Mengapa Istilah Kafir Sebaiknya memang Dihapus?

Ilustrasi/bbc.co.uk

Koran Sulindo – Rekomendasi Nahdlatul Ulama (NU) agar istilah kafir tidak digunakan untuk menyebut warga negara non-Muslim lewat keputusan hasil Musyawarah Nasional (Munas) NU beberapa waktu yang lalu mengundang pro dan kontra.

Adu argumen dan saling tuding antara yang setuju dan tidak setuju memenuhi media massa dan media sosial.

Artikel ini akan memetakan perdebatan tersebut. Bagi saya sebagai ahli kajian agama yang menekuni penelitian mengenai dialog antar-agama, toleransi dan kebebasan beragama, polemik ini adalah momentum yang baik untuk mendorong diskusi yang bermakna demi terciptanya kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

Menyisir Perdebatan

Rekomendasi penghapusan kata kafir yang kontroversial itu adalah tanggapan NU terhadap sejumlah kasus diskriminasi politik yang belakangan makin kerap dialami oleh warga negara non-Muslim.

Kelompok yang menolak mempertanyakan landasan agama dari rekomendasi ini. Kelompok ini heran mengapa tiba-tiba ada orang Islam yang terganggu dengan istilah yang digunakan oleh Allah dan Rasul-Nya. “Apa mereka mau mengganti semua kata kafir dalam Alquran dan ketetapan-ketetapannya? Muslim macam apa itu?” begitu ujar pihak-pihak yang menolak.

Lho, rekomendasi ini memang sama sekali tidak untuk menegasikan penggunakan istilah kafir sebagai konsep teologis, balas pihak yang sepakat dengan penghapusan istilah ini.

Menurut mereka, secara teologis, kafir adalah konsep yang tetap diperlukan. Itu istilah yang tercantum dalam Alquran, hadits dan semua kajian kitab klasik untuk membedakan antara yang beriman dan tidak beriman. Tetapi rekomendasi ini diberikan dalam konteks relasi antar-warga negara. Untuk Indonesia yang bukan negara Islam dan masyarakatnya plural, kategori teologis agama tertentu tidak semestinya digunakan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa.

Argumen lain yang digunakan kelompok yang menentang rekomendasi ini adalah persepsi mereka bahwa Islam telah menjadi kelompok yang disisihkan. Kepentingan dan posisi orang Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia kerap disingkirkan bahkan dikorbankan. Buktinya tokoh-tokoh Islam banyak yang dituduh sebagai aktor radikal bahkan teroris. Gerak-gerik umat Islam kerap dicurigai. Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam dilarang. Banyak ulama mengalami kriminalisasi.

Sebaliknya, mereka yang pro rekomendasi Munas NU tidak sepakat bahwa Islam mengalami ketidakadilan.

Sejak era 1990-an umat Islam telah kian mendominasi birokrasi dan jabatan-jabatan strategis dari tingkat lokal hingga nasional.

Kini bahkan Islam sudah menjadi “kekuatan yang tak terbendung.” Hal ini bisa dilihat dari meluasnya penggunaan atribut Islam dalam birokrasi dan di ruang publik, termasuk aturan wajib berjilbab bagi pramugari ketika masuk Aceh. Di mana-mana pemeluk agama Islam telah mendapat keistimewaan dan menjadi anak emas.

Mengapa Istilah Kafir Perlu Dihapus

Saya sendiri sepakat dengan penghapusan istilah kafir supaya tidak ada penganakemasan terhadap suatu kelompok agama tertentu dan penganaktirian kelompok yang lain.

Saya akan mencoba membahas argumen-argumen yang dilontarkan oleh kelompok yang menolak rekomendasi NU dari sudut pandang yang berbeda.

Pertama, penggunaan kata Kafir secara hati-hati

Saya tak menyangkal bahwa kata kafir adalah bagian penting dari Firman Allah. Di Alquran bahkan ada surat khusus Al-Kafirun.

