Koran Sulindo – Di masa Bung Karno, kata revolusi jamak didengungkan di berbagai pelosok negeri. Tidak saja untuk kaum pergerakan yang berpaham ‘kiri”, kata revolusi juga akrab untuk semua kalangan baik kaum nasionalis maupun kalangan agamais.
Di masa kini terutama pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, kata ini menjadi asing. Revolusi dianggap sudah tidak sesuai zaman dan hanya cocok pada masa kolonial. Kata itu hanya dianggap tepat untuk menggerakkan rakyat melawan penjajahan. Anggapan yang nampaknya kurang tepat.
“Terminologi revolusi, tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya,” kata Jokowi seperti dikutip Kompas.com di masa awal-awal menjadi calon presiden.
Untuk mendapatkan pengertian bagaimana revolusi di Indonesia, perlu kiranya mempelajari pendapat sejarawan Universitas Cornell M. C. Ricklefs. Dalam bukunya berjudul Sejarah Modern Indonesia, ia mengatakan, revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya kisah sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.
Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk tatanan sosial yang lebih adil tampaknya akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II. “Untuk yang pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia, segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba,” tulis Ricklefs.
Benar 17 Agustus 1945 merupakan sebuah revolusi. Seperti yang dikatakan Bung Karno, periode itu merupakan sebuah proses menjebol dan membangun. Menjebol kolonialisme dan membangun Indonesia merdeka. Akan tetapi revolusi tidak berhenti pada titik itu.
Ia terus bergerak untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Bung Karno menyebutnya sebagai Revolusi Panca-Muka. Ia disebut demikian karena menggabungkan lima revolusi sekaligus: revolusi nasional, revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi sosial, dan revolusi kebudayaan.
Itu sebabnya, menurut Bung Karno dan sudah pula ia sebutkan jauh-jauh hari, revolusi tidak sekadar mencapai kemerdekaan. Apalagi kemerdekaan hanyalah jembatan emas untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Maka, Bung Karno acap menyampaikan semboyan “Revolusi belum selesai.”
Lantas bagaimana memaknai revolusi di masa Jokowi? Di masa kampanye dan awal-awal pemerintahannya, Jokowi memang banyak terinspirasi – jika bukan meniru – konsepsi Bung Karno. Visi misi dan program aksi Jokowi-JK dalam kampanye pemilihan presiden pada 2014 meminjam konsepsi Trisakti yang tersohor itu: berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Trisakti disebut sebagai solusi atas persoalan bangsa terutama terkait dengan merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Soal kedaulatan politik Jokowi-JK berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti: Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, serta yang lainnya.
Tapi, nyaris tiga tahun Jokowi memerintah, konsepsi Trisakti Bung Karno hanya sekadar slogan. Belum ada yang terlaksana terutama di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Di samping itu, rakyat juga masih ingat bagaimana Jokowi egitu gencar mengkampanyekan revolusi mental. Slogan yang menjadi salah satu program pokok Jokowi dan tertuang dalam Nawacita.
Slogan ini bahkan sempat menimbulkan kontroversi. Jokowi sempat dituduh memakai konsepsi ala komunis. Padahal soal revolusi mental ini Bung Karno sudah menyingungnya ketika berpidato pada 17 Agustus 1962. Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan:
Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.
Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK!
Revolusi Mental
Lalu seperti apa revolusi mental yang dikampanyekan Jokowi? berdasarkan dokumen Nawacita yang dimaksud dengan revolusi mental adalah merevolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
Berdasarkan itu, Jokowi kemudian meneken Instruksi Presiden (Inpres) tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental tahun 2016 pada awal tahun ini. Seperti yang sudah disebutkan, Inpres tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki serta membangun karakter bangsa Indonesia. Inpres ini mengacu kepada nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong-royong untuk membangun budaya yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
Di dalam Inpres tersebut tertuang lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu. Akan tetapi, setelah program ini berjalan, sebagian masyarakat masih bertanya-tanya apa yang dihasilkan gerakan revolusi mental itu.
Jika ukurannya merujuk kepada pembangunan manusia Indonesia, rasa-rasanya tidak hasil dari program tersebut. Sejak 2014, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai 0,684. tingkat harapan hidup manusia Indonesia rata-rata 68,9 tahun. Angka ini menempatkan posisi Indonesia berada di 110 dari 148 negara. Selanjutnya 2015, IPM Indonesia mencapai 0,689. Angka ini menempatkan posisi Indonesia molor ke 113 dari 188 negara.
Dari hasil itu, maka apa yang dimaksudkan Bung Karno mengenai revolusi mental mengalami kegagalan. Pasalnya, revolusi mental yang dimaksudkannya tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutkan sebagai Revolusi Panca-Muka yang meliputi revolusi fisik, revolusi mental, revolusi sosial-ekonomi dan revolusi kebudayan.
Khusus revolusi mental Bung Karno mengatakan: “Revolusi Mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” Kendati demikian, Revolusi Panca-Muka ini merupakan satu kesatuan yang tidak dipisah-pisah. Tujuan akhir revolusi tersebut menciptakan masyarakat baru tanpa penghisapan manusia atas manusia atau exploitation de I’homme par I’homme.
Sementara itu, Jokowi berpendapat revolusi mental dimaksudkan untuk lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa. Dengan kata lain, cita-cita keduanya sama: menciptakan masyarakat adil dan makmur. Akan tetapi, mungkinkah cita-cita demikian terwujud jika Jokowi dalam hal pembangunan ekonomi dan politiknya bergantung kepada utang dan investasi asing? [Kristian Ginting]