Koran Sulindo – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan wacana perwira tinggi Polri yang diwacanakan menjadi penjabat gubernur tidak menabrak undang-undang.
“Kalau bikin gaduh tapi saya sudah melakukan hal yang sama. Saya siap terima teguran bapak Presiden,” kata Tjahjo, usai memberikan pembicara dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Baintelkam Polri, di Hotel Grandhika, Jakarta Selatan, Senin (29/1).
Mantan Sekjen PDI Perjuangan itu mengatakan aturan yang dimaksud memperbolehkan Pati Polri menduduki penjabat gubernur adalah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Selain itu juga dalam Permendagri. “Ada Permendagri bahwa eselon 1 dan pejabat di bawah Kementerian dan Lembaga bisa diusulkan,” tandasnya.
Tjahjo kembali menegaskan bahwa tidak ada sangkut pautnya dengan partai, meskipun dirinya berasal dari orang partai (PDIP). Dirinya menempatkan diri sebagai pembantu Presiden. “Ya saya harus netral. Ya wajar lah orang mau curiga karena Mendagri orang partai, tapi selama tiga tahun Alhamdulillah saya bisa melaksanakan dengan baik,” tandasnya.
Dicontohkannya Pilkada tahun 2015 lalu, penjabat gubernur Aceh berasal dari TNI berpangkat Mayor Jenderal. Sementara di Sulawesi Barat dari Polri berpangkat Inspektur Jenderal. “Pengalaman sudah ada kemarin sudah. Kami taruh mayor jenderal TNI aktif di Aceh, aman Aceh 2015 ga ada masalah,” ujarnya.
Lebih lanjut, mengenai proses penjabat gubernur, Tjahjo memang meminta selain dari Kemendagri, juga dari Polri dan TNI melalui Menkopolhukam. Nantinya nama-nama yang diusulkan akan dilaporkan ke Menteri Sekretaris Negara untuk disampaikan ke Presiden.
“Mengenai disetujui terserah Presiden, saya hanya minta ke kapolri dan Menkopolhukam beliau menyerahkan nama saya serahkan. Biasanya dua minggu biasanya baru keluar namanya,” katanya.
Melanggar UU Kepolisian
Sementara pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar menegaskan fungsi kepolisian adalah sebagal alat penegak hukum bukan alat politik. Dengan penunjukan dua pejabat Polri yakni Irjen M Iriawan dan Martuani Sormin tersebut sama saja menyeret polisi ke ranah politik praktis.
“Dan karena les esprit de corp bisa mempengaruhi netralitas polisi dalam tugas pengamanan pemilu di wilayah Pilkada. Selain itu sesuai UU no 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 23 tentang sumpah bagi anggota polisi dalam menjalankan tugas harus netral, dan pasal 28 anggota polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan jika akan menduduki jabatan di luar Polri harus mengundurkan diri,” kata dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu.
Salah satu tuntutan reformasi adalah dihapusnya dwifungsi ABRI.
“Sedangkan ABRI adalah TNI dan Polri. Jadi Polri juga gak boleh dwifungsi lagi,” ucapnya.
Dia juga mengatakan Polri pernah melakukan pelanggaran saat dua Pati Polri diangkat menjadi Dirjen Imigrasi dan Dirjen Perhubungan.
“Saat itu sudah diingatkàn tapi tetap saja dilanjutkan. Sekarang muncul istilah “Dwifungsi Polri” dan berkembang ke arah penunjukkan jabatan Kepala Daerah,” kata Bambang.
Hal senada juga diutarakan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri. Menurutnya apabila terjadi kekosongan jabatan, maka harus diangkat penjabat Gubernur. Di dalam Pasal 201 ayat (10) disebutkan bahwa posisi penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikatakannya, jabatan pimpinan tinggi madya yang dimaksud ini merupakan ASN yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri atau daerah yang bersangkutan.
Namun, secara mengejutkan, Pemerintah melalui Mendagri mengeluarkan wacana untuk menjadikan unsur kepolisian sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan tersebut.
Padahal lanjut Mustafa, amanah reformasi tegas menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional sekaligus menjaga pertahanan negara.
“Tapi selain itu netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil,” tegas Mustafa melalui keterangan tertulis.
Atas dasar itu, Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa jabatan penjabat Gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI. Serta berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi.
Pernyataan tersebut didasarkan pada aturan jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur ‘harus’ berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.
Wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi.
Mendagri merujuk kepada Permendagri No. 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah, namun Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada. Di dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri itu telah memuat norma untuk menjadi penjabat Gubernur yang berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.
Dari dasar inilah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, di dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur.
Wacana menjadikan perwira tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dinilai juga merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota yang menduduki jabatan di luar kepolisian.
Seharusnya, anggota Polri yang ingin mengikuti kontestasi Pilkada Serentak 2018, dari awal sudah mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas kepolisian. Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian.
Dengan demikian, netralitas Polri di era rezim pemerintahan Jokowi- JK tetap terjaga dan tidak menimbulkan “dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru.
Penunjukan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil. Bila mengacu UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya maka diatur mengenai darurat sipil. Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Presiden menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) yang terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut.
Padahal, Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara sedang dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan. Karenanya, PSHTN menganggap wacana Mendagri tersebut justru berpotensi menimbulkan suasana tidak kondusif.
Atas pertimbangan tersebut, PSHTN mendesak Presiden untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden mengenai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari kalangan non sipil (TNI/Polri). Tujuannya agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga. PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi.
“Jangan sampai kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia selama ini,” kata Mustafa. [YMA]