Ilustrasi Epilepsi (IStock)

Ketika mendengar kata “epilepsi,” banyak orang masih memiliki pemahaman yang terbatas tentang kondisi ini. Berbagai mitos dan stigma sering kali menyelimuti gangguan neurologis ini, membuat penderita epilepsi menghadapi tantangan tidak hanya dari segi kesehatan tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Padahal, dengan penanganan yang tepat, epilepsi bisa dikendalikan dan penderitanya dapat menjalani kehidupan yang normal seperti orang lain. Lalu, apa sebenarnya epilepsi? Apa saja penyebab dan gejalanya? Dan bagaimana dunia berupaya meningkatkan kesadaran terhadap kondisi ini? Artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai epilepsi serta pentingnya edukasi dan dukungan bagi para penyintasnya.

Penyebab dan Faktor Risiko Epilepsi

Mengutip laman Alo Dokter, Epilepsi adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang berulang yang terjadi pada sebagian atau seluruh tubuh akibat gangguan pada pola aktivitas listrik di otak. Penyakit ini tidak menular dan dapat dikendalikan dengan pengobatan yang rutin dan tepat. Seseorang dinyatakan menderita epilepsi jika mengalami kejang lebih dari satu kali tanpa penyebab yang jelas. Epilepsi dapat dialami oleh semua kelompok usia, tetapi lebih sering muncul saat masa kanak-kanak atau setelah usia 60 tahun.

Epilepsi terjadi akibat aktivitas listrik yang tidak normal di otak. Meskipun penyebab pastinya masih dalam penelitian, beberapa kondisi diduga berkontribusi terhadap perkembangan penyakit ini. Cedera kepala akibat kecelakaan atau benturan keras dapat menjadi pemicu utama, begitu juga dengan kelainan bawaan seperti malformasi arteri vena. Beberapa penyakit infeksi, seperti meningitis dan HIV/AIDS, juga dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi. Gangguan perkembangan, seperti lumpuh otak (cerebral palsy), sindrom Down, dan neurofibromatosis, juga dapat mempengaruhi fungsi otak dan berpotensi menyebabkan epilepsi.

Selain faktor-faktor tersebut, beberapa kondisi lain dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami epilepsi. Kelahiran prematur atau adanya kelainan otak sejak lahir dapat mengganggu perkembangan saraf dan memicu aktivitas listrik yang tidak normal di otak. Hipoksia atau kekurangan oksigen saat lahir juga berperan dalam meningkatkan risiko. Diabetes selama kehamilan serta infeksi pada ibu hamil yang menyebabkan kerusakan otak pada janin menjadi faktor tambahan yang patut diwaspadai.

Lebih lanjut, kondisi seperti perdarahan otak, tumor otak, serta riwayat epilepsi dalam keluarga juga dapat mempengaruhi kemungkinan seseorang mengalami epilepsi. Gangguan degeneratif seperti stroke, penyakit Alzheimer, dan demensia juga sering dikaitkan dengan kasus epilepsi pada usia lanjut. Gaya hidup juga memiliki peran, di mana penyalahgunaan NAPZA, konsumsi alkohol berlebihan, serta paparan zat-zat berbahaya dapat berdampak negatif pada kesehatan otak dan meningkatkan risiko epilepsi.

Gejala Epilepsi

Gejala utama epilepsi adalah kejang, yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu kejang total dan kejang parsial. Kejang total mempengaruhi seluruh tubuh dan terdiri dari beberapa jenis, antara lain:

1. Kejang tonik-klonik: Ditandai dengan gerakan menghentak, tergigitnya lidah, dan kesulitan bernapas.

2. Kejang absans: Ditandai dengan tatapan kosong, hilangnya kesadaran sesaat, dan tidak mengingat kejadian di sekitarnya.

3. Kejang atonik: Ditandai dengan tubuh tiba-tiba lemas, penurunan kesadaran, dan pingsan.

4. Kejang mioklonik: Ditandai dengan gerakan cepat pada otot secara tiba-tiba di salah satu atau kedua lengan.

Sementara itu, kejang parsial hanya terjadi di bagian tertentu dari tubuh dan terbagi menjadi:

1. Kejang parsial sederhana: Kejang terjadi di satu bagian tubuh tanpa menyebabkan kehilangan kesadaran.

2. Kejang parsial kompleks: Kejang ini menyebabkan penurunan kesadaran, melamun dengan tatapan kosong, serta melakukan gerakan berulang seperti menggosok tangan atau berjalan berputar-putar.

Hari Kesadaran Epilepsi dan Purple Day

Kesadaran akan epilepsi sangat penting untuk menghilangkan stigma dan mitos yang melekat pada penyakit ini. Cassidy Megan dari Nova Scotia, Kanada, mendirikan Hari Kesadaran Epilepsi dengan acara pertama yang diadakan pada 26 Maret 2008. Terinspirasi dari perjuangannya hidup dengan epilepsi, ia ingin masyarakat memahami gangguan ini dan memberikan dukungan bagi penderitanya.

Epilepsi merupakan gangguan neurologis keempat yang paling umum setelah migrain, stroke, dan Alzheimer. Diperkirakan bahwa satu dari 26 orang di Amerika akan mengalami epilepsi dalam hidup mereka. Sayangnya, banyak asumsi keliru yang menyebabkan diskriminasi terhadap penderita epilepsi, termasuk peraturan yang tidak perlu tentang kemampuan mereka dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada tahun 2009, Yayasan Anita Kaufmann bermitra dengan Asosiasi Epilepsi Nova Scotia untuk meluncurkan Purple Day, sebuah kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang epilepsi. Pada tahun yang sama, lebih dari 100.000 siswa, 95 tempat kerja, dan 116 politisi ikut serta dalam acara ini.

Tahun 2011, Yayasan Anita Kaufmann mendaftarkan merek dagang Purple Day dan terus memperluas jangkauan kampanye kesadaran ini. Hingga kini, Purple Day telah menjadi gerakan global yang mengajak masyarakat untuk memahami, mendukung, dan menghilangkan stigma terhadap epilepsi.

Epilepsi adalah kondisi medis yang dapat dikendalikan dengan pengobatan yang tepat. Kesadaran dan edukasi masyarakat sangat penting untuk membantu penderita epilepsi menjalani kehidupan yang lebih baik tanpa diskriminasi. Purple Day menjadi momen bagi dunia untuk memahami dan mendukung para penyintas epilepsi, sehingga mereka dapat hidup dengan lebih percaya diri dan dihormati oleh lingkungan sekitar. [UN]