Perbandingan ukuran fosil tengkorak manusia purba Homo floresiensis (kiri) dengan Homo sapiens (kanan). (Sumber: slate.com)
Perbandingan ukuran fosil tengkorak manusia purba Homo floresiensis (kiri) dengan Homo sapiens (kanan). (Sumber: slate.com)

Koran Sulindo – Publikasi jurnal ilmiah Nature mengenai penemuan fosil Homo floresiensis di Pulau Flores pada 2004 memperkaya pengetahuan tentang spesies manusia purba di Indonesia.

Melansir dari situs resmi Nature, peneliti asal Australia Mike Morwood mengusulkan penggalian di Liang Bua pada tahun 1999. ‘Liang Bua’ berarti gua dingin. Gua ini berada 500 meter di atas permukaan laut dan dinilai sangat cocok untuk tempat tinggal karena terletak sangat dekat dengan pertemuan dua sungai, atapnya yang tinggi memberi sirkulasi udara yang bagus, dan sinar matahari masuk sepanjang tahun.

Penggalian dimulai dalam skala yang sangat kecil pada tahun 2001. Tim yang dipimpin oleh Morwood dan peneliti Indonesia Raden Soejono tidak menemukan sesuatu yang spektakuler. Mereka hanya menemukan tulang stegodon, yaitu spesies gajah purba kerdil yang hidup sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu. Selain itu mereka juga menemukan banyak komodo, tulang tikus, dan spesies bangau raksasa.

Pada 2 September 2003, tim itu menemukan sebuah tengkorak manusia yang sangat kecil di sektor VII pada kedalaman 5,9 meter. Anggota tim berpikir mereka hanya menemukan fosil tengkorak seorang anak manusia modern. Ahli paleoantropologi Peter Brown bahkan memperkirakan bahwa fosil itu berasal dari manusia modern yang belum dewasa dari periode Neolitikum atau sedikit lebih awal.

Tetapi setelah diidentifikasi oleh pakar fauna Indonesia, Rokus Due Awe, ternyata fosil tengkorak tersebut berasal dari spesies berbeda yang sudah dewasa. Dan setelah diteliti lebih lanjut, tim segera yakin bahwa fosil kerangka itu milik seorang perempuan yang tingginya hanya sekitar satu meter.

Penggalian dilanjutkan di beberapa sektor dan tim menemukan bagian-bagian lain dari fosil tersebut, seperti tulang lengan, rahang bawah, sisa-sisa kerangka, dan beberapa tulang individu lain. Tim juga menemukan sejumlah peralatan batu.

Awalnya fosil ini hendak dinamai Sundanthropus floresianus, yang berarti manusia dari daerah Sunda dari Flores. Namun karena fosil tersebut merupakan anggota genus Homo, maka mereka menamainya Homo floresiensis. Kata ‘Homo’ berasal dari Latin yang berarti ‘manusia’. Maka, Homo floresiensis berarti manusia dari Flores.

Untuk membuatnya lebih dikenal, Morwood mengusulkan nama panggilan “Hobbit” karena ukuran fosilnya yang sangat kecil. Nama ini diambil dari novel The Hobbit karya John Ronald Reuel Tolkien.

Homo Floresiensis

Melansir dari situs resmi Australian Museum, spesies manusia purba Homo Floresiensis memiliki fitur-fitur fisik yaitu sebagai berikut.

A Ukuran dan bentuk tubuh
1. Tinggi sekitar 1 meter, lebih kecil dari rata-rata populasi manusia pendek seperti pigmi (1,4-1,5 m)
2. Panggul yang lebar dan bahu yang bungkuk

B. Otak
1. Kombinasi fitur yang tidak ditemukan pada spesies hominin lain
2. Memiliki fitur yang tidak ditemukan pada Homo sapiens, terutama di lobus temporal dan frontal
3. Volume otak rata-rata 380cc, kira-kira seukuran simpanse
4. Area Brodmann 10 yang membesar. Area Broadmann adalah area otak yang membantu aktivitas kognitif kompleks

