Koran Sulindo – Dolar Amerika Serikat (AS) menghegemoni. Demikian kesimpulan yang bisa kita ambil melihat fenomena terpuruknya sejumlah mata uang negara-negara dengan pasar berkembang (emerging market) ketika menghadapi dolar. Fakta itu lantas mengukuhkan dolar sebagai mata uang yang paling berkuasa di muka bumi.
Di samping Argentina, Turki dan Venezuela, Financial Times melaporkan, krisis nilai tukar mata uang itu kemungkinan akan menyebar ke Sri Lanka, Afrika Selatan, Pakistan, Mesir dan Ukraina. Dalam setahun ke depan 30 negara dengan ekonomi berkembang rentan terhadap krisis nilai tukar mata uang itu. Penyebaran itu antara lain karena krisis kurs mata uang menghantam Argentina dan Turki.
Berdasarkan sebuah survei berupa peringatan dini, Sri Lanka disebut yang paling rentan mengalami krisis nilai tukar mata uang. Lalu, menyusul Afrika Selatan dan Argentina. Sri Lanka paling rentan karena memiliki keuangan fiskal yang lemah dan rapuh terhadap faktor eksternal. Pasalnya, cadangan devisa negara tersebut hanya cukup 5 bulan untuk menutupi utang luar negeri jangka pendek dan pembayaran transaksi impor yang menggunakan dolar.
Kebutuhan negara ini akan dolar cukup besar untuk menutupi kewajibannya. Juga karena situasi politik Sri Lanka yang tidak stabil. Laporan ini muncul di tengah kekhawatiran tentang merosotnya nilai tukar mata uang Argentina dan Turki secara tajam. Juga pelemahan rupee India yang menjadi rekor dalam sejarah dan tekanan terhadap rupiah Indonesia.
Sementara 8 negara yaitu Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia dan Thailand dinilai masih mampu menghadapi fenomena penurunan nilai mata uang itu. Pertanyaannya: apa sesungguhnya yang terjadi dengan terpuruknya nilai mata uang negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia itu?
Dalam Washington’s Silent Weapon for Not-so-quiet Wars. “A World Full of Dollars”, A 2019 Global Economic Crisis yang dimuat Global Research pada akhir Agustus lalu menjelaskan, “senjata” Washington ketika ingin memulai “peperangan” tak lagi bergantung kepada Pentagon atau senjata konvensional. “Senjata” pemusnah massal yang mematikan itu benar-benar “diam”. Tak bersuara: kemampuan AS untuk mengendalikan pasokan uang global dalam bentuk dolar.
Washington merancangnya bersama dengan Federal Reserve (swasta) dan kelompok keuangan Wall Street dengan berkoordinasi dengan Departemen Keuangan AS. Konsep ini dikembangkan selama beberapa dekade terakhir terutama sejak Nixon memisahkan dolar dari emas pada Agustus 1971. Dolar hari ini menjadi senjata keuangan yang efektif untuk menekan musuh AS.
Sekitar satu dekade yang lalu atau sekitar 2008, Menteri Keuangan AS Henry Paulson yang merupakan mantan bankir Wall Street dengan sengaja menetapkan kebijakan dengan mengizinkan kemudahan pasokan dolar ke pasar global. Bahkan pada waktu itu The Fed menggelontorkan dana talangan ratusan miliar dolar kepada bank-bank sentral Eropa – sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya agar bank-bank sentral Uni Eropa itu tidak kekurangan dolar.
Hegemoni Dolar
Sejak itu, dunia menjadi penuh dengan dolar. Pasokan dolar dengan mudah masuk ke sistem keuangan global dan telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. The Institute for International Finance (IIF) berbasis di Washington memperkirakan utang pemerintah, rumah tangga, perusahaan dan sektor keuangan di 30 negara berkembang terbesar naik menjadi 211 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada awal 2018. Sebelumnya hanya 143 persen pada akhir 2008.
Data IIF juga menunjukkan bagaimana mata uang Argentina, Turki hingga di Asia merosot disebabkan jebakan utang. Total utang negara-negara yang disebut sebagai emerging market dalam berbagai bentuk mata uang – tidak termasuk Tiongkok – naik dua kali lipat dari US$ 15 triliun pada 2007 menjadi US$ 27 triliun pada akhir 2017. Sementara utang Tiongkok pada periode yang sama menurut IIF meningkat dari US$ 6 triliun menjadi US$ 36 triliun.
Kemudian, utang kelompok negara-negara emerging market dalam bentuk dolar meningkat menjadi US$ 6,4 triliun dari US$ 2,8 triliun pada 2007. Perusahaan-perusahaan Turki berutang hampir mencapai US$ 300 miliar pada saat ini. Sebagian besar utang itu dalam bentuk dolar. Pasar negara berkembang lebih menyukai dolar karena beberapa alasan. Selama ekonomi negara-negara berkembang itu tumbuh dan menghasilkan dolar dari ekspor, maka utang dapat dikelola. Namun, semuanya itu mulai berubah.
Perubahan itu bersumber dari bank sentral paling politis di dunia: Federal Reserve dan Gubernur Bank Sentral AS yang dijabat Jerome Powell mantan mitra di Carlyle Group. Di sana pula Powell membangun kekayaannya yang mencapai jutaan dolar itu. Dengan dalih ekonomi dalam negeri AS mulai bangkit dan menguat sehingga mereka mampu mengembalikan suku bunga dolar AS ke “normal”. The Fed telah menggeser likuiditas dolar ke ekonomi global.
Powell bersama The Fed tahu betul apa yang mereka lakukan. Mereka menaikkan nilai dolar untuk mempercepat krisis ekonomi baru di seluruh dunia. Dan saat ini krisis itu telah muncul terutama di negara-negara seperti Iran, Turki, Rusia dan Tiongkok. Untuk menghadapi “senjata” Washington itu, Rusia, Tiongkok, Iran dan negara-negara lain mulai beralih meninggalkan dolar.
Akan tetapi, itu tidak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, cadangan devisa negara-negara dunia 63 persen menggunakan dolar. Lalu, transaksi perdagangan global setiap harinya hampir 88 persen menggunakan dolar. Juga perdagangan minyak, emas dan perdagangan komoditas umumnya menggunakan dolar AS. Sejak krisis ekonomi menghantam Yunani pada 2011, euro belum menjadi saingan serius bagi dolar AS. Cadangan devisa dalam bentuk euro di dunia ini hanya 20 persen.
Setelah semua penjelasan itu, dolar hari ini menguat 7 persen terhadap semua mata uang di dunia. Dengan mengkombinasikan strategi ini, AS dengan sengaja memulai perang dagang, provokasi politik, pemutusan perundingan nuklir secara sepihak dengan Iran, sanksi baru terhadap Rusia, Korea Utara, Venezuela dan memprovokasi Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peran dolar sebagai mata uang yang menghegemoni dunia, AS kini mengubahnya menjadi “senjata” pemusnah yang benar-benar efektif. Dan akankah negara-negara yang dianggap musuh mampu menghadapinya? [Kristian Ginting]