Tapi hati-hati, penggunaan kata kafir tidak bisa serampangan.

Secara eksplisit, Alquran (Surat Al Baqarah ayat 62 dan Surat Al Maidah ayat 69 mengatakan bahwa Yahudi dan Kristen adalah agama yang valid. Dengan kata lain, penganutnya adalah juga kaum beriman, bukan kafir.

Sebaliknya, ketika membahas Alquran surat Al Hujurat ayat 14, Ismail bin Umar al-Quraisyi bin Katsir atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Katsir menyatakan bahwa ber-Islam (mengaku Islam secara formal) tidak otomatis sama dengan “beriman”, jika “iman belum turun ke dalam hatimu”.

Karenanya, non-muslim tidak otomatis kafir. Menjadi muslim tidak otomatis menjadi orang beriman, meski idealnya demikian.

Kafir merujuk kepada siapa saja yang tertutup, menutup diri atau menentang kebenaran Tuhan. Dia bisa orang yang mengaku beragama Islam atau bukan. Setiap orang punya potensi dan derajat kafirnya sendiri-sendiri.

Kedua, menolak tuntutan Islam Politik

Penolakan penghapusan kata kafir ini kental nuansa politiknya. Argumen bahwa Islam menjadi korban dan ditindas hanya dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendorong kepentingan politiknya.

Kelompok ini bermacam-macam. Ada yang menghendaki supaya negara mengutamakan kepentingan mayoritas Muslim dengan melakukan tekanan-tekanan seperti kerap dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Ada yang menghendaki berdirinya negara Islam, bahkan khilafah Islamiyah. Meski mengatasnamakan agama, semuanya berorientasi politis.

Kelompok Islam politik ini menunggangi agama untuk kepentingan sempit golongannya. Hal ini terlihat dari gerakan 212 yang mengalahkan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang lalu dan mengirimnya ke penjara..

Kehadiran kelompok-kelompok Islam politik ini telah membuat hubungan antar umat beragama yang berbeda menjadi tegang bahkan mengundang konflik.

Demi Indonesia yang Plural dan Damai

Dalam wacana kehidupan negara-bangsa Indonesia yang plural dan bukan negara Islam, penggunaan istilah kafir untuk merujuk non muslim berpotensi mendorong mereka menjadi warga negara kelas dua. Kecenderungan tersebut tampak semakin menguat belakangan ini.

Penolakan terhadap lurah, camat , pimpinan lembaga hingga calon gubernur, penyerangan rumah ibadah dan, bahkan, kuburan warga non-Muslim merupakan contoh.

Sejalan dengan apa yang telah dirintis pemikir Muslim terkemuka seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid, agama harusnya dijadikan sebagai pedoman moral untuk mewujudkan kehidupan yang adil, lapang, damai dan bermartabat bagi manusia di tengah sesamanya, bukan sebagai pemecah bangsa.

Alih-alih menuntut, Islam harus menjadi anugerah bagi semesta. Muslim Indonesia harus lebih banyak berupaya menawarkan apa yang bisa mereka berikan, bukan apa yang mereka tuntut dari bangsanya. Islam harus menjadi bagian dari solusi, alih-alih bagian dari masalah.

Sebagai mayoritas, umat Islam harus mengambil inisiatif menjangkau yang lain dan membangun kerja sama untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan dan kemanusiaan.

Di dalam masyarakat plural yang menganut sistem demokrasi, perlakuan terhadap kelompok minoritas merupakan indikator penting tentang sehat atau tidaknya relasi sosial. Dalam konteks itu, rekomendasi Munas NU untuk tidak menggunakan kata kafir dalam kehidupan berbangsa merupakan upaya konstruktif demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan setiap warga negara, demi tercapainya Indonesia sebagai rumah bersama yang memanusiakan setiap penghuninya. [Achmad Munjid, pengajar di Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.