Koran Sulindo – Ketika kali pertama istilah Ekonomi Pancasila diperkenalkan satu-satunya reaksi yang dituai  adalah menjadi bahan tertawaan. Para cerdik pandai menganggap konsep itu terlalu normatif sehingga mustahil diterapkan.

Meski belum jelas benar maksudnya, istilah tersebut kali pertama muncul dalam artikel tulisan Emil Salim di tahun 1967 dan menjadi lebih terang ketika kembali dibahas dan diskusikan secara intens di tahun 1979.

Di tengah puncak stamina Orde Baru, sistem ekonomi yang sari patinya diambil dari pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta segera dicerca sebagai konsep ideologis yang sekaligus dianggap tidak ilmiah.

Dianggap berbau-bau komunis, konsep itu segera dibuat menjadi musuh rezim dan mengarahkan agar masyarakat menolaknya.

Pakar ekonomi Universitas Gajah Mada Mubyarto menyebut konsep Ekonomi Pancasila tersebut sempat menjadi ‘Polemik Nasional’ pada tahun tahun 1981 sebelum kemudian disimpan di laci besi.

Menurut Mubyarto konsep tersebut bukan barang baru baik secara historis, filosofis, konsepsi maupun dalam hal implementasi. Sistem tersebut telah menjadi haluan pembangunan ekonomi bahkan sejak Indonesia merdeka seperti amanat UUD 1945.

Ekonomi Pancasila dibangun sekaligus digali dari norma-norma yang dianut masyarakat Indonesia dengan mengutamakan prinsip keadilan sosial yang pencapaiannya ditempuh melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi kerakyatan. Persis seperti yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Terkecoh dengan menelan mentah-mentah resep ekonomi neoklasik versi Amerika yang agresif, krisis ekonomi tahun 90-an menyadarkan kesalahan haluan ekonomi Indonesia.

Pakar ekonomi rezim berpendidikan Amerika secara keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi sebagai disiplin yang obyektif dan bebas nilai dengan meyakini pengalaman pembangunan mereka obat mujarab dan menganggapnya cocok bagi Indonesia.

Mereka juga yang begitu dekat dengan penganjur-penganjur IMF dan Bank Dunia itu secara dogmatis menyanderakan diri pada ide persaingan atomistik, intervensi negara yang minimal dan pemuja keajaiban pasar.

Pujaan itu makin menjadi-jadi terlebih semenjak runtuhnya rezim Stalin di Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet. Mereka dengan sepenuh hati mendendangkan koor sama yang menyebut, “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”.

Sangat disayangkan, penjajahan fisik ekonomi dan politik selama 3,5 abad yang dialami bangsa ini, kemudian diteruskan dalam 3,5 dekade imperialisme intelektual yang jauh lebih mengisap. Sangat sulit bagi akal sehat membayangkan kerugian yang lebih besar lagi daripada itu.

Di sisi lain, krisis ekonomi tersebut untuk sesaat membuat para ekonom-ekonom kita menengok kembali kebutuhan-kebutan haluan ekonomi alternatif. Termasuk di antaranya yang menjadi diskursus paling intens adalah ekonomi kerakyatan.

Ekonomi kerakyatan sejatinya tak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila yang menekankan roh sila keempat yakni kerakyatan. Aspek inilah yang sepanjang periode otoritarian Orde Baru justru paling sering diabaikan.

Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi nasional berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan bersunguh-sungguh berada di sisi perekonomi yang digeluti rakyat banyak.

Prayarat mutlak berfungsinya sistem ekonomi tersebut adalah gagasan Bung Karno tentang Trisakti yakni berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Istilah ekonomi rakyat adalah ekonomi sosial dan moral yang bahkan sejak era kolonial mencakup kehidupan rakyat miskin terjajah yang oleh Bung Karno didefinisikan sebagai kaum marhaen.

Kegiatan ekonomi mereka umumnya berkecimpung pada kegiatan produksi yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupan. Faktor utama pada aspek ekonomi mereka itu tertuju pada kegiatan produksi dan bukan konsumsi.

Mereka adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, miskin kota dan pedagang kecil yang umumnya tak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga mereka.

Literatur ekonomi pembangunan sektor inilah yang disebut sebagai sektor informal atau underground economy atau ekstralegal sector.

Mereka bermodal kecil, bahkan sangat kecil yang didapat dari pinjaman keluarga dekat, koperasi lingkungan, pegadaian atau arisan di kampung-kampung. Mereka tak pernah dianggap sebagai investasi karena investasi dipahami sebagai modal yang harus datang dari pengusaha besar atau asing semata.

Mereka inilah yang ketika krisis datang hanya butuh waktu singkat untuk pulih sebelum akhirnya kembali tumbuh. Selain tahan-banting dalam situasi krisis, merekalah yang sejatinya menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total.

Hernando De Soto menyebut ekonomi yang digeluti rakyat itu sebagai ‘berlian’ yang potensi domestiknya tak pernah dikenali pemerintah maupun para perencana-perencana pembangunan.

Gagasan inilah yang mesti dielaborasi oleh segenap pemimpin ekonomi Indonesia tak peduli itu pemerintah, bisnis, hingga pakar untuk mencurahkan perhatiannya menentukan aturan main yang mengacu pada sistem sosial dan budaya yang berkembang di Indonesia. [Emir Moeis]