Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/The Straits Times

Koran Sulindo – Masuknya Sri Mulyani Indrawati di dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah membawa misi tertentu sejak awal. Selain sebagai penghubung untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, Sri juga menjalankan kebijakan pengetatan anggaran dan pengampunan perpajakan yang berkelindan satu dengan lainnya.

Langkah ekstrem Sri ketika kali pertama menjabat Menteri Keuangan adalah memangkas anggaran kementerian dan lembaga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Ia “berhasil” memangkas sekitar Rp 133,8 triliun meliputi anggaran kementerian dan lembaga Rp 65 triliun serta alokasi transfer daerah  Rp 68,8 triliun. Ketika itu, ia beralasan pemangkasan anggaran itu untuk menyeimbangkan antara penerimaan negara dan belanja negara.

Pada tahun ini, Sri kembali mengungkapkan strategi serupa. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Sri beralasan pemangkasan tersebut untuk memuluskan proyek-proyek yang menjadi prioritas pemerintah. Rencana pemangkasan anggaran ini akan menyasar belanja barang dan perjalanan dinas yang mencapai Rp 34 triliun.

“Instruksi presiden belanja barang 2017 hingga 2018 tidak boleh lebih besar dari yang dibelanjakan 2016. Kita akan kerja sama dengan semua kementerian/lembaga untuk itu. Dengan demikian, proyek infrastruktur, pembangunan jalan tidak tertunda karena masalah tanah,” kata Sri seperti dikutip Kontan di Nusa Dua, Bali pada akhir pekan lalu.

Berbicara tentang perencanaan pembangunan pemerintah, selain pembangunan “Poros Maritim Dunia”, Presiden Jokowi juga menetapkan infrastruktur sebagai sebagai salah satu program unggulan. Itu sebabnya, pada 2017 total alokasi anggaran infrastruktur di APBN mencapai Rp 387,3 triliun.

Di luar itu, pemerintah telah menetapkan kebutuhan dana pembangunan infrastruktur  mencapai sekitar Rp 4.800 triliun hingga 2019. Sedangkan pemerintah hanya memiliki kemampuan sekitar Rp 1.131 triliun. Dengan demikian, ada kekurangan dana yang cukup besar. Inilah masalahnya dan di situ peran Sri sebagai penghubung terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional menarik untuk ditelusuri.

Walau program infrastruktur pemerintah Jokowi disebut terbilang baru, Sri akan tetapi mendukungnya. Dari total Rp 4.800 triliun hampir separuhnya akan bersumber dari swasta. Soal ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada awal bulan ini di Istana Negara mengakuinya. Sejumlah proyek akan menggunakan skema Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) atau tanpa APBN. Nilainya mencapai Rp 570 triliun.

Menurut Bambang, skema yang mungkin dilakukan dengan cara penyertaan saham kepada badan usaha pelaksana pembangunan dalam jangka panjang seperti asuransi dan dana pensiun. Selain PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), pemerintah juga menyasar pihak ketiga yang mungkin terlibat dalam pembiayaan itu yakni pengelola dana jangka panjang. Terutama dana pensiun dan asuransi jiwa, kata Bambang. Cara ini disebut akan saling menguntungkan baik lembaga keuangan maupun badan usaha pelaksana pembangunan.

Memuji Lembaga IMF
Sebelum menjelaskan bagaimana PT SMI akan berperan dalam proyek pembangunan infrastruktur, peran Sri sebagai penghubung pemerintah Jokowi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional juga terlihat ketika ia memuji kesediaan pemerintah mengikuti resep Dana Moneter Internasional (IMF) tanpa tekanan. Ia takjub dengan berbagai paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi. Paket yang disebut meniru resep IMF untuk memulihkan krisis moneter pada 1997/1998. Resep yang justru membuat Indonesia terpuruk hingga saat ini.

Untuk mengetahui bagaimana PT SMI berperan dalam pembiayaan proyek infrastruktur, mau tidak mau kita juga mesti membicarakan keberadaan Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara pemenang Perang Dunia II. Negara Uwak Sam itu menjerat berbagai negara dengan utang untuk memulihkan negerinya yang hancur akibat perang. Hingga 2014, dana yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur secara global meningkat tajam mencapai US$ 24,2 miliar atau naik 45 persen dari tahun sebelumnya.

Menindaklanjuti itu, Bank Dunia lantas membentuk skema Kerja Sama Pemerintah Swasta (PPP) dengan mengumpulkan pemerintah, lembaga pembangunan dan investor swasta untuk mendanai proyek infrastruktur global. Lalu, lembaga itu kemudian dikenal dengan Global Infrastructure Facilities (GIF)  yang berada di bawah Bank Dunia. Lembaga ini menjadi “persekutuan” negara-negara pemberi kredit, bank pembangunan multilateral dan swasta seperti Citibank, HSBC, DBS Bank, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lain sebagainya untuk bersama-sama membiayai pembangunan infrastruktur lewat skema PPP ke berbagai negara.

Tujuan utamanya adalah pasar yang sedang berkembang (emerging market) dan negara yang dianggap sedang tumbuh (emerging country) seperti kawasan Asia-Pasifik maupun negara-negara seperti Tiongkok, India, Bangladesh, Brasil, Afrika Utara maupun Indonesia yang diperkirakan membutuhkan dana senilai US$ 1 triliun untuk lima tahun. Asia-Pasifik menjadi salah satu pusat proyek pembangunan infrastruktur dunia dan hampir 50 persen dana infrastruktur dunia berada di kawasan ini.

