Mengapa AS Terus Sulut Perang Ukraina

Ilustrasi perang di Ukraina - Guardian

PERANG yang berkecamuk di Ukraina telah memakan korban ratusan ribu jiwa dan puluhan juta rakyat terpaksa mengungsi. Perang juga memperparah krisis harga pangan dan energi dunia.

Namun situasi ini tidak juga menggerakkan hati pemimpin Amerika Serikat Joe Biden untuk terlibat dalam upaya menciptakan perdamaian.

Akhir Agustus ini pemerintah AS kembali menyiapkan paket bantuan senilai hampir 3 Milyar dolar AS atau setara dengan 43 triliun rupiah. Namun bantuan yang dimaksud bukanlah bahan makanan ataupun obat-obatan untuk korban perang. Bantuan yang diberikan justru perlengkapan perang berupa amunisi dan alat perang buatan AS.

Dalam pernyataannya Biden menyebut telah menyiapkan bantuan berupa sistem pertahanan udara, peralatan tempur darat, amunisi dan perlengkapan lainnya. Penyediaan alat tempur itu dibawah program Ukraine Security Asistance Initiative.

Para pejabat AS menyebut spesifikasi sebagian dana untuk membeli drone Puma kecil yang diluncurkan dengan tangan, drone pengintai Scan Eagle tahan lama yang diluncurkan dengan ketapel, dan sistem drone Vampir Inggris, yang dapat diluncurkan dari kapal.

Sebelumnya pada Juli lalu AS sudah mengirimkan paket bantuan militer senilai 1 miliar dolar. Paket itu berupa sistem rudal permukaan-ke-udara NASAMS yang canggih ke Ukraina. Empat tambahan radar penangkal artileri dan 150.000 butir peluru amunisi 155 mm juga akan dikirimkan oleh AS ke Kiev sebagai bagian dari paket persenjataan terbaru untuk Ukraina.

Perpanjang perang

Sikap AS dengan terus menerus mengirimkan persenjataan menegaskan bahwa pemerintahan Biden tidak ingin perang segera berakhir.

Selain itu seperti yang disampaikan oleh presiden Rusia Vladimir Putin, bahwa AS bersembunyi dibelakang punggung Ukraina dan meminjam tangan Volodimir Zelensky untuk berperang melawan Rusia.

Manuver pemerintahan Biden sangat bertentangan dengan kampanye tentang pentingnya mengatasi krisis pangan dunia dan krisis kemanusiaan yang selama ini disampaikan melalui PBB.

Kecurigaan Rusia dan masyarakat dunia bisa jadi beralasan. Ditengah berkecamuknya perang dan meningkatnya harga komoditi dunia peusahaan minyak yang didanai pengusaha AS seperti Exxon dan Shell justru menangguk untung besar. Selain itu aksi embargo terhadap minyak dan produk pangan Rusia yang dimotori AS telah meningkatkan permintaan terhadap komoditas dari AS.

Namun taktik AS memperpanjang perang justru menimbulkan krisi dalam negeri. Tingginya angka inflasi hingga mencapai 9,1 persen menyebabkan rakyat AS kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Meski ada insentif yang dikeluarkan biden melalui program Inflation Reduction Act senilai lebih dari 1.000 triliun rupiah namun itu lebih banyak dinikmati perusahaan besar dengan label Teknologi Hijau tanpa karbon.

Situasi ini bagai api dalam sekam bagi AS. Gelombang protes di dalam negeri mulai bermunculan di kalangan pengusaha kecil, pekerja dan kaum miskin di AS. Resesi ekonomi pun kian mendekat ditandai dengan turunnya GDP AS selama dua kuartal berturut-turut. Popularitas pemerintahan partai Demokrat dan presiden Biden pun semakin menurun karena dianggap gagal menyelesaikan masalah ekonomi.

Dengan sikap keras kepala AS untuk memperpanjang perang maka dunia kini berada dalam situasi krisis yang sangat berbahaya bahkan mematikan. Maka upaya perdamaian seperti yang diinisiasi oleh Presiden RI Joko Widodo menjadi hal penting untuk kembali mengingatkan AS, Rusia dan Ukraina agar mengutamakan langkah-langkah perdamaian dan memulai gencatan senjata. [DES]