Koran Sulindo – Tur Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Asia tidak berjalan mulus. Di Indonesia, misalnya, organisasi rakyat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia menolak kedatangan Raja Salman yang dinilai hanya membawa petaka.
Anggapan serupa juga terjadi di Maladewa. Partai oposisi menolak kedatangan Raja Salman yang dikabarkan akan membeli seluruh wilayah negara kepulauan di Samudra Hindia itu. Mereka mengancam akan turun ke jalan menolak rombongan jumbo Raja Salman.
Sebuah tulisan berjudul A Saudi king, an island paradise and Asia’s new Great Game yang dimuat The Washington Post pada 10 Maret lalu menyebutkan, tur Raja Salman itu berimplikasi secara politik baik tingkat regional maupun untuk Washington. Saudi sadar betul akan itu. Namun, karena kebutuhan untuk diversifikasi perekonomian, Saudi tertarik berinvestasi di Asia.
Saudi tak ingin lagi hanya bergantung pada minyak. Asia Tenggara menjadi tujuan apalagi jumlah penduduk Islam terbesar ada di sana. Itu sebabnya, Saudi akan mengerahkan kekuatan mereka ke sana. Akan tetapi, yang mengejutkan dari rangkaian tur ini adalah ketika Raja Salman “mengincar” Maladewa.
Karena itu, wajar partai oposisi Maladewa menjadi khawatir atas rencana investasi Saudi itu. Presiden Maladewa Abdulla Yameen tentu saja membantah akan menjual negaranya kepada Saudi atau pihak yang lain. Populasi Maladewa hanya terdiri atas 400 ribu jiwa dan terdiri atas sekitar 28 pulau karang. Maladewa akan tetapi, merupakan negara dengan lautan luas mencakup 1.000 kilometer.
Dari total populasi itu, sekitar 340 ribu penduduk Maladewa beragam Islam. Karena 99,9 persen luas negara ini terdiri atas lautan, maka luas tanah di Maladewa hanya 300 kilometer persegi. Karena itu, orang asing dilarang memiliki tanah di Maladewa. Namun, pada 2015 aturan itu dicabut. Negara kepulauan ini sangat strategis sebagai jalur pelayaran internasional Barat-Timur.
Maladewa merupakan negara yang tersohor sebagai tujuan wisata dunia. Namun, belakangan citranya sedang terpuruk karena krisis politik melanda negeri itu. Saudi rencananya akan berinvestasi hingga miliaran dolar di negara itu. Presiden Yameen disebut telah sepakat dengan Saudi untuk proyek infrastruktur dan pembangunan perumahan. Itu dibutuhkan lantaran naiknya permukaan laut.
Kendati Presiden Yameen berkeras membantah akan menjual negeri itu, kritikus berpendapat pada dasarnya pemerintah telah menyerahkan sebagian Maladewa kepada investor asing. Apalagi minimnya informasi yang disampaikan pemerintah mengenai rencana investasi asing di Maladewa. Publik karenanya menyimpulkan investasi asing itu hanya untuk memenuhi pundi-pundi pribadi Yameen.
Maladewa Jadi Rebutan
Pemimpin oposisi Mohamed Nasheed mengaku sulit untuk mempercayai omongan Yameen. Apalagi kesepakatan investasi itu tidak pernah terbuka dan tidak pernah disampaikan kepada publik. Nasheed kini tinggal di pengasingan di London. Ia mengalami hal tersebut setelah berperan menurunkan diktator yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Dalam pemilihan umum demokratis pada 2008, Nasheed berhasil memenanginya. Namun, pemerintahannya tidak bertahan lama karena ditandai dengan kudeta pada 2012.
Saudi bukan satu-satunya negara yang tertarik pada Maladewa. Tiongkok melihat Maladewa sebagai pengganjal utama untuk mewujudkan “Jalur Sutra Maritim” demi kepentingan energi dan perdagangan ke Timur Tengah. Karena itu, Tiongkok terus meningkatkan pengaruh mereka di Samudra Hindia dan meningkatkan hubungan dengan pemerintah Yameen.
Soal ini, Nasheed menyebutkan Beijing juga kemungkinan ikut berperan dalam proyek yang diperoleh Saudi itu. Apalagi pada tahun lalu sebuah perusahaan Tiongkok mendapat kontrak 50 tahun mengelola sebuah pulau tak berpenghuni dekat ibu kota Maladewa.
Nasheed karena itu tidak ingin Maladewa hanya menjadi penonton di antara pertarungan para “raksasa”. Kunjungan Raja Salman ke Maladewa itu menjadi pertanda bahwa permainan besar di antara negara-negara besar baru saja dimulai. [KRG]