Mengejar Teroris hingga ke Dunia Maya

Ilustrasi: Densus 88 Antiteroris

Koran Sulindo – Tak banyak yang tahu, mungkin juga karena laporan di media massa yang sporadis dan terpotong-potong, Ini adalah operasi anti teror teragresif sejak serangan bom Bali I 2012 yang dulu merontokkan jaringan Jemaah Islamiyah (JI). Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teroris Polri, hanya dalam 2 bulan sejak bom bunuh diri di Surabaya pertengahan Mei lalu, menangkap sebanyak 270 terduga teroris. Dalam serangkaian operasi anti teror di Jawa dan Sumatera itu sebanyak 20 orang tewas.

Serangan bom bunuh diri di 3 buah gereja di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, pertengahan Mei lalu menewaskan 28 orang dan melukai 57 orang.

Juga tak banyak yang tahu, hanya dalam 2 pekan terakhir, polisi menangkap sedikitnya 50 terduga teroris di sekitaran Jakarta. Para terduga teroris yang ditangkap tersebut disinyalir terkait dengan dua jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharul Kilafah (JAK).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian pekan lalu mengatakan hasil itu belumc cukup. Ia terus mengejar mereka yang terlibat dalam kasus bom gereja Surabaya dan memerintahkan Densus 88 menangkap pelaku, inspirator, ideolog, pendukung yang menyiapkan anggaran, hingga simpatisan.

“Menurut undang-undang baru, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, maka ini yang bersimpati pun kepada mereka saat melakukan aksi itu, bagian dari kelompok mereka itu, bisa kita pidana,” kata Tito, di Mako Brimob Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat,  lalu.

Pemidanaan kepada simpatisan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor  15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. UU ini disahkan DPR pada 25 Mei lalu.

Menurut UU baru itu, memang, meski tidak terlibat secara langsung seseorang bisa diproses dan dilakukan penahanan selama 200 hari. Contohnya istri Abdullah, pelaku bom di Pasuruan, Jawa Timur. Menurut UU lama istri terduga teroris tidak bisa diproses. Dengan UU, cukup kalau tahu suaminya terlibat jaringan tanpa harus ikut membuat bom, bisa diproses dan ditahan maksimal bisa 200 hari

Tito yakin mengetahui seluruh jaringan kelompok teroris yang terlibat dalam bom gereja di Surabaya itu.

“Anda sudah buka pintu, kami tidak akan berhenti masuk,” kata Tito.

Legislasi Blangko

UU itu memang semacam memberi legislasi blangko pada pemerintah. Banyak bagian dan implementasi lebih lanjut sebagai turunan UU itu, oleh DPR, diserahkan sepenuhnya ke tangan pemerintah.

UU antiteroisme diajukan pemerintah setelah aksi teroris di  Jalan Thamrin Jakarta, Maret 2016. Revisi UU itu diajukan setelah penyanderaan polisi di Mako Brimob Depok dan bom bunuh diri Surabaya.

Lembaga sipil Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penjelmaan kembali Elsam yang berjaya dulu, menyatakan UU baru itu membuka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme terbuka lebar.

Kalimat “dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan” dalam definisi UU itu, juga akan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan seluruh unsur tindak pidana terorisme. Unsur motif tersebut rentan menjadikan delik terorisme menjadi delik politik.

“Dengan definisi yang telah disepakati tersebut, maka penegakan hukum pidana terorisme tidak hanya menjadi sulit sekaligus juga rentan terhadap masuknya kepentingan lain di luar penegakan hukum,” tulis pernyataan ICJR, seperti dikutip icjr.or.id.

Amnesty International Indonesia juga menggarisbawahi banyaknya pasal abu-abu dalam regulasi baru itu.

“Ketidakjelasan beberapa pasal dalam UU itu bisa digunakan otoritas untuk membatasi kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul, atau menerakan label aktivitas politik sebagai terorisme,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, seperti dikutip amnesty.org.

Pelanggaran HAM

UU Antiterorisme yang baru itu memang seperti memberi kebebasan pemerintah untuk mengisinya dengan apa saja untuk melawan terorisme. Juga terbuka kemungkinan meneror warga negaranya sendiri.

Berbekal regulasi baru itu, polisi kini bisa dengan mudah menangkap dan memproses siapa pun yang diduga terkait dengan jaringan teroris.

Pasal 13A UU itu memberi polisi kewenangan memproses siapa pun yang terindikasi mendukung, bersimpati, atau bergabung dengan jaringan teror meski tidak memiliki niat atau rencana untuk melakukan serangan. Diatur juga dalam jeratannya, termasuk siapapun yang menyebarkan materi, ujaran, dukungan atau simpati kepada kelompok teror dengan tujuan untuk menghasut atau merekrut.

Jika terbukti, ancamannya penjara maksimal 5 tahun. Pasal tersebut anehnya bisa tetap terselip dalam pembahasan UU yang awalnya berlarut-larut hingga 2 tahun itu.

Ayat itu diikuti kalimat ini, “menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan.”

Banyak pengamat sejak awal menyatakan beberapa pasal dalam UU baru itu melanggar ketentuan hukum HAM International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), terutama kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Karena batasan kebebasan berekspresi masih kabur, UU itu bermain di antaranya.

“Kita membutuhkan panduan yang jelas untuk mengukur suatu ujaran sebelum dikategorikan sebagai hasutan atau ajakan terutama di tengah derasnya arus informasi digital di media sosial,” kata peneliti di Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, seperti dikutip vice.com.

Menurut Papang, postingan di media sosial yang mendukung khilafah berbasis syariah, misalnya, tidak bisa dijadikan basis sebagai ajakan atau hasutan karena ekspresi pribadi.

Namun ketika direproduksi dengan cara sedemikian rupa, seperti dengan membuat situs atau postingan berulang-ulang, itu berarti sudah ada niat untuk menghasut.

Dengan banyak pasal dan ayat bermain di arena abu-abu, UU anti terorisme bisa menjerat siapapun yang terindikasi menyebarkan paham ekstremisme, hingga ke dunia maya, di media sosial, dan aplikasi pesan seperti Whatsapp dan Telegram. Dan karena itu memiliki potensi salah tangkap yang besar juga.

“Intinya kita harus turut mengawasi akuntabilitas dan transparansi kepolisian.”

Densus 88 memang kerap dituding melakukan salah tangkap dan mengabaikan hak asasi manusia. Pada Maret 2016 Februari, Siyono yang diduga korban salah tangkap di Klaten, Jawa Tengah tewas saat proses pemeriksaan. Februari lalu, seorang terduga teroris jaringan JAD, Muhammad Jefri, tewas ketika ditangkap di Indramayu, Jawa Barat. Sebelum panduan membaca UU itu belum ada, polisi harus hati-hati dan rakyat harus terus mengawasi. [Yudha Marhaena/Didit Sidarta]