Ratusan Burung Mati Berjatuhan di Ciirebon-(sumber foto: medcom.id)

Beberapa waktu lalu, masyarakat khususnya di Bali dan Cirebon, digegerkan dengan fenomena langka, ratusan burung pipit ditemukan mati mendadak. Di Bali misalnya, ribuan burung pipit ditemukan mati di kuburan atau setra Banjar Sema, Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis (9/9).

Kematian burung pipit tersebut lantas membuat geger wilayah Bali. Pasalnya, burung yang biasa bertengger di dua batang pohon asam di kuburan itu mati secara mendadak. Kepala Bidang Kesehatan Hewan Kabupaten Gianyar Made Santiarka menyebut, ini merupakan fenomena alam.

Burung-burung tersebut berjatuhan diduga karena tak kuat melawan cuaca ekstrim saat bertengger di pohon asam. Cuaca yang ekstrim berupa hujan dan angin kencang ini terjadi karena masa peralihan musim kemarau menuju musim hujan.

“Karena hujannya terlalu lebat, kan jelas ada tekanan udara rendah. Dengan rendahnya tekanan udara ini, burungnya enggan lari,”kata dia. Karena hal itu, kata dia, maka si burung lebih memilih bertahan, sehingga mereka basah kuyup. Kondisi ini menyebabkan si burung sakit dan mati. “Memang kekuatan burung berbeda dengan kekuatan lainnya,”kata dia.

Sementara, Kasubag Tata Usaha Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali Pramono Meruanto mengungkap hal lain atas kematian burung itu. Penyebab ribuan burung pipit berjatuhan adalah karena keracunan pestisida. Hal itu diketahui setelah tim dari BKSDA melakukan penyelidikan dan mengetahui perilaku masyarakat di sekitar Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.

Warga disebut menggunakan pestisida non-alami. Saat mencari makan, burung pipit pasti bergerombol dari ratusan sampai ribuan ekor. Kemudian, burung pipit itu mencari makan di tanaman padi yang baru tumbuh, yang mungkin saja baru selesai disemprot pestisida. “Jadi dugaan saya adalah burung-burung tersebut keracunan dari pestisida tersebut,”tutur dia.

Sementara di wilayah Cirebon, Jawa Barat, ratusan burung juga mati mendadak. Fenomena itu pun membuat jagad maya ramai berspekulasi. Ratusan burung pipit ditemukan mati mendadak di dalam lingkungan Kantor Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/9).

Fenomena burung pipit mati ini baru kali pertama terjadi di Kota Cirebon. Kematian ratusan burung itu diduga kuat karena perubahan iklim. Burung-burung tersebut diduga tidak kuat dengan perubahan dari cuaca yang panas ke kondisi dingin dalam waktu singkat.

Atas hal fenomena itu, masing-masing pemerintah daerah setempat telah mengambil tindakan baik sebagai langkah pertama yaitu mengirimkan sampel beberapa ekor burung mati untuk di analisis di laboratorium veteriner (penyakit hewan).

Tim Medis Veteriner Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKPPP) Kota Cirebon misalnya langsung melakukan pemeriksaan sampel dari burung pipit yang mati mendadak itu. Begitu juga, petugas setempat di Bali mengambil sampel bangkai dan kotoran burung pipit untuk diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasar.

Langkah itu diambil karena bertujuan untuk mengetahui apakah burung-burung mati tersebut terpapar penyakit yang bersifat zoonotik atau penyakit unggas lain yang penyebarannya sangat cepat.

Seperti diketahui penyakit flu burung (avian influenza) bersifat zoonotik, yaitu termasuk penyakit menular yang bisa ditularkan dari satwa dalam hal ini burung kepada manusia atau sebaliknya. Sedangkan penyakit ND (Newcastle Disease) atau dikenal sebagai penyakit tetelo adalah penyakit unggas yang sangat cepat penyebarannya dan sangat fatal bagi ternak unggas tetapi tidak menular kepada manusia.

Berdasarkan hasil uji laboratorium yang diinisiasi pemerintah daerah setempat, terbukti bahwa burung pipit tersebut bukan mati karena penyakit infeksius seperti flu burung. Peneliti zoologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Malia Prawiradilaga mengatakan kebenaran dugaan-dugaan tersebut perlu dibuktikan dengan data penelitian. “Salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan adalah meneliti peran burung sebagai bioindikator,”katanya.

