Pemerintahan Jokowi meneruskan proyek infrastruktur yang telah diletakkan SBY [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Penggusuran atas nama “pembangunan” dengan menggunakan kekerasan semakin sering terjadi. Alih-alih melindungi dan mengayomi, aparat keamanan kini justru menjelma sebagai tukang “pukul” dan penggebuk masyarakat.

Kekerasan demikian tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Medan. Juga menimpa warga desa yang sekadar ingin mempertahankan tanahnya yang merupakan sumber penghidupan bersama keluarganya.

Itu dialami warga Desa Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Mereka – warga desa – menolak pengukuran tanah sebagai lahan pembangunan proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Polisi oleh karenanya menyerang warga dengan menembakinya dengan gas air mata.

Polisi memukuli, menggebuki sebagian warga  dan menangkap delapan orang. Kekerasan ini terjadi setelah negosiasi antara warga dengan petugas pengukuran lahan buntu. Atas nama “pembangunan” warga desa itu digebuk dan ditembaki. Selanjutnya, polisi malah menetapkan tiga warga desa sebagai tersangka.

Seperti Sukamulya, warga Desa Mekarjaya, Langkat, Sumatera Utara (Sumut) juga mengalami hal serupa. Warga mengalami kekerasan dari aparat gabungan kepolisian dan tentara ketika mempertahankan tanahnya dari perluasan lahan oleh perusahaan Malaysia yaitu PT Langkat Nusantara Kepong (LNK).

Lahan sekitar 554 hektare yang menjadi sumber konflik itu merupakan lahan pertanian warga dan kini ingin dijadikan sebagai perkebunan sawit oleh LNK. Perusahaan ini mengaku lahan tersebut termasuk bagian dari hak guna usaha PTPN II. Akibat penggusuran ini lahan pertanian dan rumah warga rusak.

Baru-baru ini penggusuran dengan menggunakan kekerasan juga terjadi di kawasan Glugur, Medan Barat, Sumut pada 23 November lalu. Warga yang bermukim sejak lama di bantaran rel digusur secara paksa. Aparat dengan menggunakan eskavator merubuhkan bangunan rumah warga.

Tentu warga tidak tinggal diam. Mereka melawan. Rasa amarah warga memuncak dan siap mati agar rumah mereka tidak digusur secara paksa. Sebagian ibu-ibu antara lain Melda Simbolon bahkan nekat tidur di depan eskavator yang siap melindasnya..

Aparat dengan segala kekuatannya dan terutama: lewat kekerasan melumpuhkan perlawanan warga Glugur itu. Melda digotong dan dijauhkan dari lokasi. Ia tetap meraung dan tidak rela rumahnya digusur. Perlawanan yang sungguh mengesankan.

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap rakyat. Kedua lembaga ini mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap rakyat dengan mengatasnamakan “pembangunan” itu.

Berdasarkan catatan LBH penggusuran melalui pendekatan kekerasan di Jakarta meliputi 325 lokasi dengan jumlah terdampak mencapai ribuan jiwa pada 2016. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat jika dibandingkan pada 2015.

Sementara itu, AGRA mencatat sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang meletakkan dasar pembangunan infrastruktur telah memenjarakan ribuan (1.180) kaum tani, menganiaya 556 kaum tani dan menewaskan 65 petani. Front Perjuangan Rakyat menyebutkan kondisi kehidupan kaum tani tidak jauh berbeda dengan masa kolonialisme. Organisasi ini hingga Mei 2016 mendata kaum tani yang menjadi korban kekerasan mencapai sekitar 256 orang, korban penembakan sekitar 39 orang, korban penangkapan 581 orang, korban kriminalisasi 82 orang dan korban tewas 10 orang.

Investasi
Semua kekerasan ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai investasi dan proyek infrastruktur yang dirancang pemerintah sebelum hingga masa Joko Widodo. Ketika berpidato di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Tiongkok, Jokowi mengundang investor untuk berinvestasi di Indonesia. Jokowi kala itu menjamin kemudahan izin dan pembebasan lahan.

Pidato Jokowi itu kini menjadi kenyataan dan menimpa warga Desa Mekarjaya Langkat itu. Sementara yang menimpa warga Desa Sukamulya, Majalengka berkaitan dengan janji Jokowi membangun proyek infrastruktur berupa jalan, pelabuhan, bandara, waduk dan irigasi hingga 2020. Ini disebut konsep keterhubungan (konektivitas) antar-koridor atau wilayah-wilayah.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) beberapa waktu lalu mengatakan, apa yang terjadi saat ini terutama dalam hal pembangunan infrastruktur mirip di era Orde Baru. Seperti halnya Soeharto, cara yang ditempuh untuk memuluskan “pembangunan” mengerahkan aparat keamanan untuk menggebuki rakyat.

Pendapat yang sama disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro beberapa waktu lalu. Sistem perekonomian Indonesia disebut mirip ketika di zaman kolonial. Ia – Menteri PPN itu – benar adanya. Selain karena mengandalkan komoditas ekspor, juga karena pembangunan menggunakan pendekatan rust en orde (kemanan dan ketertiban). Cara ini dianggap ampuh untuk mematikan gerakan rakyat.

Soal penggusuran ini penulis India, Arundhati Roy lewat sebuah tulisannya menggambarkan pembangunan infrastruktur sesungguhnya identik dengan penggusuran dan perampasan tanah rakyat. Di India, pemerintah menggunakan kemiskinan untuk menindas rakyat terutama di Bengala Barat.

Dalam bukunya yang berjudul Walking with the Comrades, ia mengatakan, setiap kali pemerintah perlu menggusur penduduk dalam jumlah besar untuk membangun waduk, proyek irigasi, dan membuka tambang, mereka bicara tentang membawa penduduk ke arah pembangunan serta kehidupan modern.

Maka, tidak perlu heran jika di India jumlah pengungsi mencapai puluhan juta orang. Sebagian besar merupakan korban penggusuran. Itu sebabnya, ketika pemerintah India mulai berbicara kesejahteraan rakyat, justru saat itulah warga menjadi khawatir. Seperti halnya India, Presiden Jokowi juga menjanjikan suatu kehidupan yang lebih baik lewat pembangunan infrastruktur seperti jalan, waduk, pelabuhan, irigasi, dan bandara.

Jika di India pembangunan infratruktur menciptakan puluhan juta pengungsi, Presiden Jokowi memperhalusnya dengan istilah pembebasan lahan yang seolah-olah tak menggusur rakyat. Celakanya, itu pula yang dipastikan Presiden Jokowi kepada investor.

Bila rakyat Bengala Barat, India khawatir ketika pemerintah mulai berbicara “kesejahteraan rakyat”, bukankah wajar kaum tani dan rakyat miskin perkotaan Indonesia juga demikian? [KRG]