Batalyon Tempur Pendarat (BTP)-5 mendarat di Alor

Koran Sulindo – Muncul tiba-tiba dari balik perbukitan rombongan pesawat angkut B-26 dan AC-47 itu sebelumnya menyusuri Tanjung Fukutama dan langsung menuju jantung kota Dili. Pintu di kiri-kanan pesawat-pesawat itu sudah terbuka.

Bel segera berdering sepanjang lima detik ketika lampu penerjunan berubah dari lampu kuning menjadi hijau. Dalam beberapa hitungan menjelang jam 05.45, jumping master mulai berteriak. “Penerjun siap?” Perintah kemudian berlanjut dengan, “Sedia di pintu!” yang disusul teriakan lebih kerasa. “Go!”

Mengambil posisi sejajar dengan jalan Dr Antonio de Carvalho di pusat kota, penerjun pertama meloncat dari perut pesawat, menyusul kemudian ratusan lainnya seperti ditumpahkan. Hanya dalam hitungan menit, ratusan payung berwarna hijau zaitun itu segera memenuhi langit Kota Dili.

Sayangnya, musuh sudah siap termasuk mematikan listik mematikan listrik sejak beberapa jam sebelumnya.

Kehilangan unsur pendadakan, mereka langsung diberondong tembakan sporadis dari bawah. Tak mau mati konyol, unit-unit Kopassanda dan Kostrad itu segera balas menembak. Pagi yang biasanya lengang segera pecah menjadi pertempuran sengit. Peluru api yang dilepas dari bawah seperti kunang-kunang memenuhi langit.

Bagi pasukan penyerang, penerjunan itu saja sudah menjadi pertaruhan hidup mati karena tak semua mendarat dengan selamat. Beberapa mendarat di atap atau tersangkut pohon, sedangkan yang lebih naas mendarat di lapangan terbuka di tengah kota dan langsung menjadi sasaran empuk. Minim waktu untuk konsolidasi, mereka langsung terlibat baku tembak melawan tentara baret coklat bekas serdadu elit Portugis, Tropaz.

Untungnya meski mengetahui kedatangan pasukan penyerang, Fretelin tetap saja kocar-kacir karena tak menyangka serbuan datang dari udara. Mereka memprediksi serbuan akan datang dari perbatasan. Penerjunan pasukan para di atas kota itu merupakan pembuka Operasi Seroja.

Enam jam bertempur, Dili akhirnya benar-benar dikuasai para penyerang. Hari itu penanggalan menunjuk Minggu, 7 Desember 1975. Fretelin mundur ke luar kota.

Beberapa jam sebelum tentara pertama melompat dari pesawat, di laut pantai Dili kapal-kapal yang tergabung dalam Komando Tugas Amfibi TNI AL mulai mendekati pantai ketika jam menunjuk pukul 02.00. Sejam kemudian listrik di seluruh kota padam tiba-tiba dipadamkan. Musuh sadar penyerang telah datang, bagi penyerbu unsur kejut sudah menghilang.

Tanpa stasiun radar, pada jarak 10 km dari darat mestinya kapal-kapal perang itu tak bakalan terlihat mata telanjang. Satu-satunya kemungkinan, radar kapal perang Portugis yang membocorkan gerakan tersebut. Rencana harus diubah.

Semula, dalam rapat gabungan di Kupang 4 Desember disepakati kapal-kapal perang tak akan melakukan penembakan dari laut. Namun dengan hilangnya elemen kejut, kapal-kapal segera diperintahkan memuntahkan peluru ke darat sebagai BTK atau bantuan tembakkan kapal. Selain berniat membuat ciut nyali lawan moril pasukan pendarat bisa digenjot.

Begitulah yang terjadi, kanon 57 mm milik KRI Ratulangi langsung menyalak, juga KRI Barkuda dan KRI Martadinata menggunakan kanon 76 mm. Juga KRI Jaya Wijaya dengan 4 kanon laras ganda Boforsnya. Meriam-meriam itu kompak mengincar daerah pantai yang akan menjadi lokasi pendaratan sekaligus menyasar markas musuh.

Dihujani kanon dari laut, tak hanya penduduk yang kalang kabut. Tembakan-tembakan itu juga mencemaskan pengungsi Portugis di kampong Makadade di Pulau Atauro. Dua pleton tentara elite dan warga Portugal yang tengah menunggu kapal penjemput buru-buru beranjak ke dermaga dan langsung diangkut menuju kapal.

Bagi pasukan pendarat, tembakan kanon itu menjadi tengara bagi Batalyon Tempur Pendarat/BTP-5 untuk menyerbu. Mereka dilengkapi tank amfibi PT-76 dan panser amfibi BTR-50.  Pukul 02.08 WITA satuan amfibi pimpinan Kapten Mar Arthur Solang akan didaratkan di muara Sungai Komoro disusul satuan lain pada pukul 03.45 WITA.

Titik pendaratan pasukan induk lalu di geser sejauh tiga kilometer ke pantai di Kampung Alor. Pelabuhan ini baru bisa dikuasai tentara dua hari kemudian.

Dili dipertahankan setidaknya oleh 750 eks tentara Portugal dan 750 wajib milisi yang membentuk bagian paling besar dari seluruh tentara reguler yang berjumlah 2.500 orang. Mereka dipersenjatai dengan baik termasuk dengan senapan otomatis dan senapan mesin ringan. Selain unsur reguler, terdapat cadangan rakyat Timor yang berkekuatan sekitar 15.000 orang.

Pertahanan Fretelin tak bersandar pada kedudukan tetap dan menggunakan pertahanan bergerak. Mereka menggunakan penembak jitu dan mortir untuk mengacaukan posisi tentara Indonesia yang terkurung di dalam kota. Tiga hari setelah penerjunan itu, invasi selanjutnya menyasar kota terbesar kedua, Baucau.