Bank Dunia melalui International Finance Coorporation (IFC) pernah menyebutkan, jika Indonesia ingin terus bersaing sebagai negara yang tumbuh secara ekonomi, maka proyek infrastrukur sangat penting sebagai jawaban untuk membuka sumbatan kran investasi yang selama ini menghambat akibat jeleknya infrastruktur di Indonesia. Bersama Bank Dunia, IFC menyalurkan utang sebesar US$ 12 miliar untuk empat tahun. Di luar itu tiap-tiap lembaga tersebut telah menggelontorkan US$ 1 miliar pada 2016.  IFC pula yang kemudian memberi modal kepada Jokowi untuk menghimpun dana ke dalam perusahaan pembiayaan infrastruktur bernama PT SMI itu (perusahaan yang juga memperoleh pembiayaan dari dana yang terkumpul dalam BPJS), yang juga akan dikelola Pusat Investasi Pemerintah.

Bisa dipastikan sumber pembiayaan untuk proyek infrastruktur Indonesia akan terus bertambah. Antara lain, berasal dari Indonesia Infrastructure Fund, Japan Bank For International Cooperation, ADB, Bank Dunia hingga yang terbaru AIIB  siap membiayai proyek infrastruktur yang tersebar di Indonesia.

Fasisme
The Institute For National and Democratic Studies (Indies) dalam penelitian awal setidaknya menarik tiga kesimpulan dari program pengetatan anggaran dan perpajakan yang saling berkelindan itu. Ujungnya adalah fasisme. Mengapa fasisme? Menurut Direktur Eksekutif Indies, Kurniawan Sabar, program pengetatan anggaran, program perpajakan bertali-temali dengan fasisme. Keterkaitan itu yang kemudian dijelaskan Indies dalam penelitiannya.

Kurniawan menuturkan, kebijakan pengetatan anggaran atau biasa juga disebut sebagai “Austerity Program” telah banyak dilakukan negara-negara Eropa dan AS. Kebijakan ini menjadi umum terutama setelah krisis keuangan 2008 hingga saat ini. Stagnasi ekonomi memaksa berbagai negara menjalankan program pengetatan anggaran.

“Wujud turunan program tersebut, misalnya, pemangkasan anggaran dan pencabutan subsidi sektor publik seperti anggaran sektor pendidikan, kesehatan, maupun jaminan sosial,” tulis Kurniawan.

Kurniawan menambahkan, AS dan Eropa telah melakukan sejumlah langkah dengan mengurangi anggaran belanja kesehatan publik. Langkah efisiensi juga dilakukan seperti menunda usia pensiun, dan pemotongan uang jaminan pensiun pekerja. Itu pula yang dilakukan Prancis dan Yunani dengan mengubah sistem ketenagakerjaan yang lebih lentur untuk menekan nilai upah buruh.

Ketika Sri Mulyani menuai pujian dengan menerapkan kebijakan tersebut, justru di banyak negara Eropa dan AS, kebijakan serupa memicu “kemarahan” rakyat. Pasalnya, beban yang ditanggung rakyatnya semakin berlipat, sementara pemerintah lebih mengutamakan menyelamatkan lembaga keuangan seperti bank melalui berbagai program antara lain bailout, buyback dan lain sebagainya. “Tentu, kebijakan pengetatan anggaran ini adalah pukulan telak bagi rakyat,” tulis Kurniawan lagi.

Mengutip penelitian David Stucker (pengamat ekonomi politik Universitas Oxford) dan Sanjay Basu (dari Universitas Stanford) pada 2013, Kurniawan menyebutkan selama periode krisis dan adanya kebijakan pengetatan anggaran telah menyebabkan lebih dari lima juta rakyat AS kehilangan akses terhadap fasilitas kesehatan, 10 ribu warga Inggris menjadi gelandangan. Pada saat yang sama, penyakit semacam HIV naik drastis, terutama di kalangan rakyat miskin.

Poinnya, pengetatan anggaran tidak menghentikan kecenderungan kenaikan anggaran militer baik di Indonesia maupun secara global. Yang perlu diketahui, kata Kurniawan, kenaikan anggaran dan belanja militer serta pertahanan merupakan salah satu karakter fasis.

Kendati tidak sedang berkonflik dengan negara manapun, di Indonesia kenaikan belanja militer dan persenjataan umumnya karena isu ketegangan kawasan dan pembaruan alutsista yang telah tua. Namun, konflik yang acap terjadi dan terbesar berkaitan dengan agraria. Ini merupakan konsekuensi dari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam.

Di banyak kasus, kata Kurniawan, pemodal kerap menggunakan aparat militer dan kepolisian untuk menjaga kepentingan mereka, baik dalam kasus perkebunan, pertambangan, kehutanan maupun penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan.

Pada periode 2006 hingga 2016, misalnya, kenaikan belanja militer dan keamanan mencapai 150 persen. Berdasarkan ini, Indonesia termasuk 20 besar negara di dunia dalam kenaikan anggaran militer. “Tahun 2015, Indonesia juga masuk dalam delapan besar importir persenjataan militer dunia,” tulis Kurniawan.

Berdasarkan beberapa fakta tersebut, tidak sulit menggambarkan sikap Sri Mulyani sejak menjadi menteri di kabinet Jokowi-JK. Pemotongan anggaran, kebijakan perpajakan dan pada saat bersamaan menaikkan anggaran militer, selain mencerminkan keberpihakan pada sistem ekonomi neoliberalisme, sikap Sri Mulyani juga berkarakter fasis. [Kristian Ginting]