Presiden Joko Widodo berdiri di dek KRI Imam Bonjol/Setpres - Krishadiyanto

Koran Sulindo – Situasi di Natuna makin memanas, setelah aksi penembakan kapal TNI AL terhadap kapal ikan Cina. Pemerintah harus tegas menegakkan kedaulatan RI di kawasan perairan Natuna.

Presiden Joko Widodo mendadak menggelar rapat kabinet terbatas, Kamis (23/6), pekan lalu. Lokasi rapat adalah KRI Imam Bonjol. Selama rapat berlangsung kapal perang milik TNI Angkatan Laut itu berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Rapat  yang berlangsung sekitar satu jam di salah satu ruangan di KRI Imam Bonjol membahas tentang percepatan pembangunan di Natuna.

Sejumlah menteri mengikuti rapat penting tersebut. Antara lain, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, Menlu Retno Marsudi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Seskab Pramono Anung, Menteri ESDM Sudirman Said, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan Kepala Bappenas Sofyan Djalil.

Usai rapat, Menlu Retno Marsudi mengatakan dalam rapat tiap anggota kabinet yang hadir memberikan paparannya di hadapan Presiden terkait Natuna. Mulai dari potensi hingga rencana pengembangannya. Setelah itu Presiden memberi arahan.

Sejatinya, rapat penting itu digelar tak sekedar membahas soal pembangunan di Natuna. Tapi juga menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia menanggapi situasi yang memanas di kawasan seputar Laut Cina Selatan.

Beberapa hari sebelumnya, Panglima Komando Armada Indonesia Kawasan Barat Indonesia, Laksamana Muda TNI Taufiqoerrahman, memaparkan hal-ihwal penangkapan kapal ikan Cina Han Tan Cou 19038, di zone ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Kepulauan Natuna pada 17 Juni.

Sejak Maret lalu sudah tiga kali kapal ikan Cina ilegal dikejar dan ditangkap kapal perang TNI AL. Modus operandi mereka selalu sama: masuk dalam jumlah banyak dan dikawal kapal Penjaga Pantai Cina, dan mereka melakukan manuver-manuver provokatif kepada kapal perang TNI AL. Puncaknya, adalah  aksi penembakan KRI Imam Bonjol terhadap kapal Han Tan Cou.

Beberapa  bulan terakhir, sebenarnya Indonesia sudah memperkuat kehadiran militernya secara mencolok di kabupaten terluar Kepulauan Riau itu. Banyak pengamat mengatakan langkah RI ini tanggapan terhadap apa yang diaggap sebagai “ancaman Cina” terhadap kedaulatan Indonesia di pulau itu.

Indonesia menyatakan akan meneruskan “kebijakan netral” terhadap Cina, di tengah memanasnya ketegangan karena negeri tirai bambu itu mengklaim wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia yang berdekatan dengan Natuna sebagai wilayah Cina.

Penekanan terhadap posisi netral ini terus digemakan terutama sesudah Cina menyatakan “tak keberatan” terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Natuna. ”Kedaulatan Natuna milik Indonesia. Cina tidak memiliki keberatan dengan ini,” kata Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, seperti dikutip Reuters.

Namun Ryamirzad mengatakan tak aman untuk mengabaikan kemungkinan ancaman di masa depan. “Kami telah memperkuat kapasitas militer untuk mengantisipasi berbagai ancaman, baik itu pencurian ikan atau masuknya mereka ke wilayah Indonesia secara ilegal,” kata Ryamirzad .

Angkatan Darat, Laut dan Udara Indonesia telah menyusun formula untuk memperkuat pertahanan di Natuna.

Sedikitnya ada tambahan satu batalion untuk memperkuat pangkalan angkatan laut yang sudah ada di Natuna. Angkatan Darat, yang sekarang mengerahkan 800 prajurit di Natuna, akan menambah jumlahnya hingga 2.000 orang tahun ini.

Angkatan Udara juga akan menambah pesawat tempur di wilayah itu, walau pulau itu tak mempunyai fasilitas mencukupi. AL mengirim tujuh kapal perang pada Desember untuk berpatroli dan menjaga kedaulatan. Jumlah itu ditambah 14 kapal perang lagi pada Januari lalu.

Sektor pertahanan udara juga mengerahkan radar di beberapa bagian pulau untuk melakukan operasi pengawasan selama 24 jam. Indonesia juga menandatangani perjanjian dengan Jepang pada akhir tahun lalu ntuk menerima teknologi dan peralatan militer, yang sebagian besarnya dikirim untuk digunakan di Natuna.

Menurut Menteri Pertahahan Ryamirzad Ryazudu, pemerintah telah  menghabiskan US$ 14,2 juta (sekitar Rp 196 miliar) untuk memperkuat pangkalan militer di Natuna. “Kapal perang dan pesawat jet sedang dirapikan untuk mengawasi dan membela wilayah kami,” katanya.

Sudah lama ada kekhawatiran Indonesia akan terlibat dalam pertikaian di Laut Cina Selatan karena pentingnya kawasan perairan tersebut. Laut Cina Selatan merupakan jalur perdagangan yang mengantarkan barang dan jasa internasional dengan nilai US$5 triliun yang merupakan lima kali lipat GDP Indonesia.

Natuna sendiri merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam sangat besar. Karena itu, banyak negara tergiur menguasainya. Cina bahkan sudah membuat pulau buatan tak jauh dari Natuna. Pertengahan April lalu, The New York Times merilis sebuah foto satelit pulau buatan Cina seluas ribuan hektar di Kepulauan Spratly yang hampir rampung. Di dalamnya terdapat landasan pacu pesawat sepanjang 3 kilometer, dua landasan helikopter, dan sepuluh antena satelit mirip radar militer.

