Koran Sulindo – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat jumlah korban meninggal akibat gempa bumi di Lombok mencapai 436 orang. Mayoritas dari mereka mengembuskan napas terakhir setelah tertimpa bangunan yang dirobohkan oleh gempa bumi berkekuatan 7 Skala Ritcher pada 5 Agustus lalu. Jumlah pengungsi mencapai 352 ribu orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian.
Selain kerugian langsung seperti kerusakan fisik yang meliputi 67 ribu unit rumah, 600-an sekolah, berbagai fasilitas umum, dan jalan raya, belum terhitung kerugian tidak langsung akibat rusaknya sendi-sendi perekonomian termasuk pariwisata NTB dalam lima tahun ke depan.
Status Bencana Lombok
Praktisi penanggulangan bencana di Indonesia terbelah dua dalam menyikapi gempa bumi di Lombok. Pihak pertama mengatakan diperlukan penetapan status bencana Lombok 2018 sebagai bencana nasional. Sedangkan pihak yang lain, termasuk pemerintah, mengatakan tidak perlu ditetapkan sebagai bencana nasional.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan “(Ditetapkan sebagai) bencana nasional itu jika korban banyak, daerahnya luas, dan aparat pemerintah daerah juga lumpuh total. Pemerintah daerah juga menjadi korban dan lumpuh total sehingga fungsi-fungsi kepemerintahan tidak berjalan”. Sutopo kemudian mengoreksi bahwa wewenang deklarasi dan penetapan bencana nasional ada di tangan presiden.
Yang menarik adalah syarat terkait masih berfungsinya pemerintah daerah merupakan syarat yang tidak tertulis dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana melainkan syarat itu sebuah wacana baru di Tanah Air. Namun gagasan ini merupakan hal yang lumrah dalam bahan ajar di The Harvard Kennedy School Program on Crisis Leadership (PCL) yang menjadi dasar pemikiran deklarasi bencana dalam konteks Amerika Serikat.
Pertanyaan yang penting adalah apakah status bencana Lombok yang paling memberi dampak bagi operasi penanggulangan kedaruratan hingga tiga bulan ke depan? Dan bagaimana kebutuhan rekonstruksi rumah, sekolah, dan gedung-gedung serta bisnis dan ekonomi secara makro di NTB dalam tiga tahun ke depan?
Tantangan penanganan bencana di Lombok bukan hanya soal kebutuhan respons darurat dan bagaimana para penyintas bisa memiliki hunian layak sementara sebelum memasuki musim hujan 2018 yang diperkirakan mulai November. Total kebutuhan rekonstruksi yang masih diestimasi sangat mungkin lebih besar dari estimasi kerugian BNPB yang berkisar Rp 5,04 triliun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB 2018 yang Rp5,2 triliun.
Aturan Penetapan Status Bencana
Wewenang penetapan status bencana ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “Penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.” Untuk tingkat nasional ditetapkan oleh presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.
Menurut Undang-Undang Penanganan Bencana, standar penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana dengan jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi adan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. Dalam hal ini bisa BNPB ataupun Badan yang ditunjuk oleh presiden.
Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama yakni jumlah korban; kerugian harta benda; kerusakan prasarana dan sarana; cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Namun variabel di atas tidak cukup operasional untuk memandu para pengambil keputusan dalam menentukan status bencana nasional. Undang-Undang Penanganan Bencana menyadari kelemahan ini dengan mengatakan ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana perlu diatur dengan peraturan presiden yang hingga kini belum diterbitkan.
Tradisi Penetapan Status Bencana
Pola status bencana atau darurat skala nasional di berbagai negara di dunia berbeda-beda. Dari sisi penetapan, dilakukan secara ex-ante (ditetapkan sebelum ada korban) dan ex-post (ditetapkan setelah terjadi bencana).
Dari sisi ex-post, penetapan status darurat nasional ini terjadi setelah peristiwa pemicu, dalam konteks Lombok, gempa berkekuatan 7 SR. Dua prinsip utama dalam penetapan status ex-post ini terbagi atas dua model. Pertama, sebagai sebuah pernyataan pengambilalihan komando operasi dari pemerintah daerah dalam operasi kedaruratan maupun rekonstruksi pascabencana.