Hingga menjelang akhir tahun sedikiktnya 10.000 hingga 15.000 tentara mendarat di Liquisa dan Maubara.

Mengejar pengunduran diri musuh, pasukan khusus Indonesia bergerak dari Dili ke selatan untuk mengamankan daerah dataran tinggi. Pada tanggal 26 Desember, mereka merebut kampung Remexio, 10 kilometer di selatan Dili. Tiga hari kemudian giliran Alieu yang menjadi markas besar Fretilin juga direbut.

Meski mencoba melancarkan serangan balasan pada 31 Desember, pasukan Fretilin dipukul mundur dan dipaksa menarik diri ke selatan ke Aileu. Belakangan, kejatuhan Aileu benar-benar meruntuhkan mental pasukan Fretilin, mereka harus mulai menerima kenyataan bahwa mereka kekurangan personel untuk menghambat pasukan Indonesia.

Hingga 20 Januari 1976, kekuatan militer Indonesia di Timor Timur berjumlah sekitar 24.000 personil. Dari jumlah itu, 19.000 orang terlibat dalam operasi tempur sementara sisanya segera mengisi infrastruktur administratif dan territorial yang segera disusun di Timor.

Hingga pekan kedua dan ketiga Januari, dari evaluasi perkembangan diputuskan Indonesia membutuhkan personel dalam jumlah besar untuk ditempatkan. Belakangan disadari, menimbang ukuran kekuatan operasi penaklukan ternyata berlangsung lebih lambat dari harapan. Operasi pendudukan terhambat masalah-masalah logistik dan dipersulit buruknya medan dan cuaca.

Sepanjang tahun 1976 tentara Indonesia berusaha mendesak Fretelin dengan masuk lebih dalam ke wilayah pedalaman. Strategi ini tidak sepenuhnya berhasil dan tentara mendapatkan perlawanan keras. Salah satu contohnya adalah ketika mencoba menaklukan Suai yang cuma berjarak tiga kilometer dari pantai. Tentara butuh waktu hingga empat bulan dan harus mengerahkan lebih dari 3.000 personel. Ketika berkunjung ke Dili pada bulan bulan Agustus 1976, Soeharto bahkan mengakui bahwa Fretilin, “masih memiliki beberapa kekuatan di sana-sini.”

Hingga akhir tahun 1976 dan 1977 tentara Indonesia masih harus menghadapi pertempuran-pertempuran sporadis yang masih terus terjadi hingga beberapa tahun berikutnya. Pada bulan April 1978, perancang strategi di Jakarta mulai merencanakan serangan besar baru yang diberi sandi Operasi Pamungkas. Di tahun itu, tentara Indonesia menempatkan 22 Batalyon Infanteri dan Korps Marinir dengan total jumlah mencapai 33.000 personil, terbesar sejak Juli 1976.

Operasi Pamungkas ditujukan untuk melibas Fretilin untuk memenuhi strategi politik memenangkan dukungan internasional di PBB. Hingga bulan Mei, operasi berpusat hanya di Sektor Barat untuk memaksa elemen Fretilin bergeser ke Sektor Tengah agar gampang dikepung.

Sebulan berikutnya, operasi itu mendapatkan  momentumnya ke Sektor Tengah. Operasi-operasi itu hanya meraih sukses terbatas karena lemahnya teknik-teknik operasi militer Indonesia dan rapinya jejaring intelijen Fretilin. Meski begitu, operasi itu sukses membuat komando dan kendali Fretilin runtuh dan kehilangan senjata dan perlengkapan perang dalam jumlah besar.

Di tengah operasi itu, Presiden Suharto kembali mengunjungi Timor Timur pada bulan Juli 1978.  Dia didampingi istri, delapan menteri kabinet dan sejumlah pejabat, 30 wartawan Indonesia serta 16 wartawan asing. Dia memamerkan pembangunan sistem irigasi di Bobonaro yang dikembangkan menjadi areal persawahan.

Kelemahan lain operasi militer Indonesia itu tidak didukung diplomasi serius di panggung internasional. Para diplomat Indonesia gagal memanfaatkan dukungan AS dan Australia yang di masa awal-awal operasi sangat kuat. Mestinya, jika ditangani dengan serius, bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia bisa berlangsung ‘cepat’ dan ‘aman’ setelah Operasi Seroja. Salah satu bukti tidak seriusnya diplomasi itu, bahkan sampai 1999, PBB masih menganggap daerah itu sebagai koloni Portugis.

Selain aspek militer, hal-hal lain yang luput dari perhatian para perancang operasi adalah kegagalan mengintegrasikan aspek budaya untuk tujuan strategis. Operasi teritorial seperti ABRI Masuk Desa hanya menyentuh aspek ekonomi. Tokoh gereja dan tokoh lokal tak pernah dilibatkan dalam kegiatan ‘teritorial’ karena kecurigaan mereka terlibat gerakan kemerdekaan. Padahal di Timor, gereja menjadi penyokong utama  selama berabad-abad.

Di sisi lain, aspek integrasi administrasi Timor ke Indonesia nyata-nyata mengabaikan budaya lokal. Berdasarkan UU No 7/1976 tentang Pengesahan Tim-Tim ke Dalam Indonesia memerlukan ‘aturan khusus’. Undang-undang ini secara efektif menghilangkan kekuasaan raja-raja lokal dan menghapus hak kepemilikan ‘mutlak’ atas tanah, termasuk tanah gereja, hanya hanya sebagai hak guna usaha atau hak guna bangunan.[TGU]