Koran Sulindo – Pro dan kontra masalah taksi online di Indonesia masih terus berlanjut. Terutama setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan sejumlah pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.
MA membatalkan sebanyak 14 pasal yang tertera di dalam Permenhub soal taksi online. Beberapa di antaranya berkaitan dengan tarif, surat kendaraan berbadan hukum, pelayanan dan lain sebagainya. Pada Pasal 5 ayat 1 huruf e dan Pasal 19 ayat 2 huruf f dan ayat 3 huruf e, misalnya, berkaitan dengan penetapan tarif.
MA dalam putusannya membatalkan aturan tersebut dan memerintahkan Menteri Perhubungan untuk segera mencabutnya serta tidak lagi berlaku karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menyikapi putusan tersebut, Kementerian Perhubungan berjanji akan dan mematuhinya.
Kali pertama taksi daring meluncur di Indonesia terutama di Jakarta terjadi pada Agustus 2014. Taksi online pertama yang meluncur adalah Uber. Awalnya, perusahaan ini hanya melayani pelanggannya di kawasan CBD seperti Kuningan dan Sudirman, Jakarta. Seperti di AS, Uber sebetulnya sama sekali tidak memiliki armada.
Mereka menyewa mobil-mobil yang mereka sebut sebagai mitra. Pemesanannya dilakukan melalui telepon pintar dan teknologi berbasis satelit atau GPS. Mobil-mobil yang mengangkut pelanggannya tergolong mewah meliputi Toyota Alphard, Camry, hingga Mercedes Benz S-Class. Semuanya menggunakan pelat hitam tanpa tulisan taksi sebagai penanda angkutan umum.
Masuk Tanpa Izin
Kehadiran Uber yang dianggap sembunyi-sembunyi itu mendapat tanggapan keras dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka disebut masuk tanpa izin. Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebut Uber termasuk sebagai taksi “gelap”. Melanggar aturan karena menjadi angkutan umum tanpa melalui proses uji berkala dan tidak menggunakan pelat kuning.
Provinsi DKI Jakarta mendesak perusahaan tersebut memenuhi syarat-syarat itu sebelum beroperasional di Jakarta. Puncaknya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menjebak mobil-mobil mitra Uber pada Juni 2015. Mobil-mobil itu ditangkap dan kemudian “dikandangkan” di Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Uber yang awalnya bernama UberCab kali pertama “mendarat” di San Fransisco, Amerika Serikat (AS) sekitar tujuh tahun lalu. Perusahaan aplikasi yang membawa sebuah taksi ke telepon pintar masyarakat. Sejak saat itu, perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Uber itu menyebar layak “virus” ke seluruh dunia. Beroperasi di 58 negara termasuk di Indonesia. Perusahaan ini disebut bernilai sekitar US$ 60 miliar pada 2016.
Dalam laporan keuangannya, pendapatan kotor yang dihasilkan Uber pada 2016 naik menjadi US$ 6,9 miliar. Kerugian yang dialami perusahaan berbanding lurus dengan pendapatan kotor yakni mencapai US$ 991 juta. Sedangkan pendapatan pada kuartal (tiga bulan) keempat mencapai US$ 2,9 miliar. Angka ini menunjukkan pertumbuhan bisnis Uber tetap kuat kendati 2017 penuh dengan gejolak. Menurut Bloomberg, angka itu hanya jumlah umum yang dihitung berdasarkan tarif. Padahal, boleh jadi pendapatan yang dihasilkan Uber sepanjang 2016 melebihi jumlah tersebut.
Kehadiran Uber tentu saja “mengguncang” bisnis taksi. Selain karena tarifnya yang murah itu, keberadaannya disebut ilegal karena menabrak sejumlah aturan. Menariknya, kehadirannya yang pro dan kontra itu dari sudut pandang penumpang rupanya menjadi anugerah. Tidak saja karena tarifnya murah, juga karena armadanya nampaknya jauh lebih manusiawi: bersih, sopirnya sopan dan pembayaran yang mudah menggunakan sistem elektronik.
Seperti di negara asalnya, kehadiran Uber pada 2014 di Jakarta juga menuai kontroversi. Memang Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami persoalan ketika mengatur taksi online. Seperti Indonesia, AS dan Eropa juga punya masalah serupa. Kajian Harvard Business Review pada Juni 2017 mengungkapkan betapa berbagai negara kesulitan mengatur taksi online.
Seperti di Indonesia, penumpang di AS juga menganggap keberadaan taksi online seperti Uber menjadi anugerah. Selain karena murah, taksi online dianggap memodernisasi bisnis taksi. Sejak diluncurkan pada 2010, di samping menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak alias aplikasi, taksi Uber menggunakan sistem navigasi berbasis satelit atau GPS.
