Ilustrasi hukuman mati
Ilustrasi hukuman mati BMI di Arab Saudi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Presiden Joko Widodo melayangkan protes keras dan secara langsung kepada pemerintah Arab Saudi karena mengeksekusi Tuti Tursilawati, buruh migran Indonesia tanpa pemberitahuan. Tindakan Arab Saudi harus dikecam keras dan mendesakkan untuk menghapus praktik hukuman mati di negaranya.

Direktur Eksekutif ICJR, Anggara menuturkan, eksekusi terhadap Tuti dilaksanakan pada Senin (29/10) kemarin tanpa memberitahu pemerintah Indonesia sama sekali. Dan tindakan Arab Saudi itu bukan baru kali ini saja terjadi. Setidaknya, kata Anggara, terdapat 2 buruh migran kita yang dieksekusi otoritas Arab Saudi tanpa memberitahukan kepada pemerintah Indonesia.

“Maret lalu, Zaini Masrin dan Siti Zaenab dieksekusi otoritas Arab Saudi tanpa memberitahukan kepada pemerintah Indonesia. Bahkan untuk Zaini, proses peninjauan kembali untuk kedua kalinya masih berlangsung,” kata Anggara dalam keterangan resminya menanggapi eksekusi mati terhadap Tuti oleh Arab Saudi pada Selasa (30/10).

Dikatakan Anggara, informasi yang dikumpulkan ICJR, vonis mati terhadap Tuti lantaran dinilai bersalah karena membunuh majikannya pada 2010. Padahal, tindakan Tuti ketika itu merupakan upaya pembelaan diri karena mendapat percobaan pemerkosaan dari majikannya. Dari fakta ini, ICJR memberikan 3 catatan penting atas tindakan Arab Saudi itu.

Pertama, kata Anggara, Arab Saudi melanggar tata krama diplomatik yang telah terjadi berulang kali. Oleh karena itu, pemerinta Indonesia harus mengambil sikap tegas terhadap pemerintah Arab Saudi. Selain mengirimkan surat protes, pemerintah perlu memanggil duta besar Arab Saudi atau menempuh jalur politik lain.

“Presiden Jokowi harus secara langsung dan segera melayangkan protes keras dan apabila terdapat pelanggaran dalam proses eksekusi mati ini, maka sudah saatnya tabiat buruk Arab Saudi ini dibawa ke level yang lebih serius secara internasional,” kata Anggara.

Selanjutnya, pemerintah Indonesia juga sudah saatnya menyatakan kecaman atas praktik hukuman mati. Terlebih Kementerian Luar Negeri pada awal tahun ini mengklaim salah satu capaiannya selama 3 tahun pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah keberhasilannya dalam memberi perlindungan terhadap warga negara yang berada di luar negeri. Salah satu bentuknya adalah membebaskan atau menyelamatkan warga negara Indonesia dari ancaman hukuman mati di luar negeri.

Merujuk kepada data Migrant Care hingga Oktober 2018, terdapat 166 orang buruh migran kita yang terancam mati di luar negeri. Atas dasar fakta ini, sikap dualisme pemerintah soal hukuman mati harus dihilangkan. Pemerintah harus tegas menghapus praktik hukuman mati di dalam negeri dan mengecam hukuman serupa terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.

Dengan sikap konsisten itu, kata Anggara, komitmen pemerintah untuk melindungi warga negaranya terutama dari ancaman hukuman mati bisa terwujud. Terakhir, kata Anggara, perlindungan terhadap buruh migran harus lebih ditingkatkan, terutama di negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Seperti di Indonesia, vonis hukuman mati acap diputuskan berdasarkan proses hukum yang tidak adil.

Tuti Tursilawati yang berasal dari Majalengka mulai bekerja di Aran Saudi sejak 2009. Ia bekerja sebagai perawat orang tua lanjut usia di Kota Thaif. Kemudian, setahun bekerja di sana, ia diganjar hukuman mati karena didakwa membunuh majikannya Suud Malhaq al-Utibi.

Dari penjelasan keluarga, Tuti bercerita tindakan itu dilakukan sebagai upaya membela dari atas sikap majikannya yang ingin memerkosanya. Alasannya itu diabaikan oleh pengadilan Arab Saudi dan akhirnya Tuti divonis hukuman mati. Lalu, pada 29 Oktober kemarin, otoritas Arab Saudi mengeksekusi Tuti tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia. [KRG]