Kelesuan industri dalam negeri terjadi hampir di seluruh sektor. Industri keramik juga salah satu yang terkena dampaknya. Kemunduran pada industri keramik nasional sudah berlangsung hampir satu dekade. Penurunan ditandai dengan utilisasi (pemanfaatan kapasitas produksi) pabrik keramik yang menurun dari awalnya 90 persen menjadi hanya 69 persen saja.
Akibat penurunan produksi, kini sudah ada tujuh perusahaan berhenti beroperasi dan menutup usahanya. Adapun perusahaan yang telah tutup alias gulung tikar diantaranya , PT Indopenta Sakti Teguh; PT Indoagung Multiceramics Industry; PT Keramik Indonesia Asosiasi-Cileungsi; PT KIA Serpih Mas-Cileungsi; PT Ika Maestro Industri; PT Industri Keramik Kemenangan Jaya; dan PT Maha Keramindo Perkasa.
Pejabat Fungsional Pembina Industri pada Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Nonlogam Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ashady Hanafie mengungkapkan awal mula daya saing keramik dalam negeri turun karena kenaikan harga gas yang terjadi pada 2015 silam.
“Ubin keramik cukup lama memiliki permasalahan berat. Jadi mulai parahnya kenapa industri keramik kita turun itu, karena ada kenaikan harga gas. Jadi sebelum tahun 2015 itu kita jaya, daya saing kita tinggi,” kata Ashady dalam sebuah diskusi (16/7).
Pernyataan pihak Kemenperin itu memang cukup rasional, karena penggunaan gas dalam industri keramik angkanya sangat tinggi yaitu 20-35 persen dari biaya produksi. Apabila harga gas naik sudah bisa dipastikan akan ada pengurangan produksi secara signifikan.
Saat ini harga gas bumi di Jawa bagian barat naik dari 6 dolar AS per MMBTU menjadi 6,5 dolar AS per MMBTU. Sedangkan di Jawa bagian timur naik dari 6 dolar AS per MMBTU menjadi 6,32 dolar AS per MMBTU.
Kenaikan harga gas itu semakin terasa membebani karena efek pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS. Sepanjang tahun 2024 ini saja rupiah telah terdepresiasi hampir 7 persen sehingga kenaikan harga gas bagi pelaku industri dalam negeri semakin tajam.
Banjir produk impor
Persoalan lain adalah produk keramik impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Persaingan ketat dengan produk impor, utamanya dari Cina, serta serta kenaikan berbagai biaya produksi dan transportasi, turut mempengaruhi daya saing industri nasional.
Menurut data yang disampaikan Kemenperin, volume impor ubin keramik terus meningkat sejak tahun 2019 sebanyak 75,6 juta meter persegi, lalu melonjak menjadi 93,4 juta meter persegi pada tahun 2023.
Produk ubin keramik dari Cina saat ini mampu menguasai pasar karena harga lebih murah. Selain produksinya yang lebih efisien, Pemerintah Cina juga menyokong industri mereka dengan memberikan insentif pajak berupa tax refund sebesar 14 persen kepada produsen.
Menghadapi hal itu, pemerintah indonesia mulai menerapkan bea masuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) selama tiga tahun mulai tahun 2019 hingga 2021. Kemudian BMTP ini diperpanjang pada tahun 2021 selama tiga tahun lagi.
BMTP itu pada mulanya ditetapkan dengan tarif 23% untuk tahun pertama kemudian terus menurun hingga menjadi 13% pada tahun 2024. Namun demikian, bea masuk tinggi ini dinilai tidak berhasil menekan impor. Ternyata impor malah makin banyak masuk.
Untuk itu industri keramik kemudian mengajukan kebijakan anti dumping pada 15 Maret 2023. Pengajuan tersebut dimasukan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang dilanjutkan dengan penerbitan laporan pada akhir Juli yang merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) selama lima tahun dengan penetapan tarif maksimal 199,98%.
Menyelamatkan industri keramik dalam negeri
Industri keramik dalam negeri telah dibangun sejak satu abad yang lalu sekitar tahun 1923. Industri ini memiliki pusat-pusat pengembangan yang bersejarah seperti di Plered Purwakarta juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Peralihan dari usaha tembikar ini semakin cepat dengan adanya pengenalan mesin industri yang mempercepat produksi sehingga bisa dilakukan diversifikasi.
Industri keramik Indonesia adalah salah satu pemain penting dalam perekonomian di sektor mineral non logam. Diperkirakan pelaku industri keramik memiliki kemampuan produksi 551 juta meter persegi dan masih bisa meningkat hingga dua kali lipatnya. Jumlah tenaga kerja yang diserap juga cukup besar, diperkirakan ada lebih dari 200 ribu pekerja terlibat dalam industri ini.
Permasalahan yang terjadi pada industri keramik tidak jauh berbeda dengan industri tekstil atau manufaktur lainnya. Masalah utama yang menjangkiti adalah tingginya harga bahan baku sehingga meningkatkan biaya produksi dan juga membanjirnya barang impor menguasai pasar dalam negeri.
Upaya pemerintah melindungi industri dalam negeri ternyata tidak juga mampu menghindarkan kebangkrutan usaha manufaktur nasional. Penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun pemberlakuan harga khusus suplai energi bagi industri juga tidak memberikan pengaruh besar. Barang impor semakin deras masuk, biaya produksi juga meningkat tajam.
Artinya masalah ini tidak bisa ditangani dengan mengutak-atik kebijakan mikro semata, perlu ada pemahaman masalah dari hulu ke hilir agar penanganannya pun bisa komprehensif. Masalah ini perlu dilihat secara makro, yaitu mulai sektor energi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal hingga mengatur perdagangan luar negeri yang menguntungkan bagi pelaku industri Indonesia.
Misalnya saja di sektor energi, kita bisa melihat bahwa permasalahan tingginya biaya produksi sebagai dampak dari kebijakan liberalisasi energi sejak dua dekade lalu. Ini tidak datang tiba-tiba, tapi adalah suatu penyakit yang terakumulasi dan sekarang bisa terlihat akibatnya.
Begitupula masalah banjirnya barang impor baik secara legal maupun ilegal, semua terjadi sudah belasan tahun kebelakang, bukan hal baru. Meski disebut lima puluh bulan berturut-turut angka perdagangan Indonesia mengalami surplus, nyatanya barang impor jadi raja di dalam negeri. [PAR]