Julius Robert Oppenheimer, tokoh dunia yang perannya begitu monumental sekaligus kontroversial. Di satu sisi, ia adalah simbol kejayaan intelektual manusia yang mampu menaklukkan misteri atom. Namun di sisi lain, ia adalah sosok yang membawa dunia ke ambang kehancuran dengan bom atom yang diciptakannya. Bagaimana seorang ilmuwan jenius ini menjalani hidup di tengah kejayaan dan dilema moral yang menyertainya? Artikel ini akan menyelami kehidupan dan warisan Oppenheimer, “bapak bom atom” yang kisahnya penuh dengan kontradiksi dan pelajaran berharga bagi kemanusiaan.
Latar Belakang Pendidikan
Mengutip berbagai sumber, Julius Robert Oppenheimer, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah sains modern, lahir pada 22 April 1904 di New York City, Amerika Serikat. Ia berasal dari keluarga imigran Yahudi Jerman yang menanamkan nilai-nilai pendidikan dan budaya tinggi sejak dini. Kejeniusannya terlihat sejak usia muda, di mana ia lulus sebagai valedictorian dari sekolah menengahnya dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Harvard.
Oppenheimer meraih gelar sarjana dalam bidang kimia pada tahun 1925 dari Universitas Harvard. Ketertarikannya pada fisika membawa dirinya ke Laboratorium Cavendish di Cambridge, Inggris, untuk melanjutkan studi pascasarjana. Ia kemudian memperoleh gelar doktor dalam bidang fisika dari Universitas Göttingen, Jerman, pada tahun 1927, di bawah bimbingan Max Born. Salah satu kontribusi pentingnya di masa ini adalah pengembangan Born-Oppenheimer approximation, yang menjadi dasar penting dalam studi interaksi partikel dalam fisika kuantum.
Peran dalam Perang Dunia II
Selama dekade 1930-an, Oppenheimer menjabat sebagai profesor di Universitas California, Berkeley, dan berkontribusi pada berbagai bidang dalam fisika teoritis, termasuk mekanika kuantum dan fisika nuklir. Ketika Perang Dunia II berlangsung, ancaman pengembangan senjata nuklir oleh Nazi Jerman mendorong pemerintah AS untuk membentuk Proyek Manhattan, sebuah inisiatif rahasia untuk mengembangkan bom atom.
Pada tahun 1943, Oppenheimer diangkat sebagai direktur Laboratorium Nasional Los Alamos di New Mexico. Ia memimpin tim ilmuwan terkemuka dalam merancang dan menguji bom atom. Keberhasilan proyek ini diuji pada 16 Juli 1945, melalui uji coba Trinity di Alamogordo, New Mexico.
Saat melihat ledakan yang menghasilkan awan jamur besar, Oppenheimer mengutip kitab Hindu, Bhagavad-Gita, dengan berkata, “Sekarang saya menjadi Kematian, sang penghancur dunia.” Kata-kata ini kemudian dihubungkan dengan perasaan ambigu Oppenheimer terhadap hasil karyanya.
Bom atom yang dikembangkan oleh timnya dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, mengakhiri Perang Dunia II tetapi menewaskan puluhan ribu orang. Pernyataan Oppenheimer terkait peristiwa ini sering diperdebatkan sebagai bentuk penyesalan atas konsekuensi mematikan dari bom tersebut.
Kontroversi dan Pengaruh Pasca-Perang
Setelah perang, Oppenheimer menjadi advokat pengendalian senjata nuklir dan menyerukan pembentukan badan internasional untuk mengawasi energi nuklir. Namun, pandangan ini membuatnya bertentangan dengan pemerintah AS di era McCarthyisme. Pada tahun 1954, ia menghadapi sidang keamanan yang mencoreng reputasinya dan mencabut izin aksesnya terhadap informasi rahasia pemerintah. Meskipun demikian, Oppenheimer tetap menjadi sosok intelektual terkemuka.
Ia terus bekerja di Institute for Advanced Study di Princeton, di mana ia mengeksplorasi hubungan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Pada tahun 1963, Presiden John F. Kennedy menganugerahi Oppenheimer Penghargaan Enrico Fermi, yang diberikan oleh Presiden Lyndon B. Johnson setelah pembunuhan JFK. Penghargaan ini dianggap sebagai bentuk rehabilitasi politik dan pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang sains.
Oppenheimer menikahi Katherine ‘Kitty’ Puening pada tahun 1940, seorang mantan anggota Partai Komunis yang juga seorang mahasiswa radikal di Berkeley. Mereka memiliki dua anak, Peter dan Katherine. Kehidupan pribadinya sering menjadi sorotan, terutama karena hubungan Kitty dengan gerakan politik radikal.
Pada 18 Februari 1967, Oppenheimer meninggal dunia karena kanker tenggorokan di Princeton, New Jersey, hanya setahun setelah pensiun. Ia dikenang sebagai seorang ilmuwan jenius yang karya-karyanya membawa perubahan besar dalam dunia sains dan geopolitik, meskipun penuh dengan dilema moral dan etika.
Julius Robert Oppenheimer akan selalu dikenang sebagai “bapak bom atom,” baik sebagai pelopor sains modern maupun simbol kompleksitas moral dalam dunia ilmu pengetahuan. Karyanya menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi selalu membawa tanggung jawab besar bagi umat manusia. [UN]