Sebenarnya Cina dan Indonesia sama-sama menandatangani UNCLOS 1982 bersama ratusan negara lain. Namun Cina secara sepihak memiliki doktrin kelautan yang menyatakan perairan Kepulauan Natuna adalah arena penangkapan ikan tradisional mereka.

Pemerintah Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan adalah miliknya. Pada Mei 2009 lalu, pemerintah Cina memperkuat dengan mengeluarkan peta nine dashed lines (sembilan garis putus-putus) berdasarkan peta tahun 1947,  yang mengklaim bahwa semua pulau yang berada diwilayahnya (termasuk kepulauan Natuna) dan wilayah perairan serta kandungan laut didalamnya adalah milik cina.

Cina juga telah mempersiapkan titik – titik kuat di Laut Cina Selatan (nine dashed lines) dengan melakukan reklamasi dan membangun pangkalan di beberapa kepulauan yang mereka duduki. Selain itu, Cina membangun kekuatan dengan beroperasinya kapal induk Liaoning serta alutsista udara strategis yang memiliki senjata nuklir yang modern.

“Parahnya Cina tidak pernah mau kalau diajak berunding di depan arbitrase internasional atau pengadilan internasional,” kata ahli hukum laut internasional Hasjim Djalal.

Sikap Cina seringkali tak jelas mengenai klaim perbatasan laut miliknya. Menurut Hasjim, Cina selalu memberi penjelasan atau istilah-istilah di luar ranah hukum internasional, misalnya alasan tentang secara sejarah yang menjadi landasan nine dashes line. “Indonesia tak perlu berpretensi menjelaskan maksud Cina, karena Cina sendiri masih bingung,” kata Hasjim.

Tegakkan Kedaulatan RI

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan jarak antara garis putus yang di klaim Cina tidak pernah jelas koordinatnya. Bahkan beberapa peta menggambarkan sepuluh atau sebelas garis. “Apakah bentuknya cekung ke dalam atau ke luar, tidak pernah dijelaskan,” kata Hikmahanto.

Sekretaris Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, memberi contoh sikap Cina merujuk salah satu jawaban Mayor Jendral Yao Yunzhu. Dalam Dialog Shangri-La di Singapura pada 2016, Yao Yunzhu menuturkan Cina secara internal masih berdebat tentang apa sebenarnya nine dashes line. “Mulanya Cina mengatakan garis putus tersebut ada sembilan. Namun tiba-tiba bisa berubah menjadi sepuluh atau sebelas,” kata Damos.

Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan tegas saat kunjungan kerja ke Jepang, Maret lalu. Dikutip surat kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, Jokowi menegaskan sikap dalam kisruh Laut China Selatan. Jokowi menilai China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya. “Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun,” kata Jokowi.

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Jokowi memang perlu tegas dan mempertanyakan maksud gambar peta versi China tersebut. “Pak Jokowi menafsirkan politik bukan lagi semua harus teman, tapi kalau kedaulatan diganggu maka siap berhadapan-hadapan,” kata Hikmahanto.

Indonesia menekankan pentingnya upaya diplomasi dalam setiap langkah menyelesaikan klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan dan mengajak seluruh negara yang berkepentingan di kawasan tersebut untuk menghormati prinsip – prinsip hukum internasional dan unclos 1982.

Bagi Indonesia, klaim Cina mengenai nine dash line tidak memiliki dasar hukum, dan menyebutnya “non existence”. Hal itu berdasar nota diplomatik Sekjen PBB pada 8 Juni 2010 yang menyatakan peta itu “tidak mempunyai basis di hukum internasional”.  Namun, di peta Cina itu memang terlihat fakta ada irisan di wilayah ZEE.

”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif,” kata Jenderal Gatot Nurmantyo.

Sengketa Laut Cina Selatan melibatkan tujuh negara, yakni: Cina, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, dan Jepang. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah perairan itu.

Hasjim  Djalal menduga Cina mencoba menyeret Indonesia dalam konflik Laut China Selatan itu dengan memanfaatkan insiden penangkapan kapal tersebut. Hasyim menyebut insiden itu upaya menyudutkan Indonesia. Cina bahkan menyalahkan Indonesia yang dituduh telah melanggar hukum internasional dan menyalahgunakan kekuatan militer. Kapal nelayan Cina tertangkap di perairan Indonesia dengan lokasi yang hampir selalu sama sejak 2010 lalu.

Untuk menghadapi Cina yang sedang melakukan “jurus mabuk” itu , Indonesia harus menanggapi bukan hanya sebagai sengketa perikanan, tetapi lebih penting lagi sebagai permasalahan pelanggaran zona maritim, pelanggaran hak berdaulat, dan kedaulatan yang tidak bisa dibiarkan saja.

“Protes diplomatik yang harus terus-menerus dilakukan dengan keras dan berkesinambungan, selama Tiongkok tetap bertahan dengan klaimnya,” kata Prof. Melda Kamil Ariadno, Guru Besar dan Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional UI.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menyampaikan nota protes resmi kepada Cina.

Sikap tegas pemerintah harus ditunjukkan karena walaupun melanggar batas wilayah ZEE Indonesia, Cina tidak akan mendapat sanksi Internasional. “Tidak ada sanksi Internasional dikarenakan dalam hukum internasional tak ada institusi yang lebih tinggi dari negara,” kata Hikmahanto. [Didit Sidarta]