Menelusuri Jejak John Lie, Sang Pahlawan Berdarah Tionghoa

Koran Sulindo – Di tengah perjalanan panjang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ada nama-nama yang tidak hanya berdedikasi penuh tetapi juga penuh keberanian dalam mengatasi rintangan berat.

Salah satunya adalah John Lie Tjeng Tjoan, seorang pejuang berdarah Tionghoa yang mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. Dari seorang anak pengusaha transportasi di pesisir Manado, John Lie bertransformasi menjadi sosok penting dalam sejarah militer Indonesia, terutama di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Meskipun sering menghadapi tantangan, seperti blokade ketat Belanda dan kondisi perairan yang berbahaya, John Lie tidak pernah menyerah. Ia bahkan nekat melakukan penyelundupan senjata melalui laut demi mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tak heran, kisah hidupnya pun diwarnai dengan banyak aksi heroik, mulai dari membawa senjata hingga menghadapi patroli Belanda yang terus mengincarnya. Sebagai pengabdian dan wujud cintanya pada Tanah Air, John Lie berdiri sebagai simbol nasionalisme tanpa batas. Artikel ini akan mengupas perjalanan hidup dan kontribusi John Lie bagi kemerdekaan Indonesia, dari awal perjuangan hingga ia dikenang sebagai pahlawan nasional.

Melansir laman resmi kemdikbud, John Lie Tjeng Tjoan atau lebih dikenal sebagai John Lie, adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang memiliki peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Lahir pada 9 Maret 1911 di Kanaka, Manado, ia adalah sosok pejuang berdarah Tionghoa yang sejak kecil tumbuh di lingkungan masyarakat pesisir yang egaliter. John Lie adalah anak kedua dari delapan bersaudara, dibesarkan oleh ayahnya, Lie Kae Tae, seorang pengusaha transportasi, dan ibunya, Oei Tjeng Nie Nio.

Dari kecil, John Lie sudah tertarik pada dunia pelayaran. Cita-citanya menjadi pelaut dimulai sejak melihat kapal milik Angkatan Laut Belanda di dermaga Manado, yang akhirnya mendorongnya untuk bertekad menjadi kapten kapal.

Pada 1928, ia pindah ke Batavia dan memulai perjalanan karir sebagai buruh pelabuhan di Tanjung Priok, lalu belajar navigasi, hingga akhirnya bekerja sebagai kru kapal di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).

Pengalaman ini memperkenalkannya pada luasnya perairan Nusantara, serta menjadi bekal penting ketika kelak ia berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Berjuang di Laut untuk Kemerdekaan Indonesia

Setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, John Lie memutuskan untuk pulang dan bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 1946.

Dengan pangkat awal Kelasi III, ia bertugas di Cilacap untuk misi pembersihan ranjau laut dan menjadi pengajar nautika. Tak lama kemudian, karena prestasinya, ia dianugerahi pangkat Mayor Laut.

Nama John Lie semakin dikenal ketika ia menjalankan misi penyelundupan senjata untuk para pejuang Indonesia. Pada saat itu, Belanda menerapkan blokade ekonomi, membuat kebutuhan senjata semakin mendesak.

John Lie yang saat itu berada di Singapura sejak 1947, ditunjuk sebagai komandan kapal cepat untuk menyelundupkan senjata dan keperluan militer lainnya ke Indonesia. Kapal yang ia kendalikan diberi nama “The Outlaw,” dan menjadi terkenal karena sering kali berhasil menembus blokade Belanda.

Misinya tak hanya berfokus pada penyelundupan senjata. John Lie juga mengangkut hasil bumi dari Indonesia untuk ditukarkan dengan senjata dan keperluan lainnya di luar negeri.

Tindakan berani ini berhasil dilakukan meskipun Belanda terus memperketat pengawasan laut. Dalam salah satu aksinya, ia bahkan pernah ditangkap karena membawa drum minyak kelapa sawit, namun akhirnya dibebaskan oleh pengadilan Singapura.

Keberhasilannya menembus blokade Belanda sempat diliput oleh majalah Life dengan judul “Guns- and Bibles- are Smuggled to Indonesia,” yang terbit pada Oktober 1949.

Melawan Pemberontakan dan Mengabdi untuk Negara

Usai perang kemerdekaan, John Lie tetap mengabdikan dirinya kepada Indonesia. Ia terlibat dalam operasi untuk menumpas berbagai pemberontakan di Indonesia pada dekade 1950-an, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi.

Dalam penumpasan RMS, misalnya, ia memimpin kapal KRI Radjawali dan berperan dalam operasi penyerbuan Kota Ambon hingga berhasil dikuasai.

Selain mengabdi di medan perang, John Lie juga memegang beberapa jabatan strategis dalam angkatan laut, seperti Kepala Dinas Angkutan dan Logistik ALRI serta anggota DPR-Gotong Royong. Sepanjang kariernya, ia terus menunjukkan dedikasi dan keteguhannya dalam mengabdi untuk bangsa dan negara.

Penghargaan dan Pengakuan

John Lie pensiun dari ALRI pada 1967 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Ia kemudian menjalani masa pensiun dengan kegiatan sosial dan usaha. Di masa Orde Baru, ia mengubah namanya menjadi Jahja Daniel Dharma sebagai bentuk asimilasi dengan masyarakat Indonesia.

John Lie meninggal pada usia 77 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pengorbanan dan dedikasinya bagi kemerdekaan Indonesia diakui dengan berbagai penghargaan, termasuk Bintang Mahaputera Utama pada 10 November 1995. Pada 9 November 2009, pemerintah Indonesia menetapkan John Lie sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, menjadikannya keturunan Tionghoa pertama yang memperoleh gelar ini.

Dengan segala dedikasi dan perjuangannya, John Lie adalah simbol keberanian, ketulusan, dan semangat nasionalisme yang patut dikenang sepanjang masa. [UN]