C. Tengkorak
1. Bentuk tengkorak panjang dan rendah, lebih mirip dengan Homo erectus daripada Homo sapiens
2. Dahi yang surut dan kecil
3. Tulang tebal dalam kisaran Homo erectus dan Homo sapiens
4. Wajah datar
5. Busur alis di atas mata tidak membentuk tulang alis yang berkesinambungan seperti pada Homo erectus di Indonesia
6. Hidung sempit

D. Rahang dan gigi
1. Tidak memiliki titik tulang di dagu, seperti yang ditemukan pada manusia modern
2. Rahang dan gigi yang relatif besar (menyerupai Homo erectus), tetapi dengan ciri yang lebih primitif
3. Akar premolar berbeda dari Homo sapiens
4. Gigi taring dan gigi geraham kecil
5. Lengkungan gigi (dental arch) berbentuk parabola atau V yang merupakan ciri khas Homo
6. Rak tulang di bagian depan rahang bawah yang merupakan ciri primitif yang tidak terlihat pada Homo erectus

E. Anggota tubuh dan panggul
1. Tulang dan sendi lengan, bahu, dan anggota tubuh bagian bawah menunjukkan bahwa Homo floresiensis lebih mirip dengan manusia purba daripada manusia modern
2. Kaki bipedal mencakup jempol kaki sejajar dengan jari kaki lainnya dan terdapat mekanisme pengunci di bagian tengah kaki untuk membantu mengencangkan lengkungan setelah tumit terangkat
3. Kaki yang relatif panjang untuk ukuran tubuhnya, lengkungan datar tanpa mekanisme seperti pegas yang digunakan untuk menyimpan dan melepaskan energi saat berlari, dan jempol kaki yang pendek
4. Puntiran rendah yang tidak biasa pada tulang lengan atas
5. Tulang kaki yang lebar dibandingkan dengan panjangnya
6. Tulang selangka yang relatif pendek dan melengkung
7. Bentuk tulang belikat menyebabkan bahu sedikit bergerak ke depan seolah-olah membungkuk
8. Tulang pergelangan tangan lebih mirip dengan kera Afrika atau Australopithecus
9. Homo floresiensis perempuan memiliki panggul yang lebih lebar daripada Homo sapiens perempuan
10. Lengan yang relatif panjang

Gaya Hidup Homo Floresiensis

A. Perkakas
Perkakas batu ditemukan dalam sejumlah lapisan berbeda yang berasal dari 190.000 hingga 50.000 tahun yang lalu. Perkakas tersebut meliputi serpihan sederhana (flakes), ujung, perforator, bilah, dan bilah mikro yang mungkin dipasang sebagai duri.

Sebagian besar perkakas berasal dari lokasi di mana sisa-sisa gajah kerdil Stegodon ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa Homo floresiensis memburu Stegodon.

Analisis residu dan polesan pada beberapa peralatan mengungkap bahwa peralatan tersebut digunakan untuk mengolah kayu dan bahan berserat, mungkin untuk membuat gagang tombak atau barang seperti perangkap

Tanda-tanda potongan pada tulang Stegodon juga menunjukkan bahwa beberapa peralatan digunakan untuk mengolah daging.

B. Api
Terdapat bukti penggunaan api di gua Liang Bua. Banyak sisa-sisa Stegodon muda memiliki tulang hangus, yang mungkin menunjukkan bahwa Homo floresiensis mampu mengendalikan api untuk memasak.

C. Lainnya
Tidak ditemukan jejak pigmen, ornamen, atau penguburan yang disengaja di lapisan yang terkait dengan Homo floresiensis. Ketiganya mencirikan tingkat manusia modern. Artinya, Homo floresiensis merupakan jenis manusia purba.

D. Lingkungan dan pola makan
Flores adalah pulau tropis yang sangat berhutan dengan puncak gunung yang tingginya mencapai lebih dari 2000 meter.

Lingkungan pada masa Homo floresiensis diprediksi serupa dengan lingkungan yang ada sekarang. Sifat lingkungan dan keterbatasan sumber makanan di Flores menunjukkan bahwa Homo floresiensis berevolusi.

Homo floresiensis hidup bersama gajah kerdil Stegodon, tikus raksasa, dan kadal besar seperti komodo. Bukti bekas luka pada tulang Stegodon dari gua Liang Bua menunjukkan bahwa Homo floresiensis setidaknya memburu dan memakan hewan ini. [BP]