Ilustrasi

Koran Sulindo – Menelusuri jejak Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di berbagai negara termasuk Indonesia nampaknya tidak sulit-sulit amat. Keberadaan mereka di sebuah negeri seperti Indonesia selalu bersamaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS).

USAID acap kali hanya menjadi “topeng” untuk memberi bantuan kepada sebuah negara, yang dalam jangka panjang justru bergantung kepada Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya. Pendeknya, negara tersebut akan menjadi “boneka” dari AS. Itulah yang terjadi kepada Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto.

Dalam sebuah tulisan berjudul CIA Front, USAID, “Spreading Democracy”, Gearing Up in Ukraine – Suharto II? yang dimuat Global Research pada 2014, menyebutkan Stanley Ann Dunham, ibu kandung mantan Presiden AS Barack Obama pada periode awal Soeharto berkuasa mengerjakan proyek pembiayaan mikro untuk USAID dan Ford Foundation. Kedua lembaga ini disebut terkait dengan lembaga intelijen CIA.

Apa yang dikerjakan Stanley Ann Dunham yang kemudian menjadi Stanley Ann Dunham Soetoro itu membantu Soeharto menciptakan Orde Baru yang menjelma menjadi pemerintahan fasis selama berpuluh-puluh tahun. Tidak hanya di Indonesia, sejarah USAID bekerja bersama dengan CIA terekam di Vietnam, Rwanda, Ukraina dan terbaru di Venezuela. CIA melalui USAID menyalurkan sekitar US$ 4,26 juta kepada oposisi Venezuela pada 2015.

Sekitar US$ 2 juta dana ini disalurkan melalui National Endowment for Democracy (NED). USAID bersama NED menyebarkan jenis demokrasi “khusus” untuk menciptakan pemerintahan brutal – fasis – untuk mendukung tegaknya agenda ekonomi neoliberal di sebuah negara.

Baru-baru ini sebuah tulisan berjudul USAID, Imperialisme dan Gerakan Rakyat menyoal keberadaan USAID yang sangat “bermurah hati” menggelontorkan dana kepada organisasi-organisasi non-pemerintah di Indonesia yang dikenal sebagai LSM. Sebagai lembaga donor yang paling lama di Indonesia, USAID memiliki pengaruh yang luas terhadap LSM. Memang, pada tahun-tahun sekarang USAID tak lagi memberi bantuan berupa donor, tapi lebih kepada bentuk bantuan teknis, pengembangan kapasitas, teknologi dan ide-ide yang mendorong “inovasi” dan “reformasi”.

Tapi bukan itu soalnya. Karena USAID seperti lembaga Bappenas di Indonesia, maka LSM yang mendapatkan bantuan dari lembaga tersebut sesungguhnya bukanlah organisasi non-pemerintah melainkan agen dari pemerintah AS. Secara tidak langsung mendukung agenda USAID untuk menjalan ekonomi neoliberal yang sesuai kehendak kapitalis monopoli asing (imperialis). Itu sebabnya banyak LSM teramat jarang membicarakan imperialisme dan kapitalisme. Mereka merasa mengakhiri dominasi imperialisme sebagai hal yang tidak mungkin alias utopis karena “kukunya” sudah menancap sedemikian rupa.

Soal LSM ini, penulis ternama India Arundhati Roy dalam tulisannya berjudul The NGO-ization of Resistance mengingatkan kita akan bahaya LSM-isasi. Gerakan rakyat justru acap mendapat “perlawanan” dari LSM yang kebanyakan mendukung gerakan reformasi dan cenderung mengabdi kepada kepentingan pendonor (baca: imperialisme). Penerima penghargaan Inggris terkenal di bidang sastra, Booker Prise karena karya sastranya berjudul “Tuhan Hal-Hal Kecil” pada 1997 itu akan tetapi tentu saja mengakui beberapa LSM yang bekerja demi rakyat.

“Tapi, penting untuk menganalisis fenomena LSM dalam konteks politik yang lebih luas,” tulis Arundhati.

Ia lalu mencoba memberi gambaran fenomena LSM yang “meledak” di India pada periode 1980-an hingga 1990-an. Keberadaan LSM disebut bersamaan dengan terbukanya pasar India menuju neoliberalisme. Ketika itu, program pembangunan di India persis seperti program USAID meliputi pembangunan pedesaan, pertanian, lingkungan hidup, kesehatan, demokrasi dan lain sebagainya. Karena negara gagal di bidang ini, maka LSM mengambil peran tersebut dengan dana yang terbatas.

Sebagian besar LSM di India, dibiayai dan dilindungi USAID. Pada gilirannya mereka mendapatkan dana dari pemerintah AS, Bank Dunia, PBB dan beberapa perusahaan multinasional. Kendati mereka bukan agen yang sama, tetapi mereka bagian dari kelompok politik yang sama dan bekerja untuk memastikan proyek neoliberal berjalan di India.

USAID Biayai LSM
Pertanyaannya: mengapa USAID dan lembaga-lembaga Barat mau membiayai LSM? Apakah ini hanya semata-mata semangat “bersedekah”? Arundhati menganggapnya pembiayaan terhadap LSM tidak sekadar itu. Memang LSM terkesan mengisi kekosongan akibat kegagalan negara memenuhi kewajibannya membangun rakyat. Peran LSM sebenarnya untuk meredakan gerakan politik rakyat dan seolah-olah membagikan kebaikan yang seharusnya sudah menjadi hak rakyat.

