Perang Dunia II tidak hanya meninggalkan jejak kehancuran fisik, tetapi juga luka kemanusiaan yang mendalam. Salah satu cerita kelam yang sering luput dari perhatian adalah nasib tragis ribuan perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual oleh tentara Jepang. Mereka dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu.
Praktik ini mencerminkan sisi gelap dari perang, di mana tubuh perempuan dijadikan alat pemuas nafsu di bawah kekuasaan penjajah. Sejarah ini tidak hanya melibatkan kekerasan fisik, tetapi juga trauma psikologis yang terus membekas hingga kini.
Bagaimana kisah pilu ini bermula, dan apa dampaknya bagi para korban? Artikel berikut mengupas lebih dalam tentang salah satu bab tergelap dalam sejarah perang di Asia.
Awal Praktik Jugun Ianfu
Jugun Ianfu, yang berarti “wanita penghibur para tentara,” adalah istilah yang merujuk pada perempuan yang dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang selama Perang Dunia II.
Praktik ini meninggalkan luka mendalam di berbagai negara Asia yang diduduki Jepang, termasuk Indonesia. Meskipun dalam dokumen resmi tentara Jepang mereka disebut sebagai Teishintai atau “barisan sukarela penyumbang tubuh,” pada kenyataannya, sebagian besar wanita ini direkrut dengan paksaan, tipu muslihat, dan kekerasan.
Melansir laman kemdikbud, praktik Jugun Ianfu pertama kali dilakukan oleh tentara Jepang selama invasi mereka ke Korea. Sebagai wilayah yang telah dikuasai Jepang sejak akhir abad ke-19, Korea menjadi tempat awal eksploitasi ini.
Dengan alasan melayani kebutuhan biologis tentara, pemerintah militer Jepang memaksa wanita-wanita Korea untuk menjadi Jugun Ianfu. Ketika Jepang memperluas wilayah kekuasaannya ke Asia, praktik ini menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Jugun Ianfu di Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945), praktik Jugun Ianfu menjadi salah satu bentuk eksploitasi manusia yang paling kejam. Diperkirakan sekitar 10.000 wanita Indonesia dipaksa menjadi Jugun Ianfu untuk melayani tentara Jepang. Perekrutan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk:
1. Tipu Muslihat dan Paksaan
Pemerintah militer Jepang menggunakan dalih program pengerahan tenaga kerja untuk merekrut perempuan muda. Mereka menjanjikan pekerjaan layak atau pendidikan, namun kenyataannya, para perempuan ini dipaksa menjadi pemuas nafsu para tentara.
2. Keterlibatan Aparat Lokal
Perekrutan melibatkan kepala desa hingga ketua tonarigumi (organisasi masyarakat bentukan Jepang). Mereka diwajibkan mencari perempuan muda yang belum menikah, dengan usia rata-rata 14–15 tahun. Karena takut akan ancaman, banyak keluarga yang tidak berani menolak.
3. Kekerasan dan Ancaman
Selain tipu muslihat, kekerasan fisik dan ancaman sering digunakan untuk memaksa perempuan menjadi Jugun Ianfu. Bahkan, keluarga para perempuan tersebut juga kerap menjadi target ancaman untuk memastikan kepatuhan.
Berbeda dengan romusha, yang direkrut secara terang-terangan, pengerahan Jugun Ianfu dilakukan secara gelap. Hal ini membuat banyak korban dan keluarga mereka tidak berani melawan atau melapor.
Target dan Kehidupan Sebagai Jugun Ianfu
Mayoritas wanita yang menjadi target adalah perempuan muda yang belum menikah, karena mereka dianggap lebih mudah dikendalikan dan memenuhi “standar” kebutuhan tentara Jepang.
Kehidupan sebagai Jugun Ianfu sangat berat. Para wanita ini tidak hanya menghadapi kekerasan fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam akibat pelecehan seksual yang berulang-ulang.
Banyak dari mereka yang melahirkan anak hasil hubungan dengan tentara Jepang. Di kalangan masyarakat Belanda yang mengalami nasib serupa, anak-anak ini disebut sebagai kinderen van de vijand (anak-anak musuh), sementara wanita-wanita ini disebut troostmeisjes.
Selain eksploitasi seksual, pendudukan Jepang juga membawa dampak lain pada perempuan Indonesia. Organisasi wanita di tingkat lokal dipaksa untuk menyediakan makanan bagi tentara Jepang, dan perempuan muda dilibatkan dalam pelatihan militer melalui organisasi massa bentukan Jepang. Semua ini menambah beban perempuan Indonesia di tengah situasi perang yang serba sulit.
Kenangan Kelam dan Tuntutan Keadilan
Luka yang ditinggalkan oleh praktik Jugun Ianfu masih terasa hingga kini. Banyak korban yang hidup dalam stigma dan trauma seumur hidup.
Di berbagai negara, termasuk Korea dan Indonesia, para penyintas Jugun Ianfu menuntut pengakuan dan permintaan maaf resmi dari pemerintah Jepang. Namun, hingga saat ini, perjuangan tersebut belum sepenuhnya membuahkan hasil.
Jugun Ianfu adalah pengingat akan kekejaman perang dan eksploitasi yang dialami perempuan. Sejarah ini menuntut kita untuk terus memperjuangkan keadilan bagi para korban serta memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang di masa depan. [UN]