususnya Surabaya. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Ludruk berakar dari Jombang. Pertunjukan ini biasanya disajikan oleh sekelompok pemain yang membawakan drama dengan iringan musik. Cerita yang diangkat dalam Ludruk umumnya berhubungan dengan masalah sosial masyarakat dan kisah-kisah inspiratif.
Ludruk telah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak abad ke-12, khususnya di wilayah Bumi Majapahit yang meliputi Mojokerto dan Surabaya. Pada masa itu, Ludruk lebih dikenal dengan sebutan Ludruk Bhandan. Pertunjukan ini berisi aksi pamer kekuatan dan kekebalan, yang berkaitan erat dengan ilmu kanuragan yang dimiliki para pemainnya. Pertunjukan ini biasanya diiringi oleh alat musik kendang dan jidor, serta dilakukan di tanah lapang.
Pada abad ke-17 hingga 18, Ludruk Bhandan mengalami perkembangan menjadi pertunjukan Lerok Pak Santik. Lerok adalah alat musik petik seperti kecapi, sedangkan Pak Santik merujuk pada tokoh yang memperbarui kesenian Ludruk. Dalam pertunjukannya, para pemain dirias, mengenakan ikat kepala, dan membiarkan dadanya terbuka. Mereka juga menampilkan berbagai ekspresi emosional, menirukan bunyi alat musik, serta menghentakkan kaki sehingga menghasilkan suara “gedrak-gedruk.” Dari suara inilah nama Ludruk muncul.
Seiring waktu, Lerok berkembang menjadi kesenian yang disebut Besutan. Kata “besutan” berasal dari bahasa Jawa yang berarti membersihkan, menghaluskan, atau mengulas. Besutan inilah yang kemudian berkembang menjadi Ludruk seperti yang dikenal masyarakat saat ini.
Ludruk bukan sekadar hiburan, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang penting. Dalam masyarakat, Ludruk memiliki peran sebagai sarana ritual, estetika, dan hiburan. Selain itu, Ludruk juga berfungsi sebagai media pendidikan, memperkuat solidaritas sosial, serta menumbuhkan kebijaksanaan di tengah kehidupan masyarakat.
Pada masa penjajahan Belanda, Ludruk menjadi alat kritik sosial terhadap pemerintah Hindia Belanda, dan fungsi ini terus berlanjut hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Hingga kini, Ludruk tetap menjadi cerminan kehidupan sehari-hari rakyat kecil dengan gaya penceritaan yang menghibur.
Ludruk di Era Modern
Meskipun zaman terus berkembang, Ludruk masih memiliki tempat di hati masyarakat Jawa Timur. Namun, tantangan besar seperti persaingan dengan hiburan modern dan minimnya regenerasi pemain membuat kesenian ini perlu mendapat perhatian lebih. Upaya pelestarian melalui komunitas seni dan pendidikan budaya sangat penting agar Ludruk tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.
Ludruk bukan sekadar pertunjukan, tetapi juga cerminan kehidupan sosial yang penuh kritik, pesan moral, dan hiburan. Sebagai bagian dari warisan budaya Nusantara, keberadaannya harus terus dijaga agar tetap lestari di tengah arus modernisasi. [UN]