Penelitian tersebut hendaknya dilakukan dengan melibatkan berbagai bidang keahlian secara sinergi dan terpadu seperti ornitologi (ahli burung), veteriner, klimatologi (ahli cuaca dan iklim), kimia lingkungan, toksikologi (ahli racun) dan bidang lain yang sesuai. Dengan demikian, diharapkan hasilnya akan mengungkap secara lebih akurat penyebab kematian burung pipit tersebut.

Bioindikator 

Berdasarkan Wikipedia, bioindikator merupakan setiap spesies atau sekelompok spesies yang fungsi, populasi, atau statusnya dapat mengungkapkan status kualitatif lingkungan karena keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai suatu petunjuk.

Copepoda dan krustasea air kecil lainnya yang terdapat di berbagai perairan dapat dipantau untuk mengetahui perubahan biokimia, fisiologis, atau perilaku yang mungkin mengindikasikan masalah dalam ekosistem mereka.

Menurut Dewi yang juga merupakan penemu spesies burung Myzomela Irianae dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini di Indonesia penelitian mengenai burung sebagai bioindikator lingkungan belum mendapat perhatian atau bisa disebut sangat langka.

Penelitian yang tercatat pernah dilakukan adalah kandungan merkuri pada bulu burung liar. Pada 1997, J Burges dan M Goschfeld misalnya, telah melaporkan hasil penelitian konsentrasi logam berat merkuri dan mangan pada bulu tiga jenis burung air dari Bali dan Sulawesi dalam jurnal Archives of Environmental Contamination and Toxicology. 

Ketiga jenis burung air yang diteliti tersebut adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul perak (Egretta intermedia) dan kuntul kecil (Egretta garzetta). Kemudian, R Utina dan AS Katili pada 2014 mempublikasikan hasil analisis residu merkuri pada organ tubuh dan bulu empat jenis burung air yang mencari makan di pantai utara Gorontalo, Sulawesi Utara dalam International Journal of Waste Resources.

Keempat jenis burung air tersebut terdiri dari kokokan laut (Butorides striatus), trinil kaki kuning (Tringa flavipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos) dan cerek besar (Pluvialis squatarola).

Penelitian terbaru kandungan merkuri pada bulu burung ordo Passeriformes dilaporkan oleh S Dzieski, DM Prawiradilaga dan R Razavi dalam konferensi ahli burung di Amerika Utara (North American Ornithologists Conference) pada 2020.

Burung ordo Passeriformes tersebut berasal dari Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Adapun jenis burungnya terdiri dari raja udang meninting (Alcedo meninting), raja udang punggung merah (Ceyx rufidorsa), kehicap ranting (Hypothymis azurea), pelanduk Buettikoferi (Pellorneum buettikoferi), pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum), tukik tikus (Sasia abnormis) dan burung madu kelapa (Anthreptes malacensis).

Sementara, peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova dan Triyoni Purbonegoro dalam risetnya terkait Konsep Bioindikator Untuk Penanda Degradasi Lingkungan di Indonesia mengatakan, dalam kegiatan pemantauan lingkungan dan upaya mengetahui tingkat pencemaran suatu lingkungan, pengaruh toksisitas suatu polutan terhadap organisme dan ekosistem dapat diketahui dari bioindikator.

Biota biasanya memiliki sensitivitas terhadap kondisi ekosistem sehingga bisa berperan sebagai bioindikator atau indikator biologi yang dapat mencerminkan kualitas suatu ekosistem atau lingkungan dengan mudah.

Beberapa jenis ikan dan moluska, ekinodermata, krustasea dan cacing umum digunakan sebagai bioindikator. Bioindikator akan menyediakan informasi penting tentang jumlah bahan pencemar yang terakumulasi dalam organisme dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dengan demikian, bioindikator dapat merefleksikan kondisi lokal suatu ekosistem atau kondisi lingkungan termasuk jika terjadi degradasi lingkungan, sehingga dapat menjadi indikator kualitas lingkungan.

Sesungguhnya, masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan lingkungan dengan memanfaatkan keberadaan biota termasuk burung liar seperti burung pipit menjadi bioindikator.

Fenomena kematian massal burung pipit di Kabupaten Gianyar di Bali, dan Kota Cirebon di Jawa Barat itu diharapkan bisa menjadi pemicu bagi semua pihak untuk meningkatkan perhatian dan memelihara lingkungan dengan dengan baik. [Wis]