Setelah Uber, muncul pendatang baru bernama Grab. Perusahaan yang berbasis di Singapura ini bahkan berencana menginvestasikan sekitar US$ 700 juta di Indonesia untuk empat tahun ke depan. Itu karena baik GrabCar maupun GrabBike bertumbuh lebih dari 600 persen selama 2016. Ditambah lagi perusahaan ini akan berekspansi ke beberapa wilayah di Indonesia.
Pada awal Februari 2017, Grab meluncurkan rencana induk bisnis mereka di Indonesia. Rencana tersebut mendapat sambutan yang baik dari pemerintah seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pasalnya, pemerintah ingin menjadi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020.
Grab mengakui baik sopir mobil maupun sepeda motor merupakan dasar utama pertumbuhaan perusahaan. Oleh karenanya perusahaan ini berkomitmen untuk meningkatkan taraf hidup para sopir. Grab telah menghasilkan lebih dari US$ 260 juta untuk para sopir. Keberadaan Grab di Indonesia pun disebut mampu memperkuat daya saing negara di pasar global.
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan di bawah kepemimpinan Ignatius Jonan bertindak tegas dengan merilis Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Transportasi berbasis aplikasi dilarang karena tak sesuai aturan Undang Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pandangan ini sejalan dengan hasil analisis Harvard Business Review yang sudah disebutkan. Melalui analisis berjudul Uber Can’t Be Fixed — It’s Time for Regulators to Shut It Down mengungkapkan banyak aturan yang ditabrak taksi online seperti Uber. Pembiaran terhadap berkembangnya model bisnis yang ilegal, maka strategi yang diterapkan sangat cerdik terutama mengabaikan perundang-undangan. Uber menggambarkan model bisnis melalui aplikasi disebut sebagai inovasi.
Pendekatan berbeda disampaikan Presiden Joko Widodo – yang menganggap angkutan berbasis aplikasi ojek dan taksi online dibutuhkan masyarakat sehingga harus ditata, bukan serta merta dilarang. Jokowi tak ingin keberadaan sebuah aturan justru membuat masyarakat dirugikan atau menderita. Tujuan utama penataan tersebut mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat dan konsumen.
Kalaupun memang belum diatur, pemerintah bisa memfasilitasi masa transisi sampai memilki transportasi massal yang bagus dan nyaman. Sebelum itu terwujud, pemerintah harus aktif menata dan melakukan pembinaan agar keselamatan penumpang terjaga. Sementara itu yang paling penting, pemerintah tak boleh mengekang inovasi dan ide-ide anak muda. “Aturan itu yang membuat siapa sih? Yang membuat kan kita. Sepanjang itu dibutuhkan masyarakat, saya kira tidak ada masalah,” kata Jokowi.
Di negara lain, Filipina, misalnya, juga sedang menyusun aturan sebagai dasar hukum taksi online. Para pembuat kebijakan di Filipina menyadari, layanan angkutan publik harus menjamin keselamatan pengguna. Pengelolaan bisnis juga harus dilakukan dengan benar.
Negara Bagian Connecticut, AS, pada Juni lalu menyetujui pengaturan transportasi berbasis aplikasi. Negara bagian ini merupakan wilayah ke-42 di negara itu yang mengatur angkutan taksi daring. Prinsip aturan tersebut adalah melindungi konsumen dan menjamin kesamaan hak dan kewajiban bagi taksi konvensional serta taksi online.
Dimatikan
Karena tak memerlukan izin seperti taksi pada umumnya, perusahaan aplikasi taksi daring disebut meraup banyak keuntungan. Itu sebabnya, mereka mampu menurunkan harga angkutan terhadap penumpang yang jauh lebih rendah ketimbang taksi konvensional. Popularitas taksi daring pun melambung.
Secara bisnis perusahaan aplikasi taksi daring bertumbuh. Akan tetapi, Harvard Business Review menyebutkan keberadaan taksi daring seperti Uber telah melanggar hukum sejak awal. Model bisnisnya sejak awal berdasarkan pelanggaran hukum. Secara bisnis mereka bertumbuh dan ketika pemerintah suatu negara membuat aturan terhadap model bisnis tersebut, Uber agak kesulitan mematuhinya. Jika sudah demikian, maka kajian tersebut menyarankan untuk “mematikan” bisnis tersebut. Mungkinkah?
Sekitar enam pengemudi mengajukan permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal di Permenhub tentang taksi online ke MA. Pada Agustus 2017, MA mengabulkan gugatan keenam pengemudi taksi online, termasuk di antaranya taris dan syarat kendaraan. [KRG]