Secara obyektif, kelima kriteria menurut Undang-Undang Penanganan Bencana di atas sering di pakai. Bencana-bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional bisa dilihat dalam konteks Tsunami Aceh 2004 dan Gempa Flores 1992. Dampak bencana jauh melebihi kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola kebutuhan respons darurat dan rekonstruksi. Untuk kedua bencana ini, pemerintah pusat juga mengambil komando operasi dan rekonstruksi.
Kedua, sebagai pernyataan legal atas mobilisasi aset nasional dalam mereduksi eskalasi kedaruratan. Dalam hal ini, manfaat penetapan status bencana nasional adalah agar pemerintah pusat mempunyai kemudahan akses yang meliputi pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik, percepatan imigrasi, cukai, dan karantina (bila diperlukan), perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan barang, fungsi penyelamatan dan komando lintas sektor dan lembaga.
Dari sisi ex-ante, status darurat ditetapkan sebelum ada korban jiwa maupun harta benda. Selain Amerika Serikat, kategori ini belum pernah dicoba di Indonesia maupun negara lainnya. Tradisi ini di mulai ketika Presiden Barack Obama mendeklarasikan Hurricane Sandy sebagai darurat nasional, sebelum New York diterpa badai pasir tersebut.
Soal tanggung jawab, liabilitas dan akuntabilitas pemerintah menjadi pertimbangan penting. Keputusan Obama kemudian dikenal sebagai sesuatu yang baru oleh banyak ahli managemen bencana dan dijadikan model alternatif deklarasi status bencana nasional di berbagai negara.
Plus Minus Penetapan Status Bencana Nasional
Lalu apa yang menyebabkan pemerintah di berbagai belahan dunia enggan menetapkan sebuah peristiwa bencana sebagai bencana nasional? Dalam konteks bencana asap Kalimantan dan Sumatra 2015 pemerintah ragu-ragu dalam menetapkan status bencana nasional karena seolah-olah penetapan bencana nasional menghilangkan tanggung jawab perusahaan pembakar hutan.
Pemerintah di berbagai negara umumnya enggan mendeklarasikan sebuah bencana dengan status bencana nasional karena salah kaprah soal kemungkinan disalah-pahami sebagai tanda lemahnya kemampuan pemerintah baik daerah maupun pusat dalam menangani bencana. Seolah-olah deklarasi bencana nasional adalah sebuah undangan otomatis bantuan internasional.
Untuk menghindari debat kusir yang tidak produktif, saatnya kita mengajukan pertanyaan diagnostik terkait perlu tidaknya deklarasi bencana nasional oleh pemerintah pusat. Pertama, apakah ada hambatan mobilisasi sumber daya dan aset nasional? Kedua, apakah pemerintah daerah mampu mengkoordinasi respons darurat saat ini? Tentu jawabannya tergantung siapa yang Anda tanyai.
Tantangannya bukan hanya pada soal keuangan dan sumber daya, tapi juga bagaimana sistem administrasi rehabilitasi dan rekonstruksi bisa menjawab kebutuhan membangun yang lebih baik dan lebih tahan gempa. Hampir semua pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki agenda membangun rumah yang lebih tahan gempa dalam 10 tahun terakhir.
Peran yang diambil pemerintah pusat saat ini adalah memantau secara dekat dan mendukung pemerintah daerah NTB melalui berbagai sumber daya baik dana maupun logistik dan sumber daya manusia. Pendekatan ini walau mulia tapi tidak selalu efektif.
Secara status quo, pemerintah daerah telah gagal mengimplementasi mitigasi kegempaan yang berujung pada kehancuran fisik yang parah. Dengan pendekatan status quo saat ini, pertanyaan yang lebih urgen dijawab adalah apa jaminannya rekonstruksi dalam genggaman Pemda NTB bisa menjawab kebutuhan “membangun kembali dengan lebih baik” yang tahan gempa dan tahan banting terhadap ancaman alam lainnya di masa yang akan datang? [Jonatan A Lassa, pengajar senior di Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin University/Mujiburrahman Thontowi, PhD Student, Charles Darwin University, Australia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.