Pendidikan adalah jendela menuju kemajuan peradaban, dan pada masa kolonial Hindia Belanda, Hogere Burger School (HBS) menjadi salah satu institusi yang mencerminkan gagasan tersebut. Didirikan dengan standar pendidikan tinggi ala Eropa, HBS tidak hanya mencetak lulusan berprestasi tetapi juga memainkan peran penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Meskipun awalnya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, sekolah ini akhirnya menjadi saksi lahirnya tokoh-tokoh besar bumiputra yang membawa pengaruh terhadap perjalanan bangsa. Artikel ini akan membahas bagaimana HBS berdiri, berkembang, serta kontribusinya dalam membentuk generasi intelektual di Hindia Belanda.
Sejarah Berdirinya HBS
Hogere Burger School (HBS), yang secara harfiah berarti Sekolah Menengah Tinggi untuk Warga Negara, merupakan salah satu institusi pendidikan paling prestisius pada masa Hindia Belanda. Melansir laman esi.kemdikbud.go.id, sekolah ini didirikan pada 1867, sekolah ini awalnya dikhususkan untuk anak-anak Eropa, tetapi seiring waktu mulai membuka pintunya untuk anak-anak dari kalangan bumiputra dan Tionghoa. Meski begitu, jumlah siswa bumiputra yang diterima tetap sangat sedikit, mencerminkan keterbatasan akses pendidikan bagi masyarakat pribumi pada masa kolonial.
HBS pertama kali didirikan di Jakarta pada 1867, diikuti oleh pendirian HBS di Surabaya pada 1875 dan Semarang pada 1877. Awalnya, masa studi di HBS Surabaya dan Semarang hanya tiga tahun, namun diperpanjang menjadi lima tahun pada 1879. Pada 1882, didirikan pula HBS untuk anak perempuan di Jakarta, meskipun dengan kurikulum dan masa studi yang berbeda.
Ide awal pendirian HBS terkait erat dengan kebutuhan pendidikan lanjutan bagi orang Eropa di Hindia Belanda. Sebelumnya, pada 1817, telah berdiri Europeesche Lagere School (ELS) yang berfungsi sebagai sekolah dasar bagi anak-anak Eropa. Kebutuhan akan sekolah menengah kemudian menjadi mendesak, sehingga pada 1860 raja Belanda menyetujui pendirian sekolah menengah bernama Gymnasium Koning Willem III.
Gymnasium ini memiliki dua jalur pendidikan, yakni Seksi A untuk pendidikan klasik dan Seksi B untuk persiapan ke akademi militer dan teknik. Namun, karena minimnya peminat pada Seksi A, jalur ini akhirnya ditutup pada 1868, dan Seksi B direorganisasi menjadi HBS.
Kurikulum dan Standar Pendidikan
HBS di Hindia Belanda didesain menyerupai HBS di negeri Belanda, baik dari segi kurikulum, bahasa pengantar, maupun standar pengajaran. Bahasa Belanda menjadi bahasa utama yang digunakan, sementara mata pelajaran yang diajarkan mencakup berbagai bidang ilmu, seperti:
– Matematika, Berhitung, dan Aljabar
– Mekanika, Fisika, dan Kimia
– Botani, Biologi, dan Kosmografi
– Ekonomi, Tata Buku, dan Undang-undang Negara
– Bahasa Belanda, Perancis, Jerman, dan Inggris
– Sejarah, Geografi, serta Menggambar Tangan dan Garis
Siswa HBS dituntut memiliki kemampuan tinggi dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan alam, dan bahasa. Masa studi lima tahun di HBS dianggap sebagai persiapan ideal untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Belanda maupun Hindia Belanda.
Meskipun hanya sedikit siswa bumiputra yang berhasil menembus sistem pendidikan elit ini, HBS mencatat sejumlah lulusan yang menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Di antaranya adalah Sukarno, yang pernah belajar di HBS Surabaya sebelum melanjutkan studinya ke Technische Hoogeschool (sekarang ITB) di Bandung. Selain itu, Raden Hasan Djajadiningrat, putra seorang bupati di Serang, juga merupakan lulusan HBS Jakarta.
Para lulusan HBS memiliki peran signifikan dalam membentuk pemikiran modern di Indonesia. Dengan pendidikan yang mereka peroleh, mereka tidak hanya menjadi intelektual, tetapi juga pendorong utama pergerakan nasional. Sukarno, misalnya, mengakui bahwa pendidikan yang ia terima di HBS sangat membentuk pola pikirnya dalam memahami peradaban Barat dan gagasan kemerdekaan.
Selama lebih dari setengah abad, HBS menjadi institusi pendidikan utama yang membuka jalan menuju perguruan tinggi. Hanya mereka yang lulus dari HBS dengan hasil baik yang dianggap layak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, menjadikannya simbol status sosial dan intelektual.
Meskipun era HBS telah berlalu, warisan pendidikan dan pengaruhnya terhadap para lulusan tetap terasa hingga kini. HBS bukan hanya mencerminkan sistem pendidikan kolonial, tetapi juga menjadi bagian dari cerita bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat mobilitas sosial dan politik, sekaligus sarana untuk membentuk generasi pemimpin di masa depan. [UN]