Mengapa Intoleransi di Indonesia Tetap Subur?

Ilustrasi [PGI]

DITENGAH bencana yang melanda Cianjur bahkan gempa susulan setiap hari menerpa, bala bantuan datang tak henti-hentinya. Namun, di media sosial kita temui sekelompok orang dengan arogannya mencopot tanda label bantuan dari sebuah gereja. Aksi disebut dilakukan oleh salah satu ormas (organisasi masyarakat). Label tenda tersebut menempel kata “Tim aksi kasih Gereja Reformed Injil Indonesia”. Lantas publik pun geram, di tengah kedukaan dan kesulitan masih saja ada oknum yang melakukan tindakan intoleransi.

Menariknya, ada 2 pendapat dari pemimpin daerah tersebut. Ridwan Kamil yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat menyayangkan hal tersebut terjadi. Dalam akun resmi Twitternya, Kang Emil sapaan akrabnya mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh terulang kembali. Ia menuturkan bantuan bencana datang dari semua pihak dari semua golongan, kelompok, keyakinan ataupun agama. Baginya, masalah adanya stiker dari para pemberi bantuan adalah hal yang wajar. Hal itu karena mungkin menjadi bagian dari pelaporan pertanggungjawaban kepada para donatur yang menitipkan bantuan kepada warga Cianjur.

Berbeda dengan Bupati Cianjur, Herman Suherman. Dikutip dari beberapa sumber Herman mengatakan pencopotan tersebut memang tak perlu dilakukan namun juga ia berharap dalam gerakan membantu korban Cianjur, para donatur tidak menonjolkan label tertentu dari suatu kelompok.

Kasus- kasus intoleran seperti ini bukan hal yang baru di Indonesia. Bahkan masih teringat beberapa waktu lalu tentang kasus ditolaknya pembangunan gereja di Cilegon, Banten. Bahkan di daerah tersebut bukan hanya gereja namun tempat ibadah umat lain seperti vihara dan pura juga nihil ditemukan. Tidak heran Cilegon selalu masuk sebagai daerah yang paling Intoleran bertahun-tahun. Bahkan Helldy Agustian, Walikota Cilegon ikut menandatangani penolakan gereja tersebut.

Mengapa masih saja terjadi?

Meskipun berlandaskan kebhinekaan, namun rasanya 77 tahun negara ini berdiri rasanya masih cukup sulit untuk menghapus budaya mayoritas-minoritas di negeri ini. Puncaknya saat 2019 ketika politik identitas gencar menyusupi bagian-bagian daerah Indonesia. Sejak kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat itu mencuat, upaya pecah belah pun semakin tak terkendali.

Kata-kata berkonotasi negatif pun sering dijumpai. Ditambah pesatnya kemajuan media sosial yang menjadi alat dan wadah paling mudah untuk menyebarkan nilai-nilai intoleransi di Indonesia. Hasilnya ujaran kebencian terhadap suatu agama di sejumlah media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram hingga Twitter telah menjadi panggung dan arena untuk menyebarkan ujaran kebencian yang terindikasi sebagai sikap intoleran.

Menurut sebuah penelitian, tingkat intoleransi di suatu negara terikat dengan sebuah kelas sosial. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat di negara itu maka rendah lah pula sikap intoleran tersebut. Intoleransi di Indonesia lebih sering dekat dengan objek keagamaan. Mungkin awalnya bukan berdebat tentang suatu identitas keagamaan namun umumnya dikendarai oleh kepentingan politik tertentu.

Ruang internet Indonesia sejatinya sangat dekat dengan mis-informasi, sangat subur digunakan untuk penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian. Meskipun dibayang-bayangi UU ITE tampaknya hal tersebut sering luput. Beberapa kasus hanya diselesaikan sekedar dengan permintaan maaf. UU ITE bahkan lebih sering menjerat pelaku yang memiliki pendapat berbeda dengan keputusan-keputusan pemerintah. [NS]