“LSM sesungguhnya mengubah jiwa rakyat. Mereka mengubah rakyat menjadi ketergantungan dan menumpulkan gerakan perlawanan rakyat. LSM pada akhirnya semacam fasilitator,” demikian Arundhati.

Selanjutnya, dalam jangka panjang, LSM bertanggung jawab terhadap penyandang dana mereka. Bukan kepada rakyat, tempat mereka bekerja. Dengan demikian, LSM akan mewabah ketika penghancuran akibat neoliberalisme terus membesar dan meluas. Fenomena ini sama persis dengan fenomena ketika AS bersiap menyerang sebuah negara dan sekaligus menyiapkan LSM untuk masuk serta membersihkan kehancuran, kata Arundhati.

Untuk memastikan pendanaan dan kegiatan mereka dalam jangka panjang, serta agar pemerintah di negara tersebut menerima mereka, LSM mesti menyajikan pekerjaan mereka secara dangkal. Artinya, kata Arundhati, kerangka kerja LSM itu sama sekali tercerabut dari konteks politik dan historis rakyat. Seperti yang sudah disebutkan, membicarakan konteks politik dan sejarah tidaklah menyenangkan, apalagi membicarakan imperialisme dan kapitalisme.

Jauh sebelum Arundhati, fenomena LSM sudah diteliti dan diamati James Petras, profesor emeritus dari Universitas Binghamton, New York. Dalam tulisannya Imperialism and NGOs in Latin America yang terbit pada 1997, Petras menyebutkan, fenomena LSM itu berawal dari kelas penguasa pada 1980-an yang melihat sistem neoliberal justru memicu ketidakpuasan masyarakat atas ketidakadilan sosial. Mereka karena itu mulai mempromosikan dan membiayai strategi organisasi “akar rumput” untuk meredam potensi konflik sosial. Strategi tersebut semacam, “bantalan” sosial untuk meredam gerakan rakyat, kata Petras.

Padahal, organisasi-organisasi yang muncul itu mendapat pembiayaan dan bergantung sepenuhnya kepada neoliberalisme. Organisasi-organisasi ini pada 1990-an disebut sebagai organisasi non-pemerintah atau LSM. Pada waktu itu jumlahnya ribuan dengan jumlah dana yang mencapai sekitar US$ 4 miliar di seluruh dunia. Dengan kegiatan kemanusiaan, bahkan di masa kediktatoran neoliberal merajalela di Amerika Latin, LSM memberi bantuan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia dan mengecam tindakan pemerintah. Karena itu, citra LSM menjadi positif di masyarakat, bahkan untuk kalangan “Kiri”. Mereka karenanya dianggap bagian dari kelompok progresif.

Biar bagaimanapun, kata Petras, batas-batas kampanye hak asasi manusia LSM akhirnya menjadi jelas. Mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim diktator di sebuah negara, tapi bungkam ketika AS bersama sekutunya menginvasi sebuah negara. Itu karena mereka bergantung kepada pendonor yang kebanyakan berasal dari AS dan Eropa. Hal lainnya adalah LSM tidak serius dalam menghubungkan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari agenda neoliberalisme. “Jelas, karena pendanaan mereka sehingga kritik dan kampanye hak asasi manusia mereka menjadi terbatas,” kata Petras.

Petras menuturkan, meningkatnya perlawanan terhadap neoliberalisme pada periode awal 1980-an, pemerintah AS dan Eropa bersama Bank Dunia justru meningkatkan pembiayaan mereka terhadap LSM. Jadi, ada hubungan langsung antara meningkatnya gerakan sosial menentang neoliberalisme dan upaya untuk meredam gerakan tersebut dengan menciptakan bentuk alternatif “gerakan sosial” melalui LSM. Titik temu LSM dan Bank Dunia sesungguhnya perlawanan mereka terhadap “negara”.

Dari satu aspek, misalnya, LSM bersama kelompok “kiri” mengkritik kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya kepada rakyat. Dari sini LSM dipersepsikan sebagai “pembela” masyarakat. Di sisi lain, Bank Dunia mengkritik negara atas nama pasar karena terlalu ikut campur dalam urusan ekonomi masyarakat. Pada kenyataannya, rezim neoliberal mengooptasi dan mendorong LSM untuk merusak negara kesejahteraan dengan memberi bantuan “kecil” kepada korban perusahaan-perusahaan multinasional.

“LSM didanai untuk membantu rakyat bertahan hidup melalui pendidikan populer, pelatihan kerja dan untuk melemahkan gerakan rakyat melawan ketidakadilan sosial,” kata Petras.

Oleh karena itu, sudah waktunya kita menunjukkan solidaritas bagi rakyat. Bukan malah berkolaborasi dengan neoliberalisme. Fokus utama bukan pada sumbangan yang hanya bisa membantu kelompok kecil dalam waktu yang terbatas, tapi berjuang bersama-sama untuk perbaikan kolektif. Karena penguasa “boneka” akan melakukan banyak hal untuk menjaga stabilitas neoliberal di masa-masa mendatang. [Kristian Ginting]