Koran Sulindo – Belakangan ini sempat terjadi perdebatan soal Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Bukan hanya karena substansi RUU yang banyak keliru, juga perdebatan mengenai pentingnya melarang berbagai macam paham.
PDI Perjuangan, misalnya, menyatakan, RUU HIP seharusnya tidak hanya memuat ketentuan yang melarang penyebaran komunisme, tapi juga kapitalisme-liberalisme serta paham ekstrem keagamaan. Pasalnya, liberalisme dan paham ekstrem atau radikalisme keagamaan dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Untuk beberapa hal PDI Perjuangan tampaknya benar. Terlebih partai ini mendaku sebagai pewaris ajaran Bung Karno. Dalam soal kapitalisme, misalnya, Bung Karno dalam Soekarno oleh… Soekarno Sendiri menuliskan, nasionalisme dalam konsepsi Bung Karno tidak ditujukan untuk memusuhi bangsa atau ras lain, melainkan memusuhi sistem penindasan dari kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.
Bahkan Bung Karno juga memastikan tidak hanya memusuhi kapitalisme asing, juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Untuk mengetahui lebih mendalam pemikirannya ini, kita tentu saja perlu mempelajarinya dari tulisan Bung Karno berjudul Kapitalisme Bangsa Sendiri? yang dimuat Pikiran Rakyat pada 1932.
Dalam tulisannya itu, Soekarno menuturkan, kapitalisme adalah ajaran pergaulan hidup yang timbul daripada cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi yang oleh karenanya menjadi sebabnya meerwaarde (nilai lebih) jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie (akumulasi modal), kapitaalconcentratie, kapitaalcentralisatie dan industrieel reserve-armee.
Kapitalisme, kata Bung Karno, mempunyai arah Verelendung yaitu menyebarkan kesengsaraan. “Itulah kapitalisme – yang praktiknya kita bisa lihat di seluruh dunia,” kata Bung Karno. Itulah kapitalisme yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, tarif yang berkompetisi, peperangan, kematian – pendek kata menyebabkan rusaknya susunan dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan imperialisme modern yang membikn kita dan hampir seluruh bangsa berwarna menjadi rakyat yang cilaka.
Dengan pengertian itu, maka wajar jika Pancasila anti-terhadap kapitalisme-liberalisme. Menurut Soekarno, dengan pengertian kapitalisme semacam itu sudah barang tentu kaum marhaen harus memusuhi kapitalisme. Termasuk kapitalisme bangsa sendiri. Akan tetapi pada masa penjajahan yang menjadi pokok dalam perjuangan adalah perjuangan nasional.
Menurut Soekarno, perjuangan nasional menjadi utama karena keinsafan dan perasaan nasional adalah keinsafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial. Lalu bagaimana pula dengan komunisme, benarkah Pancasila anti-terhadap paham tersebut? Bung Karno sejak masa mudanya telah mempelajari Marxisme. Juga mencoba melihat hubungannya dengan Islamisme dan nasionalisme.
Dalam tulisannya berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang dimuat dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Soekarno muda mencoba melihat saling keterkaitan di antara paham-paham tersebut. Khususnya di masa jajahan, ia melihat api atau nyawa pergerakan rakyat Indonesia dengan tujuan yang sama ada 3 sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.
Dengan adanya 3 haluan ini, maka dalam sebuah negeri jajahan, kata Bung Karno, tidak ada gunanya untuk saling berseteru dan bisa saling bekerja sama menjadi suatu gelombang yang maha-besar dan maha-kuat yang sulit untuk dibendung gelombangnya. Dan itulah yang menjadi kewajiban semua orang untuk memikulnya.
Soekarno dalam tulisannya bermaksud membuktikan bahwa ketiga golongan itu bisa mencapai persatuan. Nasionalis sama sekali tidak punya halangan untuk bekerja sama dengan golongan Islamis dan juga kalangan Marxis. Ia pun merujuk kepada situasi Tiongkok di mana kalangan nasionalis juga bekerja sama dengan kalangan komunis melawan imperialisme.
Dengan kerja sama itu, kata Bung Karno, tentu saja tidak bermaksud agar kaum nasionalis itu berubah pahamnya menjadi Islamis atau Marxis. Juga bukan bermaksud meminta kaum Marxis dan Islamis itu untuk berubah paham menjadi nasionalis. Akan tetapi yang terutama adalah persatuan untuk ketiga golongan itu.
Nasionalisme Bung Karno
Dalam Soekarno oleh…Soekarno Sendiri, Bung Karno juga menyatakan, teori Marxis merupakan pisau bedah yang tajam untuk menelaah aneka problem dalam masyarakat terjajah. “…teori Marxisme…adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain,” kata Bung Karno.
Sikap Bung Karno sejak 1920-an itu tetap konsisten ketika memasuki periode 1960-an. Dalam sebuah tulisan berjudul Ini Pesan Bung Karno untuk Mereka Yang Anti-Komunis yang dimuat berdikarionline.com menyuplik beberapa pidato-pidato Bung Karno tentang komunisme. Semisal, tentang komunisto-phobia. Bung Karno mengatakan, beberapa tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, terjadilah di luar negeri – kemudian juga terjadi di Indonesia apa yang dinamakan sebagai Perang Dingin.
Perang Dingin, kata Bung Karno, memuncak kira-kira 1950 dan malah nyaris memuncak menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan progresif di berbagai negara. Terutama setelah Perang Dunia II, aliran-aliran progresif di berbagai negara mulai tumbuh pesat. Tetapi, pada kira-kira 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progresif mudah sekali dicap “komunis”.
“Segala apa saja yang menuju kepada angan-angan baru dicap “Komunis”. Anti kolonialisme – Komunis. Anti-exploitation de l’homme par l’homme – Komunis. Anti feodalisme-Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konsekuen revolusioner – Komunis. Ini banyak sekali mempengaruhi pikiran orang-orang, terutama sekali pikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya,” kata Bung Karno.
Selain itu, berdikarionline.com juga menyuplik pidato Bung Karno di Sidang Paripurna Kabinet Dwikora, di Istana Bogor, 6 November 1965 tentang Pancasila Itu Kiri. Berikut ini cuplikan pidatonya:
“Oleh karena itu maka saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti exploitation de I’homme par I’homme (anti-penghisapan manusia atas manusia). Pancasila adalah anti exploitation de nation par nation (penindasan bangsa atas bangsa). Karena itulah Pancasila kiri.”
Dari semua jejaknya ini, sebagai penggali Pancasila, Bung Karno tidak pernah membentur-benturkan Pancasila dengan paham-paham lain. Dalam tulisannya berjudul Indonesianisme dan Pan Asiatisme, Bung Karno dengan tegas menyatakan, nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit; bukan timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar – nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah jingo-nationalism atau chauvinisme dan bukanlah suatu tiruan daripada nasionalisme Barat.
Seperti yang sudah disinggung Bung Karno dalam Kapitalisme Bangsa Sendiri? ia memastikan sebagai seorang nasionalis, sosialis dan juga republiken. Sebagai seorang nasionalis maka ia juga seorang sosio-nasionalis yaitu seorang nasionalis yang mau memperbaiki masyarakat yang dus anti-segala paham yang mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat. Dari sini jelas, musuh Pancasila adalah paham-paham yang membawa kesengsaraan terhadap rakyat. [Kristian Ginting]