Mencari Database Pekerja yang Berupah di Bawah Rp 5 Juta untuk Disubsidi

Ilustrasi dampak wabah virus corona terhadap ekonomi/Forbes

Koran Sulindo – Ekonomi Indonesia masih belum bisa keluar dari tekanan dampak pandemi covid-19. Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pada kuartal kedua tahun ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang April hingga Juni 2020 minus 5,32%.

Salah satu penyebab utamanya adalah penurunan konsumsi rumah tangga. Ekonomi Indonesia memang cukup bergantung kepada pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga. BPS mencatat konsumsi rumah tangga mengalami penurunan paling dalam pada kuartal kedua 2020 hingga minus 5,51%.

Mengantisipasi situasi ini, pemerintah langsung bergerak untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga. Salah satu caranya dengan memberi subsidi upah pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta. “Bantuan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan, bantuan akan langsung diberikan per dua bulan ke rekening masing-masing pekerja sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan,” kata Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir dalam keterangan resminya pada pekan pertama Agustus lalu.

Ini berarti tiap pekerja akan dua kali menerima transfer dari pemerintah dengan nominal Rp 1,2 juta. Dengan demikian, total yang diterima tiap karyawan sebesar Rp 2,4 juta. Syarat penerima subsidi ini merupakan pekerja harus aktif terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan iuran Rp 150 ribu per bulan atau setara gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Secara teknis, data penerima bantuan subsidi upah ini diambil dari data BPJS Ketenagakerjaan dengan batas waktu pengambilan data sampai dengan 30 Juni 2020. Dengan demikian, hanya peserta yang telah terdaftar pada batas waktu tersebut dan memenuhi persyaratan yang berhak sebagai penerima.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, program subsidi ini menelan biaya hingga Rp 37,7 triliun. “Jumlah calon penerima ditingkatkan menjadi 15.725.232 orang yang semula hanya 13.870.496 orang,” kata Ida.

Meski bertujuan mendongkrak konsumsi, program pemerintah menyubsidi upah pekerja ini kembali menuai kritik. Pasalnya, mengacu kepada data BPJS Ketenagakerjaan, maka program, ini bisa menjadi tidak efektif. Sebabnya, data BPJS Ketanagakerjaan hanya mencatat pekerja formal dengan upah di bawah Rp 5 juta. Sementara, pekerja informal banyak yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Lalu, muncullah penilaian bahwa kebijakan itu diskriminatif.

Sudah menjadi rahasia umum, masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawan mereka di BPJS Ketenagakerjaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, prinsipnya seluruh karyawan bergaji di bawah Rp 5 juta harus mendapatkan bantuan dari pemerintah tanpa melihat melihat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau tidak.

“Jadi negara tidak boleh melakukan diskriminasi,” kata Said Iqbal. Apalagi, kata Said, karyawan yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan bukanlah salah karyawan tersebut. “Yang salah adalah pengusaha yang nakal, bukan buruhnya. Karena menurut UU BPJS, yang wajib mendaftarkan buruh sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah pengusaha,” kata Said Iqbal lagi.

Tidak Adil
Seperti Said Iqbal, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad juga punya penilaian yang sama. Tidak adil jika pemerintah hanya memberi bantuan pada 15,7 juta pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal secara keseluruhan, jumlah buruh dan pegawai di Indonesia mencapai 52,2 juta orang.

“Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan dan kenapa hanya peserta BPJS yang dijadikan dasar, semua merasa berhak kalau konteksnya pekerja,” ujar Tauhid.

Selain itu, jika hanya berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, bantuan subsidi upah berpotensi salah sasaran. Soalnya, ada pengusaha yang mendaftarkan gaji pekerjanya sebatas upah minimum biar iuran ke BP Jamsostek menjadi lebih kecil. Padahal, gaji sesungguhnya di atas Rp 5 juta per bulan. Maklum, pengusaha minimal harus menanggung iuran BP Jamsostek minimal 6,24% dari gaji karyawan per bulan.

Karena itu, untuk menekan angka salah sasaran, perlu ada verifikasi ulang dari BP Jamsostek. Misalnya, saat calon penerima bantuan melaporkan nomor rekening harus menyertakan slip gaji terbaru.

Jika nantinya bukan orang yang berhak menerima subsidi gaji ini, maka keinginan pemerintah untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga bisa mundur. Misalnya saja orang yang menerima ternyata memiliki gaji di atas Rp 5 juta maka digunakan untuk menabung hingga investasi. Pemerintah pun bisa kembali gigit jari jika uang triliunan ini sudah digelontorkan ternyata tak bisa menangkis ekonomi Indonesia yang minus itu.

Jika melihat permasalahan selama ini, pemerintah acap tak terlalu mempedulikan data penerima subsidi. Lihat saja bantuan sosial ke orang miskin yang sudah digelontorkan beberapa kali selama masa pandemi ini, tetap tak ada evaluasinya.

Selama April-Juni 2020, banyak kekisruhan seputar penyaluran bansos yang mencuat ke permukaan. Semua masalah bermuara pada amburadulnya data masyarakat penerima.
Menjadi senjata pemerintah buat mengungkit daya beli masyarakat, perbaikan pun terus dilakukan. Tapi seperti mengurai benang kusut, tetap tidak mudah bagi pemerintah merapikan data penerima bansos yang sudah salah sejak awal.

Masalah data penerima bansos hingga subsidi ke pekerja menjadi persoalan klasik yang berulang terjadi dalam penanganan kemiskinan di Tanah Air. Data kemiskinan dan data pekerja tak pernah valid. Padahal, sudah banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terlibat dalam akuisisi data-data ini tapi tetap saja tak kunjung berhasil membangun sistem database.

Presiden Jokowi harus segera mengambil inisiatif perbaikan. Cara-cara lama terbukti tak efektif mengatasi masalah. Harus ada terobosan baru yang lebih optimal. Apalagi, kemajuan teknologi dan informasi yang canggih, sistem big data bisa digunakan dalam membangun database kemiskinan yang valid di Indonesia. Jika tidak ada langkah besar yang diambil maka segala jurus bantuan sosial berupa sembako ataupun bantuan langsung akan menjadi sekadar jargon. Apalagi menjelang Pilkada 2020 maka bisa jadi ada orang-orang yang memanfaatan bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menjadi alat kampanye salah satu calon peserta Pilkada. [Kenourios Navidad]